6. Dan Dia Kembali
Enjoy this sory!
Seorang cewek bertubuh mungil terlihat sedang bicara serius degan seorang cowok di taman belakang sekolah. Cewek itu terus menangis, meski cowok di depannya berusaha menenangkan.
Davie meraih bahu Zahra agar menghadap ke arahnya. Diusapnya air mata yang jatuh di pipi cewek itu, lalu Davie menyunggingkan senyum lembut ke arah Zahra. Senyum yang bahkan tak sampai ke matanya. Cowok berrambut coklat gelap tersebut berusaha memberi tahu, jika semua akan baik-baik saja meski mereka berpisah. Walau nyatanya mereka tak baik-baik saja. Sepasang sejoli itu sama-sama tahu jika jalan perpisahan akan membuat mereka terluka, tapi tak ada pilihan lain.
Hiruk pikuk suara alat musik yang terdengar bahkan tak mampu mengalihkan perhatian dua remaja itu. Keadaan ramai sekali, tapi mereka seakan larut dalam dunia mereka. Belum lagi semua anak yang tampil dalam acara perpisahan, menyanyikan lagu galau tentang perpisahan. seakan mereka semua bersekongkol untuk mengejek pasangan itu.
Tak ada yang bersuara di antara mereka, hanya suara isakkan Zahra yang terus keluar. Hingga Davie memilih menyudahi kebisuan.
"Jangan menangis. Kalau menurut kamu ini yang terbaik, aku akan coba ikhlasin kamu pergi. Jangan pernah membantah ibu kamu. Kamu tahu? pernah diizinkan mengenal kamu sudah lebih dari cukup. Setidaknya aku pernah memiliki seseorang yang menyayangiku dengan tulus." Ada jeda sejenak sebelum cowok itu mengembuskan napas berat. Davie berusaha menghalau rasa sesak di dadanya,
"aku janji, jika suatu hari Tuhan mengizinkan kita bertemu lagi, aku akan berusaha menjadi pria yang baik buat kamu. Agar apa yang ibumu takutkan nggak akan pernah terjadi."
Mendengar kata-kata itu, cewek di depannya semakin terisak, lalu cowok bermata tajam itu menarik gadisnya ke dalam pemelukan. Pelukan hangat yang selalu membuat Zahra lebih tenang.
Dihirupnya dalam-dalam wangi kas Davie, dan mencoba menyimpannya dalam ingatan. betapa dia dan bau khas laki-laki itu adalah kesukaannya. Karena Semua tentang Davie, Zahra selalu suka.
Davie melepaskan pelukannya. Ia menangkup pipi Zahra Lalu mencium kening, mata, pipi, dan bibir gadis itu sekilas. Davie menatapnya lembut.
"Aku sayang sama kamu, sayang banget. Mungkin ini yang terbaik buat kita. Terima kasih untuk semua hal yang sudah kamu beri. Aku janji, aku akan belajar dengan rajin. Seperti yang kamu bilang, jika kamu nggak diizinkan bersama orang yang namanya kamu sebut dalam doa, mungkin saja kamu akan dipertemukan dengan orang yang selalu menyebutmu dalam doanya. Jadi tetaplah saling mendoakan," Zahra hanya mengangguk mendengar ucapan Davie. Masih dengan air mata yang menetes. Sungguh Zahra benar-benar sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk mengeluarkan suara.
"Oh ya ... aku mau kasih lihat ini." Davie kembali memulai percakapan. Ia berusaha mengeluarkan sebuah formulir, piagam, dan mendali dari dalam tas. Lalu menunjukkannya pada Zahra. Cewek di depannya terlihat bingung.
"I-ini, a-apa?" Zahra bertanya dengan nada sesenggukan.
"Aku menang olimpiade kemarin, dan tahun depan inshaallah bakal ikut olimpiade tingkat provinsi. Lihat 'kan, Za. Aku bisa buktikan ucapan aku. Jadi, kamu nggak usah sedih. Aku pasti bisa buktikan ke ibu kamu suatu hari nanti. Jika aku, Adyatma Alby Davie, suatu hari akan layak menjadi pendamping seorang Zahrana. tunggu aku, ya." Zahra mengangguk mantap. dan menatapnya dengan air mata yang terus menetes.
Zahra berjanji bahwa dia akan menunggu saat itu datang. Saat Davie sudah berubah jadi seorang laki-laki dewasa. Begitu pun Davie, ia berjanji pada dirinya sendiri. Jika ia akan menemui Zahra saat dirinya telah layak untuk gadis itu.
********
Zahra berjalan masuk ke kantornya dengan perasaan lebih ringan. ia memilih berusaha berdamai dengan masa lalu termasuk tentang Davie. Mulai hari ini hanya Luky yang akan menjadi prioritas di hidupnya. Beberapa karyawan yang berpapasan menyapa wanita itu. Mereka bahkan terlihat heran saat melihat Zahra begitu ceria pagi ini.
"Pagi, Mbak Zahra," sapa seorang karyawan laki-laki yang berpapasan dengannya di loby kantor.
"Pagi," balas Zahra dengan senyum lebar. Lalu wanita itu menghampiri Wina, karyawan bagian resepsionis yang terlihat sedang serius.
"Hai, Win," sapa Zahra masih dengan senyum lebar.
Wina mengangkat kepalanya dan menyunggingkan senyum "Pagi, Mbak. Ceria banget hari ini? Baru dapat pengganti Pak Alfa?" Wina mulai meledek.
"Kepo." Zahra mengejek, sedang Wina mendengkus.
"Eeh, Mbak, tahu nggak kalau GM yang baru udah datang kemarin? Dia ganteng banget, Mbak. Sumpah." Wina begitu semangat.
Mendengar perkataan Wina, Zahra hanya memutar mata bosan. "Kamu 'kan, semua laki-laki di kantor ini juga dibilang ganteng."
"Yee, nggak percaya."
Tiba-tiba suara pesan terdengar dari ponsel Zahra. Wanita yang terlihat cantik dengan balutan dres hitam simple itu menyunggingkan senyum saat membaca pesan dari tunangannya.
Have a good day, honey.
I love you so much.
Zahra langsung mengetikan balasan ketika Wina bicara lagi. Wanita bertubuh kurus di depan Zahra melihat GM baru yang dibicarakan lewat di belakang mereka.
"Mbak, itu ...." Wina berusaha memberi tahu Zahra kedatangan GM-nya dengan mencolek bahu wanita itum
"Itu apa? Bentar saya balas pesan dulu." Zahra masih serius dengan ponsel di tangan.
"Itu GM barunya, Mbak. Ya Allah ganteng banget, sih." Wina terpesona, wanita itu menopang dagu dengan dua tangannya. Tatapannya terus mengikuti Davie hingga punggung laki-laki itu kian menjauh.
"Mana?" tanya Zahra setelah
ia selesai dengan ponsel. Zahra memutar tubuh, tapi yang dilihatnya hanya punggung Davie.
"Yaah, Mbak telat." Wina terdengar kecewa.
"Kamu tuh, ada-ada aja. Ya udah, saya naik dulu. Daah."
Baru dua langkah Zahra beranjak, di depannya berdiri Nanda dengan senyum sinis. Wanita berwajah oriental itu menyilangkan tangan ke dada. Sementara Zahra hanya menatapnya malas.
"Waah ... si putri malu sudah bangun dari hibernasinya. Bagaimana? Sudah puas berlari dari kenyataan?" kata Nanda dengan nada mengejek.
Di depannya Zahra hanya berdecak. "Ck, Minggir! aku mau kerja." Setelah mengatakan itu Zahra berlalu dan menabrak bahu Nanda. Tapi wanita itu menarik lengannya dengan kasar.
"Lepas, Nan. Mau kamu apa, sih!"
"Yang aku mau kamu enyah dari hidup Alfa."
Zahra mendengkus mendengar perkataan itu, menurutnya Nanda sama sekali tak logis.
"Bukannya kalian sekarang sepasang kekasih? lalu kenapa kamu masih mengingatkan aku soal ini? Aku bahkan sudah nggak perduli tentang Alfa. Karena bagiku laki-laki brengsek seperti dia nggak pantas untuk kuingat lagi." Zahra berujar tegas.
Perkataannya membuat Nanda mengatupkan rahang. Lalu mendorong Zahra hingga ia terhuyung ke belakang. Tapi sebuah tangan menopang tubuhnya.
Zahra buru-buru melepaskan tangan Alfa di pinggangnya dengan kasar. Lalu ia menegakkan badan dan menatap Nanda dengan berani.
"Kalian memang sama-sama menyedihkan." Setelah itu Zahra berlalu meninggalkan Nanda yang terlihat geram. Wanita itu mendengus, merasa caranya membuat Zahra kalah telah gagal.
Bukan ini yang Nanda inginkan, yang Nanda inginkan adalah melihat Zahra hancur. Bukan malah memperlihatkan senyum bahagia seperti tadi. Nanda muak, benar-benar muak. Kenapa Zahra selalu mendapatkan yang ia inginkan.
Zahra memilih menaiki lift menuju lantai lima, ia berpapasan dengan Diandra di koridor kantor. Wanita itu mengembuskan napas lega saat melihat dirinya datang.
"Hah, syukurlah kamu datang, cepat masuk sana! Pak GM nanyain kamu terus. Sepertinya dia marah karena kamu absen tanpa keterangan jelas. Belum lagi jadwalnya yang terbengkalai karena kamu nggak bisa dihubungi."
Zahra menarik napas. Sudah pasti ia akan terkena amukan bos barunya. Wanita itu hanya mengangguk pada Diandra lalu melangkah memasuki ruang GM.
"Eeh, Za. Hati-hati, nanti suka. Dia ganteng," ujar Diandra menghentikan langkah Zahra.
Orang yang diberi tahu mendengus, lalu benar-benar berlalu.
Saat sampai di depan ruang GM, Zahra mengetok pintu meminta ijin untuk masuk.
"Masuk!" seru suara di dalam. Begitu membuka pintu, Zahra melihat seorang laki-laki berdiri memunggunginya sembari berbicara lewat telepon. Zahra mengernyitkan dahi, ia merasa sedikit familiar dengan tubuh tegap di hadapannya, juga suara baritonnya yang terdengar tak asing di telinga. Laki-laki itu belum menyadari kehadiran Zahra, hingga ia memutuskan menegur lebih dulu.
"Maaf, Pak-" kata-kata Zahra terputus saat laki-laki yang sedang menelepon itu memutar tubuhnya. Zahra dan Davie sama-sama terkejut. Waktu seakan berhenti ketika tatapan mata mereka bertemu. Bagai adegan slow mosion dua insan itu sama-sama terdiam dengan tatapan saling mengunci. Tak ada yang bersuara.
Baik Zahra atau Davie memilih diam. Saling menelisik keadaan masing-masing. Mata Zahra terasa memanas. Ada rasa bahagia saat ia sadar ini bukan mimpi. Ia bahagia menyadari laki-laki yang sangat dirindukannya dalam keadaan baik-baik saja.
Tapi dadanya terasa nyeri saat menyadari Lagi-lagi takdir mempermainkan hidupnya. Di saat dirinya telah resmi menyandang status tunangan orang lain, laki-laki yang menjadi cinta pertamanya hadir kembali. Dalam wujud seorang laki-laki dewasa yang tampan dengan pesona yang dimiliki. Rahangnya terlihat lebih tegas, hidung mancung dan mata coklat terang itu yang dulu membuatnya jatuh cinta. Semua masih sama. Namun, lebih dewasa.
Davie pun sama terkejut. Ternyata dugaannya benar ketika melihat berkas pribadi Zahra kemarin. Mata coklat itu menatap Zahra penuh kerinduan. Tapi ia buru-buru merubah raut wajahnya saat melihat cicin tersemat di jari manis wanita itu. Ternyata benar, dia telah bertunangan.
Ada banyak pertanyaan di benak Zahra tentang keadaan laki-laki itu. Tapi hal selanjutnya yang terjadi justru membuat nyalinya menciut.
"Apa kamu sekretaris saya?"
Zahra diam, ia mencoba mencerna perkataan Davie karena tiba-tiba berubah dingin. Zahra mengerjap kan mata seolah berusaha menahan agar air matanya tak menetes.
"Ah, I-iya. Saya sekretaris Bapak," jawab Zahra terbata.
"Oh ... lain kali kalau tak hadir sertakan alasan yang jelas. Gara-gara kamu jadwal kerja saya jadi terbengkalai!" Davie berkata dengan nada tegas sambil menatap tajam ke arahnya.
"Maaf, Pak, ke-"
belum selesai Zahra bicara, Davie sudah lebih dulu memotong kata-katanya. "Kamu boleh pergi!" Setelah mengatakan kalimat singkat itu, Davie kembali memutar tubuh menghadap ke arah jendela besar di belakangnya. Tangannya tanpa sadar mengepal kuat. Laki-laki itu berusaha mengatur hatinya yang ingin meledak. Perasaannya kacau.
Sementara Zahra hanya bisa terpaku, kemudian mengangguk kecil ke arah Davie yang bahkan tak mau menatapnya.
Zahra menutup pintu dengan perasaan kacau. Ia meraba dadanya yang berdetak kencang, lalu setetes air mata yang ditahannya sekuat tenaga meluncur tanpa bisa dicegah.
Kenapa Davie bersikap seolah-olah mereka tak saling mengenal? Bahkan seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Apa ia benar-benar melupakan aku? Pikir Zahra.
Zahra memilih menenangkan perasaannya dan mulai bekerja. Meski ia sendiri tak yakin bisa tetap berkonsentrasi setelah ini.
*******
Hai hai ... aku datang lagi dengan Davie. Gimana menurut kalian part ini? Melow banget ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top