4. Harapan Baru

Mobil yang dikendarai Ian sampai di tempat tujuan sekitar pukul empat sore. Tak banyak yang berubah dari rumah tempatnya dibesarkan. Masih terlihat asri dengan halaman depan yang luas dan ditanami berbagai jenis tumbuhan. Dua buah pohon mangga di sisi kanan dan kirinya Menambah kesan sejuk pada rumah itu.

Mereka turun dan mengamati sekitar. Rumah di depan mereka bercat hijau daun, dan bergaya sederhana dengan dua joglo terdapat di bagian depan. Sementara di depan teras terdapat dua kursi yang terbuat dari rotan dengan meja berbentuk bundar.

Di sisi kanan dan kiri ada beberapa pot bunga yang diletakan di atas tempat duduk yang terbuat dari semen, dan ada beberapa yang digantung.

Sayup-sayup terdengar suara teriakan dari dalam rumah. Yang pasti suara Aldi, adik bungsu mereka.

"Ibu ... Bapak ... Mas Ian sama Mbak Giva sudah sampai!" Lalu remaja bertubuh tinggi itu berlari kecil menghampiri dua kakaknya.

"Mas ... Mbak." Aldi menyalami semua kakaknya dengan hormat. Lalu disusul ibu dan bapaknya yang keluar dari dalam rumah.

“Kakek!" Teriak Vanesa girang sambil berlari menghampiri kakek dan neneknya. Lalu mencium tangan mereka sebelum Cipto mengangkat Nesa ke gendongan.

"Aduuuh cucu Kakek sudah besar. Berat sekali ini," kata Cipto sambil mencium cucunya. Disusul anak dan menantunya yang mencium punggung tangan mereka.

"Ayo, kita masuk!" kata Irma sang ibu.

Saat masuk, ternyata keadaan rumah sedang ramai. Ada bu-de dan juga pak-denya sedang berkumpul di sana. Para budenya sedang sibuk membuat beberapa camilan.

"Walah, Giva, wis butul. (Giva sudah sampai)," kata Budenya yang berperawakan gemuk.

"Nggih, Bude. Saweg damel nopo? Rame tenan. (Ya, Bude, sedang membuat apa? Ramai sekali)," jawab Zahra menyalami budenya satu-persatu.

"Lah, koe rak ngerti to, Va? Kan mengko mebengi arep ana tamu sepesial. (lah, kamu nggak tahu ya, Va? Kan nanti malam akan ada tamu sepesial)," sahut Budenya yang berperawakan kurus. Mendengar jawaban itu Zahra terdiam. Firasatnya tak enak. Ibunya pasti merencanakan sesuatu.

"Yo wis, Bude. Giva istirahat sik yo," kata Zahra. Lalu wanita itu masuk ke dalam kamarnya dan menjatuhkan diri di single bad. Tak banyak yang berubah dengan kamarnya saat remaja ini. Hanya ada satu lemari di samping single bad, dan sebuah meja belajar di pojok ruangan. Bahkan cat dinding pun masih sama berwarna peach.

Entah apa yang ibunya rencanakan nanti malam, Zahra sudah tak mau merisaukan. Tubuhnya benar-benar meminta diistirahatkan setelah melalui perjalanan sekitar tujuh jam. Baru saja matanya hendak terpejam, suara pintu dibuka terdengar. Irma masuk, mau tak mau Zahra bangkit dan duduk menatap sang ibu.

Irma berjalan menghampiri Zahra dan menyunggingkan senyum menenangkan kearahnya. Mata Zahra mulai berkaca-kaca, lalu langsung menghambur memeluk pinggang Irma.

Irma memilih diam sembari mengelus puncak kepala putrinya agar tenang. Ia menanti Zahra mengutarakan apa yang tengah dirasakan. Irma rindu sekali saat-saat seperti ini. Saat Zahra selalu menangis dalam pelukannya, lalu bercerita sepanjang hari alasannya menangis.

Gadis kecilnya sekarang sudah jadi wanita dewasa, meski di dalam hatinya Irma masih menganggap Zahra tetap lah gadis kecilnya. Gadis kecilnya yang gampang sekali menangis saat melihat atau mendengar hal yang membuat hatinya terenyuh (kasihan).

"Wis, Nduk, wis. Ora perlu ditangisi. Alfa emang udu sing terbaik. (Sudah, Nak, sudah. Jangan ditangisi. Alfa memang bukan yang terbaik)."

"Giva nggak menangisi Alfa, Bu. Giva hanya sedih karena mengecewakan ibu sama bapak lagi."

"Wes ora pa-pa. Sana kamu mandi. Ibu sudah menyiapkan baju buat kamu ... itu." tunjuk Irma pada sebuah kebaya berwarna Pink yang diletakan di atas nakas. Di tempatnya Zahra terdiam, lalu bangkit dan meraih baju itu.

"Ini kebaya buat Giva, Bu?" Ibunya mengangguk sebagai jawaban.

"Tapi mau ada acara apa, Bu? Ibu menjodohkan Giva lagi sama anak teman ibu?" Ada jeda sejenak sebelum wanita yang tampak kuyu itu melanjutkan kata-katanya. Zahra menatap Irma curiga, sementara wanita yang ditatap masih bungkam. Zahra mengembuskan napas berat, mengerti dengan diamnya sang ibu.

"Bu, kan Giva sudah bilang, Giva nggak mau," lirih Zahra. Ia sudah tak memiliki tenaga lagi untuk berdebat soal jodoh dengan ibunya.

"Kamu dengar Ibu dulu, Va. Ibu nggak bermaksud menjodohkan kamu. Kamu sudah tahu laki-laki ini. Dia datang pada Ibu satu minggu yang lalu, tepat setelah seminggu kamu putus sama Alfa. Dia bilang nggak ingin main-main denganmu, jadi dia langsung memintamu pada Bapak. Dia juga bilang ini hanya sebuah simbol keseriusannya. Dia ingin melamarmu." Kata-kata ibunya membuat Zahra semakin tak suka. Wanita itu hendak melayangkan protes, tapi Irma lebih dulu menyela.

"Kamu dengar dulu," kata Irma lagi sambil meraih tangan Zahra, dan menggenggamnya. Ia berusaha membuat anaknya tenang dan mau mengerti .

"Dia hanya mengatakan nggak akan memaksamu menerima lamarannya. Yang dia inginkan hanya membuat kamu sadar, jika di dunia ini masih ada seseorang yang menganggap kamu berarti. Yang selalu menunggumu, dan dia sangat ingin membahagiakanmu."

Zahra diam dan menatap Irma bingung. Bagaimana bisa ada laki-laki seperti itu? Mempertaruhkan harga dirinya dan juga keluarganya. Apa laki-laki itu tak berpikir jika Zahra menolaknya, maka dia akan menjadi olok-olokan orang. Pikir Zahra.

"Va, ibu nggak mau memaksamu menerima dia kalau kamu nggak suka. Ibu akan bicara padanya agar membatalkan acara ini. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, ibu akan selalu ada untuk kamu meski yang ibu inginkan adalah melihatmu menikah. Ibu dan Bapak sudah tua, ibu hanya ingin yang terbaik buat kamu, agar kamu bahagia." Zahra masih diam dan menatap kosong ke arah pantulan dirinya di dalam cermin.

Seorang wanita berwajah oriental dan berpipi cuby terlihat di depannya. Wajah kuyu, bibir pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang bulat, menandakan akhir-akhir ini ia kurang tidur. Belum lagi hidungnya yang memerah karena menangis.

Zahra sadar, ia tak bisa seperti ini terus. Mengabaikan hidupnya dan juga kekhawatiran orang tuanya hanya demi keegoisan sendiri. Ia sadar, bahwa dirinya bukan lagi gadis tujuh belas tahun yang hanya bisa berangan-angan tentang seorang pangeran. Yang berdiri di depan sana adalah seorang wanita dua puluh sembilan tahun, dan memiliki masalah memprihatinkan terkait asmara. Harusnya ia sadar, selama ini ia terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk meratapi seseorang yang belum tentu juga memikirkannya. Ia telah menyia-nyiakan hidupnya sendiri.

Mengembuskan napas, Zahra berbicara tiba-tiba. Hingga membuat langkah Irma yang hendak pergi terhenti.

"Zahra mau menerima lamaran laki-laki itu." Zahra memantapkan hati. Senyum Irma merekah, seolah sudah lama sekali ia ingin mendengar putri semata wayangnya mengatakan itu.

"Iya, kamu bersiap-siap lah. Dandan yang cantik. Ibu ke dapur dulu." Zahra mengangguk, lalu ibunya melangkah pergi.

Zahra kembali mengembuskan napas selepas kepergian Irma. Sambil menatap cermin ia memanjatkan harapan. Mulai hari ini ia akan melupakan Davie, dan melanjutkan hidup dengan menerima laki-laki yang akan melamarnya. Ya, ia berjanji pada dirinya sendiri. Bahwa Dia, Zahrana Elsya Elgivana, akan selamanya menganggap Davie adalah kenangan. Ya, hanya kenangan. Dan ia akan mengubur harapannya tentang laki-laki itu bersama kenangan mereka.

*******

Sementara di sebuah rumah, seorang peria terlihat duduk termenung di atas balkon kamar. Tangan kiri pria itu memegang sebuah benda yang dari tadi terus dimainkan dengan cara dibuka dan ditutup berulang-ulang. Dipandanginya benda itu dengan tatapan kosong. Seolah-olah sedang mencari sebuah keajaiban.

Sementara di tangan kananya ia memegang ponsel yang dari tadi terus berdering. Pria itu hanya menatap sekilas benda pipih yang berbentuk persegi panjang tanpa minat.

Tanpa melihat pun ia tahu, jika orang yang terus mencoba menghubunginya adalah laki-laki itu. Laki-laki yang membuat wanitanya selalu menangis diam-diam. Ditatapnya sekali lagi layar ponsel, memastikan jawaban apa yang harus ia berikan pada orang itu. Lalu dengan ragu ia mengangkat telepon.

"Halo."

"Bagaimana, apa kamu sudah tahu Zahra di mana?" tanya suara di seberang tanpa basa-basi, membuat si pria kembali menyunggingkan senyum mengejek. Meski laki-laki di seberang sana tak melihat.

"Dia pulang, tapi kamu terlambat. Zahra sudah bertunangan hari ini," jawab si pria dengan suara datar. Nyaris tanpa ekspresi.

"Brengsek!" umpat suara di seberang, Setelah itu sambungan terputus begitu saja.

Pria itu mengembuskan napas berat. Dadanya terasa sesak, mengingat hal yang dilakukannya barusan amat sangat jahat. Katakan saja ia egois, demi dirinya sendiri ia ingin memiliki wanita itu. jika ini pilihan terakhirnya untuk bahagia, ijin kan kali ini saja ia bersikap jahat.

Lalu terdengar suara pintu kamar hotelnya diketuk.

"Sayang, cepat lah!" teriak suara itu mulai mendekat. Ia buru-buru bangkit dan beranjak dari duduknya.

"Ck, ayo turun! Yang lain sudah menunggu," kata seorang wanita paruh baya sambil menggandeng lengan si pria. Sementara yang diajak bicara hanya tersenyum simpul ke arah wanita itu. Lalu mereka melangkah menuju ke lift.

"Berbahagia lah," gumam si wanita.

"Nggak ada yang lebih indah dari hari ini." Setelah mengatakan itu, si pria mengecup pelipis wanita itu dan memeluk pinggangnya.

*********

To be continue....

Pembaca yang baik, jangan lupa tekan tanda bintang di pojok kiri bawah. Berikan apresiasi kalian untuk karyaku.

Menurut kalian siapa laki-laki yang melamar Zahra? Dan siapa laki-laki yang berbicara di telepon? Ikutin terus cerita mereka ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top