31. Kebenaran Yang Disimpan Rapat
Zahra baru saja keluar dari taxi ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi menegurnya di depan lobi apartemen.
"Mbak Zahra."
Zahra reflek menoleh pada sumber suara. Wanita itu memicingkan matanya. Zahra sedikit terkejut begitu dia mengingat bahwa laki-laki itu adalah asisten ayah Davie.
Zahra memutuskan mendekat meski dia enggan. Mengingat Davie sudah mewanti-wanti agar dia tak berurusan dengan segala hal yang terkait Yudanta.
"Anda kenapa bisa di sini?" tanya Zahra basa-basi. Dia jelas tahu tujuan laki-laki ini pasti memang ingin menemuinya.
"Bisa kita bicara sebentar di sekitar sini?" pinta laki-laki itu penuh harap.
Zahra tak kunjung menjawab, dirinya masih bimbang antara harus menuruti perkataan Davie, atau memberi laki-laki ini kesempatan.
"Hanya sebentar, Mbak. Ini sangat penting," sambung laki-laki itu karena Zahra hanya diam.
Zahra akhirnya mengangguk. Kemudian wanita itu meminta izin pada bagian resepsionis agar diberi akses membawa tamunya bicara di sekitar taman apartemen. Beruntungnya orang lobi mengizinkan, jadi Zahra tak perlu khawatir Davie memergokinya.
"Sebelumnya saya minta maaf karena harus menemui Anda diam-diam seperti ini. Saya tahu hari ini Mas Davie sedang tak bersama Anda. Makannya saya memberanikan diri ke sini."
Zahra hanya mengangguk paham. Memang Davie hari ini sangat sibuk. Kekasihnya itu bahkan tak bisa mengantar-jemput seperti biasa. Di kantor pun mereka tak bertemu hari ini, karena Davie harus ke luar kota untuk membereskan semua pekerjaan sebelum acara pertunangan mereka.
"Begini-"
"To the point saja apa yang hendak Anda sampaikan pada saya?" Zahra memotong ucapan asisten ayah Davie.
"Pak Yudanta sekarang di rumah sakit," ujar laki-laki itu.
Zahra terdiam. Dia bingung harus bagaimana merespon berita ini. Di sisi lain dia takut kalau-kalau Davie marah. Tapi satu sisi yang lain nuraninya ikut tergerak memikirkan keadaan Yudanta.
"Kalau dia sakit, lantas apa hubungannya dengan saya? Anda tahu sendiri, kan. Kalau Davie tak ingin lagi berhubungan dengan ayahnya."
Asisten ayah Davie menatap Zahra penuh harap. Laki-laki berwajah manis itu menanti Zahra berubah pikiran dengan harap-harap cemas. "Saya mohon, Mbak. Bujuk Mas Davie. Pak Yudanta sakit keras."
Zahra terdiam, wanita bermata sendu itu sedikit keget mendengar keseriusan dalam kata-kata asisten Yudanta. Ditatapnya sang asisten dengan beribu pertanyaan dalam benak. Zahra benar-benar diambang kebingungan. Haruskah dia percaya? Dia khawatir kalau Yudanta memang memiliki niat ingin memisahkan dirinya dengan sang putra.
"Maaf, saya tetap tak bisa membantu apa-apa," ujar Zahra keukeuh. Wanita itu memutar tubuhnya. Berniat pergi dari sana sebelum nuraninya mengalahkan pendiriannya. Sungguh, Zahra hanya tak ingin mencari masalah dalam hubungannya dengan Davie. Sedang mereka akan bertunangan dalam waktu dekat. Zahra ingin semua berjalan lancar hingga hari H.
Tapi, baru beberapa langkah berjalan, asisten Yudanta kembali membuka suara.
"Pak Yudanta terkena kanker."
Tubuh Zahra mematung. Jiwanya terasa melayang seolah apa yang barusan dia dengar adalah hal yang mustahil. Zahra kembali memutar tubuhnya menatap sang asisten. Bagaimana mungkin laki-laki yang terlihat arogant dan angkuh itu mengidap penyakit mematikan? Bahkan saat terakhir kali bertemu, calon ayah mertuanya terlihat sangat sehat.
"Ya, kanker otak stadium akhir. Waktunya sudah tak banyak. Dia hanya ingin menebus semua kesalahannya pada Mas Davie. Ada banyak hal yang harus saya jelaskan pada anak itu. Agar dia tahu bahwa ayahnya tak sejahat yang dia pikir. Tapi, Pak Yudanta selalu melarang saya untuk melakukannya," sambung asisten itu. Karena Zahra tak kunjung merespon ucapannya.
"Bawa saya menemui beliau," ujar Zahra setelahnya.
Laki-laki berperawakan tinggi di depan Zahra mengangguk, lalu membawa wanita itu ke rumah sakit khusus kanker di mana ayah Davie dirawat.
Zahra menatap iba laki-laki yang kini tergolek lemah di ranjang pasien, dengan berbagai alat penunjang kehidupan menempel di tubuh. Tak ada lagi Yudanta yang angkuh dengan tatapan mengintimidasi, seperti yang satu bulan lalu Zahra temui. Sorot mata tajamnya kini tampak meredup. Seolah tak memiliki lagi gairah hidup.
Rambut hitamnya yang selalu terawat kini ditutup dengan kain agar terlihat lebih baik. Bibirnya sangat pucat dengan wajah tampak lebih tirus.
Yudanta menyunggingkan senyum lemah pada Zahra begitu dia melangkah mendekatinya. Zahra lalu memutuskan duduk tepat di samping ranjang pasien.
"Bagaimana kabar Davie? Apa hubungan kalian baik-baik saja?" tanya Yudanta dengan suara lemah.
Zahra tak langsung menjawab. Entah kenapa dadanya terasa begitu sesak menyaksikan pemandangan ini. Matanya mulai terasa panas. Bagaimanapun juga, laki-laki ini adalah bagian dari hidup calon suaminya. Zahra tahu betapa Davie sebenarnya sangat merindukan sang ayah. Meski dia berusaha tak acuh.
"Alhamdulillah baik. Kami akan melangsungkan pertunangan sebentar lagi. Saya harap Anda bisa datang di acar itu."
Yuda tersenyum lemah ke arah Zahra.
"Saya tidak yakin bisa. Saya harap kamu rahasiakan ini semua dari Davie."
"Kenapa Anda tak mengatakan yang sebenarnya pada Davie? Sejak kapan?"
Yuda kembali tersenyum kemudian mengusap punggung tangan Zahra yang ada di sampingnya. Untuk pertama kalinya, Yudanta merasa bersyukur bisa berbicara dengan sumber kebahagiaan putranya.
"Sudah sejak saya memutuskan meninggalkan Davie dan ibunya."
Tenggorokan Zahra tercekat, bagaimana jika Davie tahu semua fakta ini. Apa lelakinya akan sanggup menanggung beban rasa bersalah sebesar ini karena sudah mengabaikan Yudanta.
"Jadi, apa Anda melakukan ini karena tak ingin merepotkan mereka?"
Yudanta mengangguk "Dulu saat saya baru mengetahui fakta ini, usia Davie baru empat tahun. Saat itu saya hanya bekerja di sebuah konveksi kecil milik seorang wanita yatim piatu. Dia sangat mencintai saya, maka saya memilih meninggalkan anak dan istri lalu menikah dengan dia. Dengan harapan setidaknya wanita itu bisa membantu saya berobat. Saya memang jahat karena menipunya. Tapi beberapa tahun setelah kami menikah dia meninggal karena kecelakaan. Sedang saya masih berjuang dengan kanker ini,
"Saya tetap berusaha membangun usaha yang wanita itu tinggalkan hingga menjadi perusahaan besar. Di samping itu, saya tetap mencari keberadaan Davie dan ibunya dengan harapan mereka masih bersedia menerima saya. Tapi ternyata luka yang saya berikan telah membekas. Meski begitu saya tetap mengawasi mereka dari jauh. Memastikan bahwa Davie mendaptkan semua yang terbaik."
Zahra membalas menggenggam satu tangan Yudanta dengan erat. Seolah memberi kekuatan laki-laki paruh baya di depannya agar tetap kuat dan bertahan.
"Saya janji, Pa. Akan membawa Davie ke sini besok sebelum kami resmi bertunangan. Saya harap Papa kuat untuk bertahan sebentar lagi. Dan maaf karena selama ini telah berpikir buruk pada Papa."
Yudanta terkesiap, dia tak menyangka Zahra bersedia memangilnya papa. Laki-laki itu menyunggingkan senyum bahagia kemudian mengangguk. Yudanta seakan kembali memiliki kekuatan untuk bertahan berkat Zahra.
"Terima kasih, Nak."
Zahra hanya membalas ucapan terima kasih itu dengan anggukan.
"Terima kasih, karena telah menjadi sumber kebahagiaan Davie. Berkat kamu dia memiliki tekat untuk meraih mimpinya. Walau saya tak bisa mendampingi."
"Semua tak lepas dari peran Papa juga," jawab Zahra. Rasanya penyesalan mulai menghampiri Zahra. Jika fakta sebenarnya memang begitu berarti Yudanta tak sekejam yang terlihat. Apa yang dia lakukan padanya kemarin bisa jadi hanya bentuk ujian untuk Zahra agar Yuda tahu bahwa calon istri putranya adalah wanita baik dan tak gila harta.
"Maaf kan saya karena kemarin meminta kamu memutus hubungan dengan Davi. Kamu tahu saya tak bermaksud untuk itu. Saya hanya ingin tahu ketulusan hati kamu mencintai putra saya."
Zahra tersenyum, ternyata benar dugaannya. "Iya, Pa, saya tahu."
Sementara di tempat lain, Davie sedang berusaha menghubungi Zahra berkali-kali. Tapi ponsel wanitanya tak aktif. Padahal dia berharap sekali bisa melepaskan rasa rindunya meski hanya lewat vidio call. Ah, selalu seperti ini rasanya jika berjauhan dengan Zahra. Rindu kadang benar-benar menyiksanya.
Davie ingat satu hal, bahwa dia sudah menyewa seorang boody guard untuk menjaga, dan mengawasi Zahra diam-diam. Dengan tujuan agar dia tahu apakah ayahnya masih berusaha mengusik hubungan mereka. Atau bahkan melukai Zahra agar meninggalkannya.
Baru hendak men-dial nomer boody guard Zahra, yang bersangkutan sudah menghubungi terlebih dulu.
"Bagaimana? apa ada-"
" ......................"
kalimat Davie terpotong dengan berita yang disampaikan oleh orang di sebrang. Tanpa mengucap sepatah kata pun dia menutup pangilan itu setelah mendengar semua informasi.
"Brengsek!" umpat Davie membanting ponselnya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top