19. Luka
No edit! Sorry banyak typo.
Seorang pria paruh baya tampak duduk santai di sebuah ruangan. Jari tangannya diketuk-ketukkan ke pinggiran kursi, menandakan pria itu tengah dihinggapi rasa jenuh. Sudah sekitar setengah jam dia berada di sana, menanti dengan bosan seseorang yang ingin sekali ditemui.
Pria itu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan yang didominasi warna krem. Sementara di belakang tempat ia duduk terdapat dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan taman belakang rumah, dan kolam renang.
Untuk keseluruhan desain interior di rumah ini, pria itu mengakui selera tinggi si pemilik rumah. Bagian dinding bahkan berlapis marmer dengan gradasi warna krem yang indah, begitu pun dengan lantainya. Perhatian pria itu teralihkan ketika Ranti memilih memecah keheningan.
"Ada urusan apa kamu datang ke sini?" Ranti bertanya dengan nada tak suka. Dia menatap mantan suaminya jengah.
"Aku hanya ingin menjenguk anakku, apa itu salah?" Pertanyaan pria tersebut hanya dijawab dengusan oleh Ranti. Wanita berrambut pendek sebahu itu merasa tak habis pikir, bagaimana bisa ada manusia tak tahu malu seperti pria di hadapannya.
"Setelah sekian lama, baru hari ini kah otakmu bekerja, hah!? Kemana saja kamu dulu ketika aku dan Davie membutuhkanmu?" ujar Ranti sinis.
"Aku tak perlu menjelaskan apa-apa padamu, kan?" Ada jeda sejenak sebelum Yudanta melanjutkan kata-katanya,
"aku tak menyangka, anakku telah menjadi orang sukses seperti sekarang. Menyesal rasanya aku meninggalkan dia denganmu."
Perkataan Yuda membuat Ranti bangkit dari duduknya.
"Cih! Jika tujuanmu ke sini hanya untuk menemui Davi, pergi saja! Karena dia sedang tak ada. Jangan pernah lagi datang ke sini! Pergi!" Nada bicara Ranti mulaui meninggi. Dia menunjuk pintu keluar dengan geram.
"Tanpa diberi penjelasan detail pun aku tahu semuanya tentang anak itu. Dengan siapa dan kemana dia pergi." Yudanta bangkit setelah itu.
"Ah baik lah, aku pergi. Tapi aku akan kembali ke sini lagi untuk bertemu anakku," sambungnya.
Setelah mengatakan itu Yudanta benar-benar pergi. Meninggalkan Ranti dengan berbagai macam rasa yang berkecamuk.
Ranti takut mantan suaminya menemui Davie, dia takut kehadiran Yudanta akan mempersulit hidup anaknya yang telah berubah lebih baik.
Ranti tahu betul betapa terlukanya Davie selama ini karena ayahnya, meski dia selalu menyembunyikan lukanya sendiri di depan Ranti.
Ranti juga tahu jika dulu Davie sering diam-diam memandangi foto ayahnya ketika dia hendak tidur. Lalu mata putranya akan berubah meredup saat sadar dia tak memiliki ayah seperti anak-anak lain. Ranti tak akan membiarkan Davie-nya kembali teringat kesakitan itu. Ranti tak akan pernah rela. Bertahun-tahun dia dan putranya berjuang sendiri tanpa sosok pelindung. Dan kini setelah Davie dewasa kenapa laki-laki itu justru mengusik.
Suara pintu dibuka kembali terdengar, samar-samar Ranti menangkap derap langkah kaki mendekat. Dia memilih diam tanpa beranjak dari duduknya. Ranti yakin sekali bahwa itu Yuda. Dia tahu sekali sifat laki-laki itu yang tak akan menyerah begitu saja dengan keinginanya.
"Ada apa lagi! Aku sud-" kata-kata Ranti terhenti begitu sadar yang sekarang berdiri di belakangnya adalah Davie.
"Mobil yang barusan keluar dari rumah siapa, Ma? Mama baru saja kedatangan tamu?"
Pertanyaan Davie yang spontan membuat Ranti menatap anaknya gugup.
"Ah ... bukan siapa-siapa. Hanya teman Mama."
Mendengar penuturan mamanya, Davie mengernyitkan dahi. Setahunya Mama tak banyak memiliki teman di Jakarta. Mengingat mereka baru pindah ke tempat itu.
Mengerti kecurigaan sang anak, Ranti memilih mengalihkan topik.
"Ah, kenapa kamu pulang hari ini? Bukannya dua hari lagi kamu baru pulang?"
"Iya, Pak presdir merubah jadwal mendadak."
Ranti mengangguk paham. Wanita itu memilih tak banyak bertanya.
"Ya sudah kalau begitu, kamu istirahat sana. Biar Mama siapkan makanan buat kamu."
Davie mengangguk, lalu berlalu dari hadapan Mama menuju ke lantai dua
Ranti hanya menatap punggung Davie yang menjauh, wanita itu mengembuskan napas berat. Berharap Tuhan tak akan mempertemukan Davie dengan ayahnya.
******
Davie merebahkan diri di tempat tidur. Duduk berjam-jam di perjalanan membuat tubuhnya terasa pegal, belum lagi hatinya yang kembali kosong karena harus berpisah dengan Zahra. Mengingat wanita itu, akhirnya dia kembali bangkit dan meraih kamera di atas nakas. Baru beberapa jam saja mereka tak bertemu rasanya Davie sangat rindu dengan Zahra.
Davie mulai melihat satu demi satu foto Zahra, senyum samar tersungging dari bibirnya saat mengingat wanita itu. Diraihnya ponsel di atas nakas, meski ragu, akhirnya Davie mengetikkan pesan ke nomor Zahra. Mungkin ucapan selamat malam untuk seorang teman tak masalah. Pikirnya.
Davie :
Apa kamu sudah sampai ke apartemen dengan selamat?
Davie menantikan balasan dari Zahra dengan harap-harap cemas. Hingga beberapa saat kemudian ponselnya bergetar, menandakan ada pesan balasan. Senyumnya merekah begitu tahu itu Zahra
My Sunsine :
Aku sudah sampai dari beberapa menit yang lalu, Boss. Anda sendiri bagaimana? Apa merindukanku heh? 😉😉😉
Davie berdecap sebal membaca balasan dari Zahra yang seakan menggodanya. Meski begitu, saat mengetikkan balasan senyum tersungging tak lepas dari bibirnya.
Davie :
Dasar narsis, nggak nyambung. Aku tanya apa kamu jawab apa. Tapi ... aku memang merindukanmu. Kamu juga pasti merindukan boss-mu ini, kan?"😛😛😛😛
My Sunsine :
Aku nggak mau rindu, berat. Biar boss aja. 😜😜😜
Seketika tawa Davie menggema karena balasan Zahra. Dia tak pernah menyangka, bertukar pesan dengan Zahra masih menyenangkan seperti dulu. Wanita itu meski aslinya pendiam, jika di obrolan chat seperti ini masih tetap cerewet, dan suka menggodanya.
Davie :
Jangan bilang kalau bertukar pesan dengan laki-laki lain kamu juga suka menggoda? 🤔🤔🤔
My Sunsine :
Kalau iya, kenapa?
Davie :
Karena aku pasti cemburu.
My Sunsine :
Sejujurnya, aku hanya begini dengan Bossku yang tampan saja. 😝😝😝😝
Davie : Bagus kalau begitu. Istirahat lah, dan tidur yang nyenyak. Jangan lupa mimpikan aku. Sampai jumpa besok, My Sunsine. 😘😘😘😘
My Sunsine :
Ok My Boss
Yang tak Davie ketahui, Ranti melihat semua tingkah putranya. Setelah sekian lama berlalu, baru hari ini Ranti kembali bisa melihat senyum bahagia Davie. Ranti jelas tahu itu karena siapa.
Ranti bingung harus agaimana menyikapi hal ini. Apa ia harus menghalangi Davie bersama Zahra, sementara wanita itu adalah sumber kebahagiaan putranya. Tapi jika dibiarkan ini jelas salah, pikir Ranti. Dari cerita Mita Zahra adalah tunangan Luky.
Ranti hanya bisa mengembuskan napas dan memilih turun, tadinya dia berniat memberi tahu Davie ada Mita di bawah.
"Davie sepertinya sedang istirahat, Ta. Kalau kamu mau, ke atas saja. Tante bikin makanan dulu buat kalian," ujar Ranti ketika dia sampai di lantai bawah. Mita mengangguk, lalu naik ke lantai dua.
Mita membuka pintu kamar Davie dengan perlahan. Namun, tak terlihat Ada Davie di sana. Dia mengedarkan pandangan ke penjuru kamar yang didominasi warna krem dan putih itu, dengan jendela besar di belakang ranjang.
Tak banyak barang di kamar Davie, hanya sebuah lemari di sebelah ranjang dan sebuah lampu tidur di atasnya. Sementara di dinding tepat berhadapan dengan tempat tidur, terdapat sebuah lukisan besar.
Tatapan Mita kemudian jatuh pada sebuah kamera yang tergeletak di atas tempat tidur. Dihinggapi penasaran, dia meraih kamera tersebut dan mulai membuka satu persatu foto yang ada di dalamnya.
Mita tersenyum miris dengan dada bergemuruh hebat. Darahnya terasa mendidih ketika melihat satu persatu potret kebersamaan Davie dan Zahra di Malaysia.
Ada satu foto yang membuatnya semakin tak tahan untuk membanting kamera itu, yaitu foto Davie yang tengah berciuman dengan Zahra. Bisa-bisanya Davie besenang-senang dengan wanita itu sementara di sini dia setengah mati menahan rindunya. Geram Mita.
Namun, ketika dia hendak membanting kamera di tangan, Davie keluar dengan rambut basah dan hanya mengenakan celana, sementara handuk kecil berada dikepala. Laki-laki itu kaget mendapati Mita berada di kamarnya.
"Mita ... apa yang-" kata-kata Davie terhenti begitu dia menyadari Mita dengan lancang memasuki kamarnya tanpa izin, dan melihat hal yang harusnya tak dia lihat.
"Berikan padaku kameranya," ujar Davie dingin, sambil mengulurkan tangan pada Mita. Berharap wanita itu menuruti kemauannya. Namun, Mita justru tersenyum sinis.
"Kenapa? Apa aku nggak boleh melihat pemandangan menjijikan di dalamnya? Hah!" ujar Mita dengan nada geram.
"Berikan itu padaku, Mita! Nggak seharusnya kamu di sini dan lancang melihat barang-barang pribadiku."
Mendengar perkataan sinis Davie, Mita mendengus. "Apa kurangnya aku dibanding wanita itu?" Mita bertanya dengan nada dingin.
"Apa maksudmu?"
"Apa kurangnya aku dibanding dengan wanita murahan itu, hah!" ulang Mita penuh penekanan.
Kontan membuat rahang Davie mengeras.
"Jaga bicaramu! Zahra nggak seburuk yang kamu pikirkan."
"Lalu, sebutan apa yang pantas untuk wanita yang telah bertunangan tapi dia menggoda milik orang lain, hah?" jawab Mita lirih. Namun, sarat kebencian.
Davie hanya bergeming menatap Mita. Laki-laki itu tahu, dia sudah begitu jahat pada wanita di depannya. Davie membuang muka, dia tak mau menatap mata terluka Mita yang seolah membuatnya merasa bersalah.
"Jawab aku! Sebutan apa yang pantas untuk wanta itu, Brengsek!" Teriak Mita marah, karena Davie tak kunjung membuka suara.
Davie memilih diam ketika dengan gerakan cepat Mita membanting kameranya ke lantai, hingga menimbulkan suara benda pecah cukup keras.
"Setiap hari di sini aku menahan rindu, sementara dengan jahatnya kamu dan wanita itu bersenang-senang. Kamu pikir hatiku terbuat dari batu, hah?! Kamu pikir aku wonder woman?!" Napas Mita terengah,
"Aku lelah harus seperti ini terus, Dav. Tak bisakah kamu menghargai keberadaanku sedikit saja? Tak bisakah kamu mencoba mencintai aku?" lanjut Mita lirih dengan air mata membasahi pipi.
Dengan langkah pelan, wanita itu meninggalkan Davie yang masih terdiam di tempatnya.
"Berhenti lah menungguku jika itu membuatmu semakin terluka," ujar Davie menghentikan gerakan tangan Mita yang hendak memutar kenop pintu.
"Aku sudah bilang berkali-kali bukan? Kalau perasaanku padamu tak lebih dari sahabat. Dan aku bukan milik siapa-siapa jika kamu ingat. Aku memang membiarkanmu berada di sisiku, tapi bukan berarti kamu bebas mengakui aku milikmu," sambung Davie.
Mita tersenyum miris. Wanita itu masih berdiri memunggungi Davie.
"Jika aku tak bisa memilikimu. Maka akan kupastikan wanita itu pun tak akan bisa memilikimu, dan jangan pikir aku akan menyerah tentangmu setelah ini."
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Davie awas.
"Bukan urusanmu." Mita mengusap air matanya kasar, lalu melangkah meninggalkan Davie.
"Aku tak akan memaafkanmu jika kamu berbuat melebihi batas pada Zahra," gumam Davie dengan tangan terkepal.
*****
Hai haiii akhirnya up Davie lagi yeeey. Menuju konflik puncak. Adakah yang penasaran dengan apa yang akan mita lakukan? Penasaran dong ya. Tapi mita kasihan banget nggak sih? Aku kok kasihan ya.
Jangan lupa tingalkan jejak biar aku mangat lanjuuut. Ayo ayo ditap love nya dan dikomen. See you next chapter.
Salam sayang dari aku .... 😘😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top