10. Perihal Piercings
Update emang 2/3 hari sekali, tapi kenapa part-nya panjang mulu. Sekalian lah ya. Hm.
🐳🐳
"Ngapain lo masih di sini hah?" tanya Gagah sebal memandang pria bertubuh tinggi besar yang langsung siaga di depan pintu begitu ia keluar lift. "Calon istri gue biar gue yang jaga. Pergi aja lo, bunga kuburan!"
Pria di depan Gagah yang benar dipanggil Kamboja itu tetap tidak menampilkan raut selain datar. Otot-otot di lengannya terlihat jelas karena hanya memakai kaus tanpa lengan.
"Mau pamer otot lo di sini?" tantang Gagah. Tinggi badan mereka setara sebenarnya. Hanya saja tubuh Gagah tidak sebesar itu. Ia pernah berpikir kalau otot lengan dan perutnya sudah terbentuk keren banget. Ia masih mau hidup dengan tidak menyentil Kamboja. Tapi gimana lagi, ia masih dendam kesumat mengingat pukulan waktu itu.
"Silakan masuk." Kamboja malah menunduk dan melebarkan tangannya seolah mempersilakan Gagah masuk.
Gagah tahu Kamboja sengaja mengejek pasti. Mana mungkin mempersilakan tapi seolah makin menunjukkan ototnya yang menggelembung itu?
"Ayo, pamer otot, Ja." Gagah nyengir. "Gue tunggu di kamar mandi ya."
Gagah tertawa saat ekspresi Kamboja jadi kaget, bahkan melotot. Kapok, biar geli sendiri, padahal Gagah cuma bercanda. Ia lalu membuka pintu pelan-pelan. Baru juga terbuka sebagian, tangannya langsung terangkat ke dada.
Sial, meski sudah beberapa kali mendapati Sava lagi pole dance tapi jantungnya masih tidak bisa baik-baik saja. Soalnya beberapa kali ia hanya lihat gerakan terakhir Sava yang baru menjejakkan kaki di lantai selepas menuruni tiang. Lalu setelah itu sudah, Sava akan pamit ke kamar mandi untuk bebersih diri.
Tapi kali ini Gagah mematung karena tiap gerakan yang ia lihat benar-benar menakjubkan. Bagaimana Sava mengaitkan kedua kakinya di tiang, lalu tubuhnya yang melengkung ke belakang membuat rambut sebahunya terurai helai demi helai.
Gagah menelan ludahnya susah payah. Ia tahu ini salah tapi matanya tidak mau lepas memperhatikan. Tidak mau melewatkan pemandangan seindah itu.
Belum lagi mata Gagah mengikuti gerakan Sava saat turun dari tiang. Memutar satu kali dengan satu kakinya menjempit tiang, satu lainnya diarahkan lurus ke depan. Dengan sangat lincah tubuh itu sudah makin turun dan berakhir dengan kedua kaki Sava yang menjejak lantai.
Saat Gagah masih terpaku, Sava justru menatap tenang ke arahnya. Meski ia tahu kehadirannya tadi pasti tidak disadari karena ia sadar Sava baru membuka matanya saat sudah berhasil mendarat.
"Udah di sini," gumam Sava.
Gagah tersadar dengan napas yang memburu hebat. Ia jejakkan langkahnya sedikit tergesa sampai di depan perempuan itu. Tangannya menyentuh pinggang Sava agar melekat dengan tubuhnya.
"Lo sadar nggak sih?" tanya Gagah dengan ekspresi serius.
Sayangnya, Sava tetaplah perempuan minim ekspresi yang justru mendongak melawan tatapan Gagah. Tidak menyadari bahwa tatap itu justru makin membuat Gagah hampir hilang kendali.
"Apa?" tanya Sava.
Mata Gagah makin liar memperhatikan detail wajah Sava saat perempuan itu terus mendongak menunggu jawabannya. Bentuk wajahnya yang oval, alis tidak terlalu tebal yang memiliki jarak luas dengan mata, lengkungannya begitu sempurna sampai-sampai Gagah hanya terpusat di sana. Hidung kecilnya mancung dan tinggi. Bibirnya tipis dengan dagu yang meruncing tidak berlebihan.
"Lo cantik banget," gumam Gagah tanpa sadar.
Lagi-lagi Sava bukanlah perempuan yang akan tersipu mendengar pujian. Bukannya merona, perempuan itu justru tetap membalas tatapan Gagah seolah menunggu kata lebih penting dari sekadar cantik yang akan terlontar dengan wajah seserius itu.
Sava hampir tidak pernah mendapati Gagah dengan tatap selain santai dan raut jailnya itu. Jadi tahu kalau Gagah bisa seperti ini membuatnya penasaran apa yang Gagah ingin katakan padanya.
"Sadar tentang apa?" Sava bertanya ke pertanyaan pertama Gagah tadi.
"Udah gue jawab kan tadi?" Gagah membalas dengan suara pelan dan kini kedua tangannya sudah melingkari pinggang Sava, teringat bagaimana pinggul itu tadi bergerak. Sialan.
"Oh, itu." Akhirnya Sava tahu bahwa seserius apa pun ekspresi Gagah, tetap saja ujungnya menggombal. Tidak penting memang.
Gagah belum berniat melepas peluknya yang justru makin membuat ia tidak karuan. Padahal ini cuma pelukan, ia lelaki di ujung 27 tahun yang sudah terbiasa memeluk para perempuan. Entah itu untuk pasangan atau teman saat sekadar memberi pelukan semangat. Gagah pernah di posisi seperti itu.
"Ini ...." Gagah mengernyit saat satu tangannya menyingkap helai rambut Sava ke samping dan melihat sesuatu di telinganya. "Lo piercing?"
"Iya," jawab Sava pelan, menengokkan kepala ke arah kanan saat Gagah ingin melihat beberapa perhiasan kecil yang tertindik di telinga kirinya.
"Udah lama?" tanya Gagah sembari mengusap pelan tiga titik modifikasi yang terbentuk saling merapat.
Sava hanya mengangguk.
"Selain di telinga, masih ada di tempat lain?" Gagah bukan bermaksud tabu. Ia hanya ingin tahu sejauh apa perempuan ini sudah menindik tubuhnya.
"Ada."
Gagah menghela napas pelan, tidak ingin bertanya lebih lanjut. Tangannya merapikan helai rambut Sava kembali seperti semula lalu ia tersenyum. "Mau bebersih dulu? Gue tunggu."
Sava menjawab dengan anggukan. Perempuan itu berjalan ke sebuah ruang yang Gagah tahu itu kamar pribadi. Gagah masih berdiri di tempat yang sama, memandang punggung Sava sampai tidak terlihat lagi.
Tatapan Gagah terarah ke sekeliling. Ada sekat di antara banyak ruang. Sekarang ia berdiri di tempat yang biasa Sava pakai untuk olahraga. Alat-alatnya tidak terlalu banyak karena Sava memang lebih suka yoga dan pole dance.
Gagah berjalan ke arah sofa bed dan duduk di sana. Menyamankan diri sebentar sebelum tatapnya kembali terpaku ke dapur. Walau sering ke tempat kerja Sava, tapi ia tidak pernah kurang ajar dengan masuk ke ruang sembarangan, bahkan sekadar dapur. Ia hanya ke dapur kalau Sava mengajak mereka makan di sana. Bahkan Gagah pun tidak pernah membuka kulkas yang ada di situ.
Cukup lama Gagah duduk, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Sava selalu terlihat penuh percaya diri karena bagi Gagah memang apa pun yang dipakai perempuan itu tetap cantik. Tapi kali ini Gagah sadar Sava tidak cukup percaya diri. Sava dengan mini dress berwarna putih lalu outer pastel yang membalut sampai lutut dan heels yang senada memang tetap terlihat luar biasa. Meski begitu Sava justru masih menata rambutnya dengan gugup.
Gagah berdiri dan mendekat. Ia menahan tangan Sava yang sedari tadi hinggap di rambut sampingnya seolah menutupi telinga. "Kenapa ditutupin? Gini juga sama cantiknya kok."
Sava mendongak. "Lo nggak malu?"
Gagah terkekeh. Ia menyelipkan helai rambut Sava yang bergelombang ke belakang telinga. "Mana ada malu bawa lo, Sav. Selagi kuping lo bukan kuping gajah, nggak usah ditutupin."
Sava masih menatap Gagah seolah menunggu kalimat yang meyakinkan sekali lagi.
Dan Gagah mengerti, maka ia mengulangi lagi. "Nggak apa-apa. Nggak ada yang malu. Lo harus percaya diri. Ada gue."
Pelan, Sava mengangguk. Ia menerima uluran tangan Gagah agar digenggam.
"Lo nggak mau muji gue, Sav?" tanya Gagah bercanda. Sava diam saja membuat Gagah garuk-garuk kepala. Di depan Sava kenapa ia jadi haus pujian begini? Padahal tidak sedikit di luar sana yang kerap memujinya, tidak hanya penampilan tapi kinerja juga. Tapi tetap saja ia butuh itu dari Sava.
"Gue sering liat lo pake kemeja," kata Sava.
"Dan tetep ganteng kayak biasa?" tebak Gagah.
Sava hanya mendengus.
"Iya gue tau pakaian laki-laki itu-itu aja. Kaus, kemeja, hoodie. Celana juga itu-itu aja. Gaya rambut kalo diubah juga tetep keliatan biasa. Beda lah sama cewek sekali make up atau ganti baju bisa keliatan bedanya." Gagah membuka pintu.
"Astaga, Sav. Lo pekerjakan si Boja 24 jam apa gimana? Dari tadi di situ mulu."
"Biarin," jawab Sava.
"Kalo mau boker terus pas lo telepon gimana tuh? Nggak sempet cebok." Gagah terhenti saat di depan lift. "Jangan bilang waktu gue nggak sengaja masuk ke sini terus lo telepon Boja, terus dia dateng sambil lari-lari itu abis boker ya? Mana dia pukul gue pake tangan kiri, sial, jangan-jangan beneran. Pantesan pukulan dia bikin hidung gue berdarah, bau tinjanya menyengat."
"Gagah." Sava menepuk pelan lengan lelaki di sampingnya. Kenapa pikirannya selalu ke hal-hal aneh sih?
"Lagian ngapain harus diminta jagain lo, Sav. Gue cemburu. Masa dia bisa sama lo 24 jam, gue aja enggak." Gagah berdecak sebal sambil menekan tombol lift penuh kekuatan. "Entar kalo dia suka sama lo terus gue ditikung gimana? Yang ada 24 jam biasanya bikin cewek lebih luluh."
"Nggak mungkin."
"Kok nggak mungkin?"
"Dia suka sesama jenis."
"What?!!!" Ini bahkan lebih menggemparkan daripada berita Louhan yang ia lelang hampir terjual harga puluhan kali lipat dari harga beli.
"Kenapa?"
"Gue abis ngajak dia adu otot di kamar mandi, Sav," gumam Gagah ngeri.
Sava mengerutkan alis heran. "Dia bisa ngira lo ajak dia mandi, Gah."
"Lo nakut-nakutin gue aja," sentak Gagah sembari bergidik ngeri. Sial, ternyata Kamboja penyuka kaum batang.
"Sekarang gue yang takut." Sava meringis.
"Kenapa?"
"Kalo lo suka dia."
"Astaga." Gagah melotot. "Gue sukanya elo, kalo pun berpaling nggak mungkinlah sama kaum kayak Boja. Mending ke ikan."
"Oh, jadi niat berpaling?"
Salah ngomong lagi. Gagah memeluk bahu Sava dan mengecup kepalanya singkat. "Nggak gitu maksudnya."
Mereka sudah sampai di basement dan masuk ke mobil.
"Mampir rumah lo dulu, Sav?" tanya Gagah sambil mengendarai mobil keluar dari basement.
"Iya."
"Apa yang ketinggalan?"
"Tas."
Gagah mengangguk. Sebentar-sebentar ia melirik ke kirinya. Mengenal Sava selama ini membuatnya cukup mengenal. Hanya saja ada beberapa bagian darinya yang tidak bisa menembus ke sisi Sava yang lain. Karena perempuan itu sangat tertutup.
"Gue nggak pengin hubungan kita main-main, Sav. Lo gimana?" Gagah tahu ini terlalu cepat. Tapi ia sadar kalau dirinya sudah ingin melangkah ke arah sana. Tidak terlalu terburu-buru tapi pasti. Jadi tidak mau wasting time dengan orang yang tidak mau ia ajak ke arah yang sama.
"Iya."
Dan jawaban Sava membuatnya lega. Keduanya sudah sempat membicarakan ini. Sekalipun nanti di tengah hubungan mereka saat ini ada ketidakcocokan, tidak apa jika berpisah. Yang penting niat dari awal tidak untuk main-main.
"Ada Om Aji nggak di dalem?" tanya Gagah setelah mereka sampai di depan rumah bernuansa modern. Ia baru ke sini sekarang.
"Ada. Mau ikut?"
Gagah mengangguk. "Hadapin Om Aji mah sama aja kayak Pak Dandi. Tenang aja, Sav. Calon lo ini berbakat menaklukkan hati bapak-bapak portugal."
"Papa sering bilang Portugal."
"Nggak beda jauh sama Papa gue. Tiap hari banggain temen-temennya di grup mereka. Mana lawakannya jadul banget."
Sava menyetujuinya dengan memberi senyum ke Gagah.
Sampai di depan pintu, Sava membukanya dan ia maupun Gagah sama-sama terkejut saat melihat seorang pria nyengir ke arahnya dengan posisi seperti habis menguping. Astaga, jangan bilang papanya Sava itu tadi ngintip dari jendela, lalu nempelin kuping di pintu!
"Om," sapa Gagah sambil tersenyum. Tangannya terulur dan menyalami Aji.
"Hei, bro. Panggil Papa aja, bro."
Gagah membelalak. Ini mah 100% kayak papanya. Grup Portugal itu kayaknya punya makro khusus buat menyambut calon menantu. Bisa-bisanya sama begitu. Gagah ingat dulu saat pacar adiknya datang ke rumah, juga disambut Dandi dengan kalimat yang sama.
"Iya, Om," jawab Gagah lugas. Ia tahu ini trik kayaknya. Awal-awal harus jaga image kan?
"Memang pilihan Sava nggak main-main ya. Tampan begini si Galin."
"Namanya Gagah, Papa. Bukan Galin," Sava ikut menyalami papanya.
"Iya, Galin itu panggilan dari Papa. Gagah dan lincah."
Sudah ditebak kan, Gagah tidak heran.
"Papa tau namanya kok." Aji berucap serius. "Waktu itu Dandi kenalin anaknya ini di grup katanya namanya panjang kayak kereta. Gagah Tampan Berani Sentosa Buana Candra Raya. Itu gabungan nama bus, kereta, sama dealer motor, Sav."
"Bukan, Pa." Sava tersenyum geli mendengarnya. "Namanya Gagah Wisanggeni."
Gagah sempat berbunga-bunga, Sava ternyata tahu namanya. Cuek begitu ternyata perhatian. Padahal Gagah tidak tahu nama lengkapnya Sava. Ia tidak pandai cari hal secara detail. Sava yang ia kenal ya sudah Sava saja. Nama lengkap akan ia tanya nanti.
Memang lelaki sejati kan si Gagah ini? Tidak mau repot.
Aji nyengir mendengar penjelasan anaknya. "Wisanggeni itu tokoh punakawan bukan?"
"Bukan, Om," jawab Gagah sambil tersenyum. "Itu semar, gareng, petruk, bagong."
"Oh begitu." Aji tertawa. "Terus Wisanggeni itu siapanya Gagah?"
"Nama belakangnya Gagah, Om."
"Terus Gagah itu siapanya Wisanggeni?"
"Nama depannya Wisanggeni itu."
"Oh, terus Gagah Wisanggeni itu siapa?"
"Calon menantunya Om Aji kan?" tanya Gagah sambil tertawa.
Aji ikut tertawa dan menepuk bahu Gagah, mengajaknya duduk di beranda sementara Sava masuk ke dalam rumah mengambil apa yang tertinggal.
"Pintar banget ini anaknya Dandi Prabowo. Cocok lah masuk grup Portugal. Besok Papa masukin ke grup ya."
Mampus. Gagah meringis. Gimana cara menolaknya?
"Jangan dulu, Om. Soalnya masih kalah pamor. Nanti Gagah minder masuk ke grup itu."
Aji mengangguk. "Iya, kamu masih muda juga ya."
"Pa, Sava berangkat dulu." Suara Sava terdengar dari arah dalam dan berjalan mendekati Aji.
"Padahal Papa masih mau ngobrol sama si Galin," keluh Aji tapi akhirnya berdiri dan membiarkan anaknya pergi.
"Kapan-kapan Gagah ke sini lagi ya, Om." Gagah berusaha menenangkan. Ia ikut menyalami Aji.
"Hati-hati kalian."
"Iya, Pa."
Gagah meraih tangan Sava dan berjalan menuju mobil.
"Cihuy, gandengan. Ciyee."
Sava sontak berbalik mendengar teriakan itu. Ya ampun, papanya sungguh berbeda dengan yang lain. Bukan dicengcengin teman, ini malah diciyein bapak sendiri.
Gagah malah tertawa mendengarnya. Ia mengeratkan genggaman meski Sava berusaha menepis. "Nggak apa-apa, Sav. Anggota grup portugal emang sefrekuensi."
Mereka sudah masuk ke mobil. Gagah sempat melambaikan tangan ke Aji yang jelas dibalas dengan bahagia sambil lompat-lompat, persis seperti miss cupid yang berhasil menyatukan dua insan. Gini amat ya calon mertua.
"Lo diem gini niru siapa sih, Sav," kata Gagah tersenyum geli. "Om Aji asyik banget. Nyokap lo juga nggak diem-diem amat kayaknya. Lebih parah nyokap gue sih kalo ngobrol kadang cuma jadi pendengar."
"Nggak tau." Sava mengedikkan bahu. Ia tidak merasa jadi pendiam. Hanya saja kalau menghadapi Gagah rasanya bingung mau ngomong apa soalnya stok kata-katanya sudah diborong Gagah semua. Dengan kata lain Gagah tahu apa yang ia rasakan tanpa ia harus berkata.
Awalnya, lelaki yang pandai bicara dan nyenengin macam Gagah itu tidak masuk dalam kriteria pasangan impian Sava karena pasti kebanyakan cuma memberi harapan ke para perempuan.
Ia lebih suka lelaki tidak banyak bicara tapi action. Tapi ternyata punya pasangan yang pandai bicara sekaligus action macam Gagah tidak buruk-buruk juga. Lelaki itu menyenangkan dan tidak pernah terlihat memiliki masalah hidup yang berat.
Saat ini, pasangan impian Sava memang berbalik kepada lelaki yang sedang duduk di kanannya itu.
"Lumayan macet juga di gerbang masuk." Gagah berdecak menatapi antrean mobil-mobil di depan gerbang.
"Satu angkatan?"
"Tiga angkatan, Sav. Angkatan gue sama dua di bawahnya." Gagah memutar stir dengan cepat. Tatapnya terarah ke spion dan mobil meluncur memasuki basement. "Kenapa?" tanya saat lihat Sava menatapnya tanpa ekspresi.
"Rame ya?"
"Lumayan. Panitianya adik kelas. Jadi nggak tau tujuan mereka apa bisa sampe ke angkatan gue segala."
"Angkatan lo banyak prestasi mungkin?"
Gagah nyengir. Ia baru selesai memarkir mobil dan melepas sabuk pengaman. "Jelas kalau itu, Sav. Angkatan gue itu rekor, prestasinya, teaternya, apalagi basketnya. Lo tebak, siapa pemain basketnya?"
"Bukan lo."
"Astaga, sejelek apa gue di mata lo, Sav." Gagah mengurut dada.
"Pasti lo anggotanya."
Gagah tersenyum puas. "Iya, gue anggota inti. Denger-denger, sampe sekarang belum ada tim basket yang bisa ngalahin rekor angkatan gue."
"Oh gitu."
"Gitu gimana?"
"Gue tau alasan panitianya."
Gagah memutar tubuh ke arah Sava. "Kenapa?"
"Pengin lihat anggota basket lo."
Tuh, kadang pikiran perempuan bisa sampai sana padahal Gagah sama sekali tidak pernah berpikir tentang itu.
"Udah taken semua?" tanya Sava.
Gagah mengernyit. "Taken udah, tapi yang nikah baru satu."
"Kaptennya udah taken?"
"Udah nikah, anak satu, Sav. Kenapa? Lo mau nggebet dia? Udah, sama gue aja."
"Fitnah, Gah." Sava memilih turun dari mobil
Gagah menyusul lalu menggandeng tangan Sava lagi. "Iya, maaf. Nggak usah cemberut gitu."
"Nggak cemberut."
Gagah terkekeh. Mereka memasuki lift. "Jangan jauh-jauh dari gue ya."
"Iya."
Ruangan itu dipenuhi dengan tempat duduk dan meja bernuansa putih. Ada live music juga yang sedang berlangsung. Jangan lupakan juga pertunjukan teater singkat sebagai pembukaan. Memang keren banget. Tidak sia-sia Gagah datang. Lebih mengharukan lagi, membawa pasangan Sava.
"Woy, Gah!"
Gagah menoleh ke asal suara. Ia masih sempat mendengar panggilan itu di tengah suasana yang cukup ramai. "Edwin!" balasnya.
"Wah, bawa cewek nih." Edwin nyengir.
Gagah tersenyum bangga. "Cewek gue spek bidadari nih, Bos Edwin."
Edwin tergelak. Ia terlihat melambaikan tangan ke seseorang di sana. Terlihat satu laki-laki dan pasangannya mendekat.
"Di antara yang lain, lo yang udah lama nggak ketemu gue, Do." Gagah menerima high five khas pertemuan para lelaki. "Sibuk mbucin lo."
"Siapin pernikahan, Gah." Aldo nyengir. Ia menatap ke Sava lalu mengernyit. "Gah, ganti lagi?"
Gagah langsung membelalak. Ia menarik Aldo mendekat dan menggeram di telinganya. "Bangsat lo, Do. Jangan main-main ngomongnya!"
Aldo tertawa mendengarnya. "Soalnya kemarin di story lo kayaknya wajahnya oriental."
Sial memang temannya satu itu. Pasti yang dimaksud itu Gadis. Mau bagaimana lagi kalau Gadis memilih mundur. Ia tidak mau memaksa. Dan kini ia sudah menetapkan hati ke orang yang bahkan hadir di mimpinya sedari awal.
"Bercanda doang." Aldo mengimbanginya dengan senyum ramah ke arah Sava.
"Surya mana?" tanya Gagah berusaha mengalihkan pembicaraan. Bisa-bisa ia diwawancarai banyak sama Sava kalau diteruskan.
"Itu di sana sama bininya. Ayo kita ke sana aja."
Semua berjalan ke tempat yang sudah disediakan. Gagah menoleh ke Sava dan tersenyum. Sava tidak terlihat gugup, pembawaannya sangat tenang dan ia bersyukur karena itu.
"Nanti kalo butuh apa-apa bilang aja ke gue. Kalo lo ngerasa dicuekin, senggol gue aja," bisik Gagah sembari mengeratkan genggamannya.
"Iya," jawab Sava sambil tersenyum.
Mereka sampai di meja lingkaran. Gagah menarik satu kursi lalu mempersilakan Sava duduk dulu.
"Bro," sapa Gagah pada lelaki yang menghampirinya. Ia memukul pelan perut Surya. "Udah jadi bapak, perut lo nggak maju satu senti pun."
Surya mendengus. "Selagi masih muda jaga badan, Gah. Takut istri gue diembat yang lain."
"Bucin."
"Akhirnya gelar jomlo lo berakhir, Gah," kata Surya geleng-geleng kepala, seolah Gagah punya pacar adalah keajaiban dunia.
"Ngejek amat lo, Sur. Mentang-mentang nggak pernah absen dari dunia percintaan. Kayak nggak inget aja lo dulu empat tahun di Bandung tiap malem nangisin Salju karena tak bisa memiliki, terus—"
"Diem, Gah," potong Surya.
"Eh, serius?" tanya Salju bingung.
"Wah, elo nggak bilang masa-masa itu, Sur?" tanya Gagah. "Gue dulu yang nemenin dia di kosan, sampe mirip pasangan homo dah." Gagah tertawa. Ia menoleh ke Sava. "Gue dong, nggak melewati masa-masa nangisin cewek. Gue dan Sava sama-sama sayang jadinya nggak terhalang persahabatan apalah itu."
"Parah lo, Gah." Tapi Salju tertawa menanggapinya. "Sav, bikin laki-laki sombong ini nangis kejer karena lo. Kalo bisa bikin dia setengah nggak waras ya. Biar kapok ngerasainnya."
Sava terkekeh mendengar itu. "Playboy emang nggak pernah nangis kan?"
"Gue nggak playboy, Sava." Gagah menampilkan raut memelas. "Beneran, udah nggak."
"Loh, pacaran masih lo gue?" tanya Aldo bingung.
Gagah berdecak. "Itu panggilan sayang gue ke Sava, Do."
"Gue kira lo ngadi-ngadi punya pacar. Si Sava jangan-jangan cuma sepupu."
"Iya juga, Do. Mereka mirip tuh," kata Edwin.
"Mirip karena jodoh. Kayak nggak tau hukum alam aja lo berdua," jawab Gagah sebal.
Keadaan di sana mulai hening karena pembawa acara sudah naik ke panggung. Tapi di keadaan begitu, Sava justru merasakan perutnya sedikit melilit.
"Gah," bisik Sava. Setelah Gagah mendekat, ia berbisik di telinga lelaki itu. "Gue ke toilet dulu ya."
Gagah mengernyit. "Gue temenin."
"Nggak. Lo sini aja. Bentar kok."
"Gue temenin, Sav."
"Gue sendiri aja," kata Sava penuh penekanan.
Gagah akhirnya menghela napas pelan dan mengangguk. Ia mengikuti arah Sava menghilang ke sebuah ruangan. Tetapi bukan Gagah namanya kalau membiarkan Sava sendirian. Ia membawa perempuan itu bersamanya maka harus dijaga dengan baik.
Makanya selang waktu 10 menit Sava belum kembali, Gagah akhirnya beranjak. Langkahnya terpijak perlahan menuju sebuah pintu kecil menuju toilet. Ia membukanya perlahan dan ada dua lorong. Ia bisa digebukin massal kalau masuk ke toilet wanita.
Tapi Gagah tersentak saat melongok ke arah lorong toilet wanita dan melihat seorang lelaki menerobos masuk ke sana. Ia lantas menyusul dan membuka sedikit pintu. Mengernyit, ia kaget melihat Sava muntah di wastafel.
Lalu lelaki itu ....
Gagah memfokuskan pandangan. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang keduanya bicarakan. Tapi yang pasti Sava terlihat tidak nyaman. Gagah masih diam saja. Ia tidak mau membuat keributan. Selama lelaki itu tidak kasar ke Sava, maka ia tidak akan mengganggu privasi keduanya.
Sava memang pasangannya sekarang, namun Gagah tidak memaksa perempuan itu bercerita banyak tentang hidupnya. Gagah tahu tidak mudah membagi cerita ke orang yang belum terlalu lama dikenal. Tugasnya hanya membuat Sava nyaman dan berharap Sava mau menjadikannya tempat berbagi apa pun nantinya.
Gagah menutup pintu saat mendapati lelaki itu berbalik. Ia berjalan ke pintu lorong dan menunggu di sana. Ia sadar kalau keberadaannya pasti disadari oleh lelaki tadi. Itu alasannya di sana.
"Oh, elo."
Benar kan.
"Kayaknya lo beneran serius sama dia." Seringai itu muncul membuat Gagah jengah.
"Kenapa?" tanya Gagah santai. Ia bahkan masih bersandar di dinding.
"Nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang aja kalo nggak mungkin ada yang mau sama Sava selain gue."
Gagah tersenyum kecil. "Iya, yang mau sama Sava emang lo doang. Tapi yang butuh dia banyak. Termasuk gue. Dan Sava lebih pilih orang yang membutuhkannya daripada cuma mau aja."
Seolah tidak tersinggung dengan ucapan Gagah, lelaki di depannya ini terkekeh. "Karena emang nggak ada yang mau sama Sava. Dia bekas gue." Mendekat, bisikan itu terdengar. "Apa lo tau, how many piercings does Sava have?"
Gagah sempat tersentak sebentar.
"Gue tau semuanya."
"Cuma tau udah bangga?" Gagah berdecak. Kedua tangannya masuk ke saku celananya dan ia kini berdiri tegak setelah sebelumnya bersandar di dinding. "Masa lalu lo sama dia bukan urusan gue. Dan sekarang Sava pilih gue bahkan kami udah bicarain hal lebih serius dari sekadar permasalahin jumlah piercing dia."
"Oh ya? Lo harusnya pinter dikit. Dia mau lari ke lo karena apa? Bisa mikir kan?"
Gagah terkekeh. "Karena dia pilih gue. Kalo lo ngerasa kalah nggak perlu jelekin Sava, oke? Nggak pengaruh buat gue."
"Lo naif banget jadi cowok." Tawa itu terdengar. "Dia bukan cewek yang pantes buat lo. Lihat tadi Sava kenapa di wastafel kan? Gue nggak niat jahat ke Sava, justru gue mau dia balik ke gue karena rasa tanggung jawab gue. Tapi dia malah pilih lo. Lo nggak niat cari yang lain yang lebih sempurna dari dia? Jangan liat fisiknya doang saran gue. Inget ya, dia bekas gue. Kalo lo cowok baik-baik, lo nggak mungkin mau sama dia."
Gagah mengepalkan kedua tangannya saat lelaki itu berlalu. Ia bukan cemburu pada apa yang lelaki itu sampaikan tadi. Ia hanya merasa marah karena kata bekas. Baginya seorang perempuan tidak boleh disebut bekas sekalipun sehancur apa hidupnya.
Tapi emosi Gagah sedikit ditahan saat mendengar langkah heels yang terpijak. Ia mengurai kepalannya dengan napas yang coba dinetralkan. Ia lalu menoleh ke ke samping dan tepat saat itu Sava sampai di sampingnya.
"Nyusulin?" tanya Sava kaget.
Gagah memberi senyum dan meraih tangan Sava. Wajah pucat itu membuat rasa harunya menyeruak. Ia sadar sekarang bahwa ia menyayangi Sava. Emosinya yang meluap saat Sava direndahkan tadi sudah menyentaknya kuat-kuat.
"Iya, takut kamu kenapa-kenapa." Gagah mengangkat tangan Sava ke bibirnya dan mengecupnya agak lama.
"Salah ngomong ya?" tanya Sava heran.
"Nggak, aku nggak ada salah ngomong. Ayo, balik ke ruangan."
Gagah sungguh tidak tenang malam ini. Ia paham Sava berlari padanya karena permasalahan yang tidak ia tahu. Sebelum ini Gagah tidak mempermasalahkan alasan itu, karena Sava memilihnya dan ia sudah bahagia.
Tapi jika diingatkan bahwa niat Sava bersamanya memang tidak dari hati, kenapa justru hati Gagah yang terasa nyeri begini?
🐳🐳
Sabar ya Gah, balik ke ikan gih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top