20. Kebohongan.
No Edit! Jadi mungkin akan ada banyak typo. Aku lagi nggak enak badan sebenernya, tapi karena ini jadwalnya cerita ini yang Up aku harus konsisten. Demi kalian yang sudah menunggu kelanjutannya. Jadi divote ya, buat semangat aku agar cepat sembuh dan besok bisa lanjut Up Dimas dan Adiba.
*****
Pagi ini Zahra terlihat cantik dengan dress selutut berwarna pink miliknya. Dipadukan dengan blazer hitam, yang memiliki aksen renda di bagian kerah. Setelah memastikan penampilannya tak ada yang aneh, wanita itu menyambar tas prada pink miliknya yang tergeletak di atas tempat tidur. Sebelum kemudian keluar dan mengunci pintu apartemen. Namun, betapa kaget ia saat mendapati Luky berdiri di depannya sambil menyunggingkan senyum lebar.
"Pagi, Sayang," sapa Luky.
"Luky, kamu ngapain di sini?" Zahra kaget karena laki-laki itu datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
"Kejutan." Luky merentangkan tangan berharap Zahra memeluknya. Namun, tunangannya hanya menggeleng dengan senyum kecil.
Luky berdecak kesal karena Zahra tak kunjung menyambut rentangan tangannya. "Aku sengaja datang pagi-pagi karena nggak sabar ingin melihatmu," sambungnya.
Luky menatap Zahra sejenak. Memerhatikan wajah wanitanya yang beberapa hari ini tak dia lihat. Rasanya Luky begitu rindu pada Zahra, karena selama di Malaysa wanita itu tak mengabarinya sama sekali. Bahkan nomornya tak bisa dihubungi. Beberapa saat kemudian, Luky menarik Zahra ke dalam pelukan.
"Aku merindukanmu."
Mendengar ungkapan tulus Luky, Zahra hanya tersenyum samar tanpa mengucap sepatah kata pun. Dia bahkan tak membalas pelukan hangat tunangannya. Entah kenapa semua terasa berbeda. Semakin Zahra berusaha menerima kehadiran Luky, perasaannya justru semakin tak bisa dibohongi. Nyatanya, Zahra memang tak mencintai laki-laki ini meski sekuat hati dia berusaha.
Luky mengurai pelukannya, dan menyentuh pipi Zahra dengan lembut. Beberapa saat hanya keheningan yang terjadi di antara mereka, hingga Luky memberanikan diri mendekatkan wajahnya pada wajah Zahra. Berniat mendaratkan sebuah kecupan di bibir wanita itu.
Namun, Luky harus menelan kekecewaan begitu jarak wajahnya dan wajah Zahra tinggal beberapa jengkal. Wanita itu justru memilih memalingkan muka, seolah menolak dengan halus akan tidakan Luky barusan.
Zahra berusaha mengakhiri kecanggungan di antara mereka. "Ekhem ... sudah siang, Luk. Ayo kita berangkat," Zahra berkata sambil mendorong dada laki-laki itu dengan pelan, agar menjaga jarak. Kemudian dia memilih berjalan mendahului Luky.
Luky tersenyum kecut menatap punggung Zahra. "Ternyata kamu masih belum bisa menerima aku," gumamnya, lalu berjalan menyusul Zahra.
"Jadi, katakan sama aku kenapa selama di Malaysia ponselmu nggak bisa dihubungi?" tanya Luky ketika mobil dalam perjalanan.
Zahra menatap Luky penuh sesal. Dia sedih dan merasa begitu jahat karena dengan sadis bermain api di belakang laki-laki yang sudah resmi jadi tunangannya.
Zahra kecewa pada dirinya sendiri karena menghianati kepercayaan Luky. Entah apa jadinya jika laki-laki ini mengetahui kebersamaannya dengan Davie di Malaysia. Zahra menyunggingkan senyum samar dan menatap laki-laki di sebelahnya dengan sedih. Andai bisa dia mencintai Luky mungkin semua jauh lebih mudah.
"Mmm ... itu ... aku minta Maaf ... aku sangat sibuk di sana hingga nggak memiliki waktu dengan ponsel. Dari pagi hingga malam lembur terus gara-gara bos sialan itu," jawab Zahra tak sepenuhnya berbohong.
Meski dalam hati dia agak was-was dan takut.
Luky menautkan alis mendengar wanita itu menyebut-nyebut nama bosnya.
"Maksudmu bos yang mana? Laki-laki bernama Al itu? Atau Davie?" Mendengar Luky balik bertanya, Zahra semakin terlihat gugup.
"Pak Davie dan Pak Al tentu saja, karena selama di sana mereka terus memberiku tugas." Lalu setelah itu, Zahra menggaruk tengkuknya yang tak gatal, berusaha mengalihkan kegugupan.
Di tempatnya Luky hanya mengangguk pelan dengan senyum terpaksa. Luky jelas tahu ada sesuatu yang terjadi antara Davie dan Zahra di Malaysia. Terlihat dari gelagat wanita itu yang terlihat gugup. Setahunya Zahra tak pandai dalam berbohong.
Terlebih dua hari kemarin Luky melihat laki-laki bernama Al sedang bersama seorang wanita di sebuah restoran. Dua hari sebelum Zahra pulang ke Indonesia. Yang itu berarti Davie dan Zahra menghabiskan waktu mereka hanya berdua. Mengingat hal itu, Luki meremas stir mobilnya dengan kuat. Dengan rahang terkatup Laki-laki itu memaki-maki Davi dalam hati.
"Katakan sama aku kenapa bisa kamu tiba-tiba sudah ada di Jakarta? Bukannya semalam saat aku menghubungi, kamu bilang masih di Bandung?"
Pertanyaan Zahra membuat pikiran Luky teralihkan. Laki-laki itu menatap tunangannya sekilas lalu tersenyum, sebelum kembali mengalihkan perhatian pada jalanan di depan.
"Aku dipindahkan kerja di Jakarta untuk seterusnya."
Mendengar jawaban itu Zahra terlihat kaget. Dia bingung harus bereaksi bagaimana. Harus sedih atau bahagia.
"Oh, ya? Waah selamat, Ky, aku ikut senang," jawab Zahra dengan senyum terpaksa.
"Harus senang dong, kan sebentar lagi kita bisa sering-sering ketemu. Aku juga bisa antar jemput kamu mulai sekarang."
Zahra hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
Sisa perjalan dihabiskan mereka dengan kediaman. Baik Luky atau Zahra sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.
Hingga tak berapa lama, mobil yang dikemudikan Luky berhenti di depan kantor Zahra. Luky turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk wanita itu.
"Aku kerja dulu, kamu hati-hati bawa mobilnya," ujar Zahra saat ia telah keluar dari dalam mobil. Luky mengangguk, tak lupa senyum lembutnya dia pasang.
"Ya, kamu juga yang semangat kerjanya." Luky membelai lembut rambut Zahra.
Dia melirik Davie yang ternyata baru saja turun dari mobilnya. Seakan hendak menunjukkan pada laki-laki itu jika Zahra hanya miliknya.
Tanpa didiga, Luky mendaratkan satu kecupan cukup lama di kening Zahra. Tak ayal perbuatan laki-laki itu mengundang perhatian karyawan lain termasuk Davie yang menghentikan langkahnya. Luky bahkan bisa melihat dengan jelas rahang Davie yang mengeras, dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya.
"Sudah selesai mengisi baterai, sana masuk." Luky melepas kecupannya. Zahra hanya berdecak kesal, kemudian Luky melesat pergi.
Begitu Zahra memutar tubuh, dia dikagetkan dengan kehadiran Davie yang kini sudah berdiri di depannya. Zahra berusaha menyunggingkan senyum ke arah Davie. Namun, laki-laki itu terlihat dingin dan memilih pergi begitu saja tanpa menghiraukan keberadaannya.
"Ada apa lagi dengan dia? Dasar bunglon," gerutu Zahra kesal. Lalu memilih berjalan menuju ke ruangannya. Tapi di depan lobi ia harus bertemu Alfa. Wanita itu memutar mata bosan menatap laki-laki itu.
"Aku nggak menyangka di balik sikap tak acuhmu itu, kamu lebih jalang dari Nanda. Cih! Munafik."
Mendengar Alfa bicara sinis, Zahra menatap mantan kekasihnya tak suka.
"Apa maksudmu?"
"Sudah lah, nggak usah pura-pura. Setelah kamu putus dari aku, kamu menggoda Pak Davie bukan? Lalu sekarang laki-laki tadi? Benar-benar menjijikan!"
Mendengar kata-kata tajam Alfa, tangan Zahra terkepal kuat. Berani sekali Alfa menuduhnya seperti itu setelah apa yang dia perbuat. Zahra tak habis pikir dengan laki-laki ini, karena seolah terus saja mengusiknya.
"Dibayar berapa kamu sama mere-"
Plak! belum selesai Alfa bicara, Zahra sudah lebih dulu mendaratkan tamparan pada pipi Alfa.
"Dengar, laki-laki brengsek! Apa hak kamu mengatakan itu padaku?! Kamu bahkan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya!" Zahra memutar tubuhnya setelah itu, dia merasa buang-buang tenaga jika harus meladeni sampah seperti orang di depannya. Namun, langkahnya terhenti begitu ia teringat sesuatu.
"Ah ... satu lagi! Berhenti mengusik hidupku, dan urus saja kekasih jalangmu itu. Bagiku, kamu bukan siapa-siapa bahkan untuk sekedar kuingat sebagi mantan kekasih!" sambung Zahra penuh penekanan.
Setelah mengatakan itu, Zahra benar-benar pergi dari hadapan Alfa. Laki-laki itu terlihat meraba pipinya yang memerah karena tamparan Zahra. Sementara orang-orang yang melihat adegan drama tersebut justru menertawakan nasib Alfa.
*****
"Du ileeh ... yang berangkat dianterin tunangan. Masih aja ditekuk tuh muka."
Zahra terkesiap kaget saat di depannya berdiri Diandra dengan senyum meledek. Tak perlu menunggu persetujuan Zahra, Daiandra mendudukkan diri tepat di depan mejanya.
"Ada apa, Kak?"
Mendengar pertanyaan itu Diandra berdecak. "Ck! Harusnya tuh aku yang tanya itu, ada apa dengan tingkahmu hari ini? Perasaan dari pagi aku lihat melamun terus."
Zahra mengembuskan napas berat mendengar kata-kata Diandra.
"Aku hanya sedang bingung dengan sikap seseorang."
Diandra menautkan alis, dia bingung dengan yang dimaksud 'seseorang' oleh Zahra.
"Tunangan kamu?"
Zahra menggeleng. Diandra semakin dibuat penasaran. Karena tak biasanya Zahra terlihat begitu galau.
"Katakan aja dia teman lama. Sikapnya selalu berubah-ubah sama aku. Kadang dia baik, lalu tiba-tiba berubah jadi dingin."
"Mungkin kamu melakukan kesalahan yang membuatnya marah," jawab Diandra.
"Marah? Aku nggak merasa melakukan kesalahan, kami bahkan menghabiskan waktu bersama beberapa hari kemarin."
Mendengar penuturan Zahra, Diandra memicingkan mata curiga.
Zahra yang sadar dia sudah kelepasan bicara, langsung membekap mulutnya.
"Jelaskan ke aku apa maksudnya, Za? Jangan bilang kamu dan si Bos ganteng ada main?"
"A-aku ... emm ... aku-"
Tiba-tiba Davie membuka pintu dan mengagetkan dua wanita itu. Dan terpaksa menghentikan ucapan Zahra.
"Za. Tolong be-" Davie tak jadi melanjutkan ucapan saat melihat Diandra sedang ada bersama sekretaris-nya.
"Ah ... kebetulan kamu di sini. Tolong sampaikan beberapa berkas ini pada para manager divisi jika kamu tak keberatan, Di." Davie mengulurkan dokumen pada Diandra yang sekarang tengah tersenyum dengan lebarnya.
Mendengar itu, Zahra sedikit lega. Setidaknya hari ini dia selamat dari interogasi Diandra. Dia belum siap jika harus bercerita tentang Davie sekarang.
"Tenang saja, Pak. Saya masih kuat berjalan."
"Syukur lah kalau bisa, saya masuk dulu." Davie mengalihkan tatapannya pada Zahra sebelum ia masuk.
"Dan kamu, Za."
Interupsi Davie yang tiba-tiba membuat Zahra kaget dan mau tak mau menatap Davie yang tengah menatapnya datar.
"I-iya, Pak?" Zahra gugup.
"Selesaikan laporan kunjungan kita ke Malaysia secepatnya. Jangan melamun terus!" Setelah mengatakan itu Davie memasuki ruangannya kembali.
Sementara dua wanita di depannya hanya diam menatap pintu yang kembali ditutup.
"Jangan senang dulu, setelah ini kamu harus menjelaskan sama aku. Ada hubungan apa antara kamu dan si bos," Diandra mengintimidasi. Zahra mengembuskan napas berat saat Diandra pergi dari hadapannya.
♡♡♡♡
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top