First Man Game
:: Reichi Harada ::
Sebuah surat datang kepada gadis setengah laki yang sudah bosan dengan dunianya itu. Surat itu datang begitu saja dari langit ketika Rei baru saja selesai membantai makhluk kurang kerjaan penghisap darah yang membuat hari-harinya menjadi menyebalkan itu.
Isinya...
"Kalau kamu ingin menentang kehidupanmu yang membosankan, maka datanglah ke kastil di puncak bukit tepat pada jam 00.00. Tak boleh telat sedetik pun."
Hari masih menunjukkan pukul setengah sebelas. Perjalanan menuju kastil yang bisa ia lihat dari kejauhan itu sekitar satu jam dengan jalan kaki.
Awalnya ia ragu dengan surat yang mencurigakan itu. Tapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia pun berlari menuju kastil di atas bukit itu. Dalam hati ia sedikit berharap, surat itu bukanlah jebakan batman.
Sesampai di sana, Rei melirik jamnya. Pukul 11.45. Dengan perasaan campur aduk, ia pun memasuki gerbang kastil yang seolah terbuka menunggu kedatangannya.
Sesampainya di sana rupanya sudah ada beberapa orang berdiri dengan kebingungan di dalam kastil yang sunyi itu. Dan oh ... wow, mereka semua membawa senjata berbahaya. Apa mereka semua para hitman? Apa ia salah tempat?
Teng ... teng ... teng ...
Bunyi lonceng memenuhi ruangan.
"Terima kasih telah menjawab suratku wahai para pembenci dunia. Mari kita mulai." Tiba-tiba sebuah suara menggantikan bunyi lonceng. Bersamaan dengan lantai yang mereka pijak runtuh. Mereka terjatuh ke dalam lubang tanpa dasar
"Aduduh..." Rei mengaduh takkala tubuhnya jatuh menimpa sesuatu. Perlahan ia membuka matanya. Didapatinya sekitarnya berupa gurun dengan tonggak-tonggak batu.
Sebuah surat lagi-lagi nemplok ke mukanya.
Berhati-hatilah. Kalian telah berada di sebuah kota penuh kekacauan yang disebabkan oleh para Hero yang membelok. Kalian para antihero harus menghentikan mereka. Satu lagi, dari orang-orang yang jatuh bersama kalian, ada seorang pengkhianat. Kalau kalian ingin menghentikan kekacauan dunia ini, temukan AntiHero palsu itu.
Alis Rei hanya bisa berkerut membaca surat aneh itu.
"HAAAAHHH????"
...............................................
:: Alfrendo Geodiatama ::
Rendo menatap sekelilingnya dengan tatapan datar. Tanpa ekspresi ia bangkit dan mengeluarkan pisaunya.
Ia mulai mengasah Pisaunya. Jika ini yang mereka mau, aku akan dengan senang hati bermain dengan mereka semua, batin Rendo.
Ia akan membuat Pisau kesayangannya menjadi tajam setajam-tajamnya. Ia ingin menikmati hidupnya selama berada di dunia aneh ini. Beberapa saat kemudian, Rendo mengangkat pisaunya yang tampak baik.
"Sepertinya ini cukup," ucapnya dengan seringgaian.
"Aw!" Tatapannya langsung menoleh menuju seorang gadis yang sedang meringis kesakitan. Rendo memasukan pisaunya ke dalam tas dan segera berjalan ke arah gadis itu.
...............................................
:: Qila ::
"Sialan!" umpat seorang gadis dengan pakian serba hitam berbahan kulit itu sembari memegangi pergelangan kakinya.
"Kasih kode dulu kek kalau mau ngejatuhin orang. Gak tau apa kalau ini sakit?" gerutu gadis itu lagi.
Gadis bernama Qila itu mencoba untuk memberdirikan tubuhnya setelah adegan jatuh—tanpa pemberitahuan—itu, namun dia kembali terjatuh karena kakinya yang keseleo.
"Aduduh, kakiku." Qila mengaduh saat merasakan kakinya berkedut nyeri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya sebuah suara berhasil mengalihkan perhatian Qila dari kakinya.
...............................................
:: Abbiela Sadie ::
Abby langsung saja bangun dan mengambil sepasang pisau dari saku celananya. Ia berjalan perlahan-lahan, matanya melirik ke sana kemari, berusaha mempelajari situasinya saat ini.
"Aduduh, kakiku." Suara seorang gadis membuatnya siaga. Ia memposisikan tangan kanannya di depan wajahnya, dengan mata pisau mengarah ke depan.
Dari jauh, ia melihat dua orang tampak berbincang-bincang. Abby langsung tersenyum sinis. Ia memutar-mutar pisaunya layaknya seorang pelempar pisau profesional.
"Halo, korban pertama."
...............................................
:: Ben Adam ::
Ben, seorang lelaki yang memiliki keistimewaan pada telinganya mendengar suara teriakan wanita yang mengeluh kesakitan. Kini dia mulai berjalan perlahan mengikuti arah suara itu.
Suara itu makin lama makin terdengar keras, ia semakin yakin dengan tujuannya mendekati suara itu.
Dia segera menoleh saat mendengar gesekan yang cukup keras antara dua mata pisau. Seorang wanita yang terlihat seperti seorang psycopath tengah bersiap melempar salah satu pisaunya.
Dia segera menoleh saat mendengar gesekan yang cukup keras antara dua mata pisau. Seorang wanita yang terlihat seperti seorang psycopath tengah bersiap melempar salah satu pisaunya.
Ben nampak bingung dengan pilihannya. Tetap menyelamatkan wanita yang mengeluh kesakitan, atau menghentikan lemparan pisau yang wanita gila itu lemparkan?
...............................................
:: Tanitra ::
Tanitra tengah melamun di dalam rumahnya. Setelah kematian sang Presiden, kegiatannya kali ini hanyalah menjaga buah hatinya. Membosankan, itulah yang selalu ada dibenak Tanitra akhir-akhir ini.
Malam ini ia mencoba mencari sesuatu yang menyenangkan dirinya. Ia memasukan katana peninggalan suaminya ke dalam kantong gitar untuk menembunyikannya dari orang lain.
Sebelum berangkat Tanitra mengecup kening buah hatinya yang tertidur lelap.
"Bunda berangkat dulu ya sayang," ucapnya lalu pergi meninggalkan rumah.
Di tengah perjalanan ada sekelompok preman mengganggu perjalanannya. Namun ini adalah suatu kebahagiaan bagi Tanitra.
"Hai manis malam-malam gini mau ke—"
Slash!
Belum sempat preman itu menyelesaikan ucapannya, katana milik Tanitra menebas leher preman tersebut dan melepaskan kepalanya dari tubuh preman tersebut. Melihat kawannya terpenggal, anggota preman lainnya berlarian kesegala arah.
Saat akan melangkah menuju mayat lawannya, kaki Tanitra menginjak sebuah surat yang sudah sedikit terlumuri darah.
Tanitra membaca surat tersebut yang isinya.
"Kalau kamu ingin menentang kehidupanmu yang membosankan, maka datanglah ke kastil di puncak bukit tepat pukul 00.00. Tak boleh telat sedetik pun."
Waktu menunjukkan 23.45. Dengan kecepatan penuh Tanita berlalri menuju lokasi tersebut. Saat ia sampai di lokasi ia langsung terjatuh ke lubang tanpa dasar, lantai yang baru saja dipijaknya runtuh.
BRUK!
Sesampainya di dasar lubang tersebut Tanitra menatap orang-orang yang baru saja terjatuh bersamanya, mengeluh kesakitan. Sementara Tanitra jatuh dengan mulus, kuda-kudanya sangat kuat dan mampu menahan beban tubuhnya.
"Cih dasar lemah, dasar payah." Tanita bergumam dalam hati.
................................................
:: Felix ::
Dug!
Felix sempat mengadu sakit saat bokongnya tiba-tiba saja bertabrakan dengan tanah.
Setelah membaca sebuah surat yang menempel di sepatunya, Felix tertawa kecil.
"Apa-apaan ini?" mata hijau milik Felix menyusuri pemandangan di depannya, "jadi ini semua para AntiHero? Yah, sebagian ada yang meyakinkan sih. Ah, kenapa ceweknya tomboi-tomboi semua ... mengingatkanku pada seseorang."
Felix berdiri dari duduknya, membersihkan bokongnya dan meraba jeansnya dengan sebuah seringaian.
"Untung aku bawa senjata." Bisik Felix pada dirinya sendiri, memandang orang-orang di depannya yang sibuk dengan pikiran dan kegiatan masing-masing.
................................................
:: Ravaka Leoned Zeanth ::
Rava menatap sekitarnya. Padang gersang yang tandus, dikelilingi pepohonan yang bisa disebut hutan. Terlihat beberapa orang berjatuhan seperti dirinya beberapa saat lalu, sebagian dari mereka sudah siap dengan senjatanya dan sebagian lagi masih menggerutu di tempat. Seperti gadis tomboy yang baru jatuh di hadapannya.
"Aduduh, kakiku," jeritnya.
Rava mendekati gadis itu, "Kau tidak apa-apa?"
Gadis itu tidak menjawab, hanya mendongak. Sepersekian detik matanya terfokus pada wajah lelaki di depannya. Hingga sebuah desingan tertangkap pendengaran Rava.
"Awas!" Teriak Rava sambil mendorong gadis yang masih terbengong itu hingga tersungkur.
Rava mengambil sebuah kerikil dan melemparkannya pada pisau lempar yang mengarah padanya.
Tring! Pisau dan kerikil itu jatuh bersamaan.
...............................................
:: Reichi Harada ::
Satu hal yang bisa Rei simpulkan dalam jebakan betmen menyebalkan bermodus hero antihero ini.
Kacau.
Sejak tadi ia terus memperhatikan semua orang yang ikut jatuh bersamanya tanpa satupun yang menyadari keberadaannya yang kayak penampakan. Sepertinya karena mereka semua adalah hitman, yang ada malah bunuh-bunuhan gak jelas ala psikopat.
Di tengah ia sibuk memikirkan langkah selanjutnya, Tiba-tiba sebuah pisau lempar datang kepadanya. Dengan cepat ia mengayunkan katananya hingga pisau itu terlempar.
Ini menyusahkan. Seorang Hero mengira ia seorang Villain.
Seharian ini ia sudah capek berurusan dengan bantai membantai. Mending langkah selanjutnya yang ia pilih adalah...
Kabur.
Ia memilih berlari sejauh mungkin. Bukan maksudnya dia pengecut. Tapi karena baginya lebih baik ia observasi lagi. Seperti yang diajarkan si setengah pengganggu malam-malamnya itu. Observasi adalah hal penting untuk mengalahkan lawanmu.
Ia memilih bersembunyi di sebuah reruntuhan. Memantau permainan yang menipu itu. Ia nyesal telah memenuhi permintaan surat itu. Sepertinya kehidupannya selama ini masih lebih baik daripada yang ia alami sekarang. Setidaknya kehidupan lamanya memiliki tujuan jelas.
Sudahlah. Lebih baik ia menemukan si pengkhianat.
Saat ia menyusuri reruntuhan, ia pun menemukan sesuatu yang menarik. Sebuah lab rahasia penuh mayat. Dan penuh notes-notes dengan ambisi menjadi superhero. Dan ia menemukan sebuah foto dengan kode name hero di sana.
ManEin.
Seulas senyum tersungging dari bibir tipis Rei. Ia menemukan si pengkhianat. Pendosa dengan nama yang sama dengan manusia pertama.
................................................
:: Alfrendo Geodiatama ::
Rendo bersiul kagum saat melihat sebuah pisau terlempar ke arah gadis itu dengan cepat. Kemudian gadis itu terselamatkan oleh seorang pria.
Matanya menatap ke arah darimana pisau itu berasal. Nona Abby yang terkenal itu? Waw aku harus berkenalan dengannya.
"Aku suka dengan reflekmu yang bagus," puji Rendo pada Rava dengan wajah datar. Rava dan Qila menatap Rendo bingung, sedangkan Rendo menatap mereka dengan datar.
Rendo berlalu dan seringgaian tercetak di wajahnya yang datar itu. "Hallo, Kau Nona Abby yang terkenal itu 'kan?"
Abby menatap Rendo tajam. Ia asik memainkan pisau di tangannya. Rendo sendiri mengeluarkan pisaunya. "Apa pendapatmu tentang dunia aneh ini, Nona Abby?"
"Mereka semua bodoh," jawab Abby cuek.
"Kau Nona yang sangat manis Abby, bagaimana jika kita bermain?" tawar Rendo.
"Bukankah kita punya misi di sini?" tanya Abby balik.
Rendo mengendikan bahunya. Teriakan Abby yang membuatnya menoleh.
"Di sana ada seseorang! Ayo kita selidiki!" seru Abby.
...............................................
:: Abbiela Sadie ::
Semuanya terdiam begitu mendengar Abby berteriak.
"Hei! Di sana ada orang! Siapa tahu dia pengkhianatnya!" Abby menunjuk ke arah depannya—pintu yang terbuka dengan seorang gadis di dalamnya.
"T-tapi, kakiku masih sakit ..." ujar Qila setengah terisak.
"Tidak apa-apa, sini kugendong," tawar Rava pada Qila. Melihat adegan bak sinetron-sinetron di televisi, Rendo berdeham.
"Ayo, cepat! Sebelum orang itu pergi!" perintah Rendo.
...............................................
:: Tanitra ::
Tanitra yang merasa keberadaanhya tidak dianggap, memilih untuk berjalan sendiri. Dan berniat berjalan ke arah yang berlawanan.
Tiba-tiba sebuah batu besar menggelinding ke arah Abby dan yang lainnya.
"AWAS!!!" Teriak Tanitra dari jauh. Ia berlari sekencang mungkin dan menubruk mereka semua sehingga terhindar dari batu besar tersebut.
Namun naas, katana yang dipegangnya menancap di kaki Qila tanpa sepengetahuannya.
Prok... prok... prok
Suara tepukan tangan menggema dari arah batu yang menggelinding tadi.
"Kau cepat sekali gadis manis," ucap seseorang. Siluetnya terlihat sangat jela. Tubuh tinggi besar, melebihi tinggi dan besarnya manusia biasa.
"Hulk!" Seru mereka bersamaan saat sosok itu keluar dari persembunyiannya.
"Kalian lanjutkan saja misi kalian! biar aku menghadapi si hijau menjijikan ini sendiri."
...............................................
:: Felix ::
Apa yang mereka lakukan? Felix bertanya pada dirinya sendiri sambil menyipitkan matanya berusaha memandang orang-orang yang sedang berlari menjauhi sebuah batu besar yang di dekatnya terlihat seorang wanita bertarung dengan sosok mahluk hijau besar yang tidak salah lagi adalah Hulk.
"Kau tidak ke sana bersama mereka?" tanya Ben yang berdiri tidak begitu jauh dari Felix.
Felix mengalihkan ke arah Ben. "Kau sendiri tidak ke sana?" tanyanya seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jeans.
Ben menggumam sebentar. "Nanti. Kau sendiri tidak berniat menyusul mereka?" tanyanya balik.
Felix kembali memandang gerombolan orang yang tadinya berlari sekarang berjalan menuju sebuah lab yang pintunya terbuka menampakkan sesosok gadis di dalam.
"Mung―"
Ssat!
Sebuah bilah tajam melayang tepat di depan Felix. Kalau saja dia tidak mundur sedikit mungkin bilah itu sudah memotong hidungnya yang mancung.
"Wah! Reflekmu bagus. Aku sampai kagum!"
Felix membalikkan kepalanya. Memandang Ben penuh kebingungan dan kewaspadaan.
"Kenapa kau melakukan itu?" tanyanya tidak suka.
"Aku hanya bercanda. Aku tahu kau akan menghindar. Orang-orang yang dikirim ke sini hebat-hebat semua ya," Ben tertawa jenaka, "ayo kita susul mereka!"
Felix memandang sosok lelaki yang sudah berjalan lebih dulu menuju rombongn itu.
"Ayo," gumam Felix keras. Meraba jeansnya sekali lagi, mengeluarkan pistol yang dibawanya.
...............................................
:: Ravaka Leoned Zeanth ::
"Auw... kakiku! Belum sembuh terkilir, sudah terkena pedang bodoh itu," gerutu Qila sambil memegang kakinya.
Rava menengok kesekelilingnya, mencari sesuatu yang bisa mengobati gadis cerewet di sebelahnya yang sudah dipastikan tidak dapat berjalan dengan normal.
Matanya menangkap sebuah lab tua, tampak tak terawat.
Rava merobek lengan kemejanya dan melilitkan pada tungkai kaki Qila untuk mengurangi pendarahan. "Tunggu di sini, aku akan mencari obat di sana."
Qila mengangguk pasrah, menahan sakit.
Rava berlari menuju lab dengan tergesa. Tapi seorang hero pembelot menghadangnya dengan sebuah kapak dan seringai diwajahnya.
"Mau ke mana, bocah?"
"Sial."
...............................................
:: Reichi Harada ::
Rei memutuskan untuk menyimpan foto itu, memutuskan untuk keluar reruntuhan. Sudah waktunya ia berhenti bermain-main.
Ia pun keluar dengan wajah innocent-nya. Berniat mendekati seseorang yang diyakininya sebagai antihero sepertinya.
Sudah waktunya perkenalan bukannya begitu?
Tapi sepertinya orang itu tengah menghadapi situasi sulit. Ada seorang hero salah posisi dengan kapak di tangannya.
"Mau ke mana kau bocah?"
"Sial."
Crassshhh.
Sebuah pisau menembus kepala si hero. Sedetik kemudian kepalanya putus tepat di depan antihero teman senasibnya itu. Tentu saja ini perbuatan Rei. Ia lebih suka bertindak dengan cara tiba-tiba sebelum musuh menyadari keberadaannya.
"Kau tak apa?" tanya Rei datar. Mengulurkan tangannya kepada Rava.
Ia tampak terdiam. Sesaat kemudian ia mengangguk, tapi tak menerima uluran tangan Rei.
"Aku baik-baik saja," katanya dingin. Menatap Rei dengan penuh kecurigaan.
"Tenang saja. Aku antihero kok," kata gadis itu datar.
...............................................
:: Qila ::
Qila menatap Rava yang sudah melangkah menjauh dan kakinya secara bergantian. Ini Rava yang terlalu berlebihan atau bagaimana? Toh kakinya hanya tergores katana dan ini tidak parah. Kenapa laki-laki itu sangat panik?
Qila berdiri dari posisi duduknya tadi, tidak dapat dipungkiri jika kakinya terasa perih dan nyutnyutan karena keseleo dan goresan dari katana milik salah satu antihero. Namun, bukan Qila namanya jika luka seperti itu menghentikan langkahnya.
Dengan segera dia mengeluarkan dua bilah pisau yang sedari tadi dia simpan di balik celana jins hitamnya dan...
Crashhh.
Dia melemparkan salah satu pisaunya ke arah makhluk yang hampir saja menyerangnya dengan jaring laba-laba.
"Cih, mau membunuhku?" dengus gadis itu sinis.
Dia berjalan mendekat Felix dan Ben yang baru saja sampai di sekitar antihero lainnya.
...............................................
:: Abbiela Sadie ::
Abby yang berjalan paling depan bersama Rendo sontak menengok ke belakang, melihat semuanya kacau. Abby mendelik saat ia melihat sosok gadis di ruang Lab itu, terlebih lagi melihatnya mendekati 'teman-teman'-nya.
"Hei, kau—"
"Aku antihero," tukas gadis itu cepat, "aku Rei."
"Ya ya, aku tidak butuh sesi pengenalan diri. Sebaiknya segera temukan pengkhianat itu, keluar dari sini."
"Ah aku hampir lupa, gadis yang tadi menolong kita di mana ya?" tanya Rendo tiba-tiba.
"Biarkan saja dia, lagipula dia kan mengorbankan dirinya untuk ki—AWAS RENDO!"
SYUT!
Sebuah anak panah melesat dengan cepat ke arah Rendo, dan langsung saja ditangkis menggunakan pisau yang kebetulan ada di tangannya.
"Siapa yang seenaknya melempar panah di situasi seperti ini, hah?" gumam Abby pelan.
...............................................
:: Tanitra ::
Tanitra bertarung habis-habisan dengan Hulk. Badannya yang lebih kecil menguntungkan dirinya, karena ia bisa bergerak lebih lincah dari lawannya.
Aaaarrrggghhh!!!
Raksasa hijau itu berteriak kesakitan saat katana milik Tanitra menancap tepat di dadanya.
"Badan doang yang besar, tapi ngebunuh mahluk ini seperti ngebunuh ikan," ucap Tanitra lalu mencabut katananya dari dada Raksasa tersebut.
Tanitra melangkah menuju suatu reruntuhan bangunan. Di sana sudah berdiri beberapa orang yang tadi jatuh ke lobang ini bersamanya. Keadaan mereka sudah sangat lusuh, sama sepertinya.
"Kalian sudah menghabisi para hero itu?" Tanya tanitra setibanya di reruntuhan itu.
"Sepertinya sudah habis semuanya," jawab Rava.
"Dan sekarang saatnya mencari siapa penyusup diantara kita." Rei menutup pertanyaan itu.
Dan semua pasukan anti hero tersebut mulai saling menatap dan mempersiapkan senjatanya masing-masing.
...............................................
:: Qila ::
Qila menatap antihero yang lainnya dengan malas. Dia sudah lelah bermain-main di sini, ditambah kakinya yang sudah semakin menyiksanya membuat dia tidak bisa hanya berdiam diri.
Qila maju selangkah membuat seluruh perhatian bertumpu padanya. "Aku sudah lelah dengan semuanya. Adakah diantara kalian tahu siapa si pengkhianat ini?" tanya Qila sembari menatap satu persatu antihero di sekitarnya.
Tanpa sengaja pandangan Qila bertatapan dengan Rei yang seperti tengah mencari sesuatu di kantong bajunya. Mata gadis itu menyipit saat melihat Rei mengeluarkan selembar kertas diiringi dengan seringai di bibirnya.
"Ketemu!" ucap Rei dengan senyum miringnya dan menatap antihero yang lain dengan tatapan penuh arti.
................................................
:: Abbiela Sadie ::
"Siapa, Rei? Katakan!" pekik Felix tiba-tiba, membuat Ben sedikit terlonjak.
"I-iya, k-katakan Rei," ujar Ben.
Karena tidak sabaran, Abby akhirnya mengeluarkan senjata andalannya—sebuah Winchester milik ayahnya, dan mengarahkan moncongnya ke Tanitra.
"Yang paling terakhir dialah pengkhianat," ujar Abby sinis. "Terima kasih untuk bantuanmu sebelumnya, sayang."
"Tunggu, Abby. Jangan bertindak gegabah!" bisik Rendo.
"Aku bercanda," ujar Abby enteng, kemudian moncong pistol itu di arahkan tepat di hadapan Ben. Ben mendelik kaget.
"ManEin. Manusia pertama dan pendosa pertama," ujar Rei mantap. "Kuharap kalian cukup pintar."
"Sepertinya aku tahu," ujar Rava.
...............................................
:: Tanitra ::
"ManEin. Manusia pertama dan pendosa pertama," ujar Rei mantap. "Kuharap kalian cukup pintar."
Tanitra menyelidik semua orang yang ada di situ, katananya yang sudah berlumuran darah siap menebas siapa saja yang menjadi pelakunya. Meski badannya masih sedikit gemetar karena Winchester Abby sempat menempel dikepalanya, Tanita masih mencoba untuk tenang.
"Sepertinya aku tahu," ujar Rava. Semua mata kini tertuju pada Rava.
"Pelakunya adalah—"
Dor!
Suara ledakan pistol winchester milik Abby menginterupsi ucapan Rava.
"Kalian terlalu banyak bicara," ucap Abby.
"Dan kau adalah penyusupnya. NONA ABBY," ucap Rei sangat yakin.
"Apa buktinya?" Tanya Abby kepada Rei sambil menodongkan senjatanya kearah Rei, yang membuat Ben bernafas lega.
"Kau ingat beberapa saat yang lalu, kau sempat berkata 'Halo, korban pertama' di hadapan Qila yang tengah merasakan kesakitan," balas Rei sambil menodongkan katana miliknya.
Kini semua senjata mengaah kepada Abby.
Trang!
Tanpa ada yang menduga, tiba-tiba katana Tanitra sudah berada di dekat leher Abby, namun tertahan oleh senjata milik Qila.
"Maaf aku tidak sengaja, ini reflek," ucap Tanitra dengan santai. Lalu ia menurunkan kembali katananya.
"JANGAN BERTINDAK GEGABAH BODOH!" Ucap Qila dengan nada kesal. "Abby sudah menunjukkan kepada kita siapa penyusupnya."
Semua mata kini menatap ke arah Ben, namun orang yang di tuju sudah menjauh dari kerumunan.
Dor!
Satu tembakan tepat menenai kepala Ben. Abby melakukan pekerjaannya dengan sempurna.
Tubuh Ben tergeletak cukup jauh dengan posisi mereka saat ini. Saat mereka akan mendekati mayat Ben, suara seorang pria menggema diseluruh wilayah tersebut.
"Selamat! kalian telah menyelesaikan misi ini, dan tunggu beberapa saat, sebelum pintu menuju kembali ke dunia kalian terbuka."
Beberapa menit setelah suara tersebut sebuah pintu batu besar terbuka. Dan mereka kembali ke kehidupan masing-masing.
============== T HE E N D=============
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top