18. Berpisah
Pagi hari ketika Davie terbangun, dia mendapati Zahra sedang berkutat di dapur dengan celemek di tubuh. Wanita itu terlihat sangat serius hingga tak menyadari Davie sedang mengamati dari tempatnya berdiri.
Davie menyunggingkan senyum kecil, dia sedang membayangkan jika suatu hari akan terus menikmati pemandangan ini setiap pagi. Seandainya itu jadi nyata, mungkin dia akan jadi laki-laki paling bahagia.
Davie memutuskan mendekati Zahra, lalu memeluknya dari belakang.
Zahra terkesiap kaget dengan aksi tiba-tiba laki-laki itu. "Astaghfirallah, Dav. Kamu mengagetkan aku aja," ujar Zahra mengelus dadanya.
"Kamu lagi masak apa?" Davie mengabaikan kekagetan Zahra.
"Aku sedang membuat omlette."
"Kelihatannya enak." Davie melirik dua omlette yang sudah Zahra letakkan di atas piring.
Zahra tersenyum mendengar kata-kata Davie. "Insha allah enak, kamu duduk, gih, bentar lagi selesai kok."
"Bahagianya jika setiap hari kita bisa seperti ini. Melihatmu setiap pagi menyiapkan sarapan untuk aku dan anak-anak kita."
Mendengar kata-kata Davie, Zahra terdiam dan menyunggingkan senyum getir. Dalam hatinya pun tak jauh beda dengan pemikiran itu. Memiliki keluarga yang bahagia dengan orang yang dicintai adalah impian semua wanita.
Davie yang menyadari kata-katanya membuat Zahra kembali murung, langsung diserang rasa panik.
"Sayang, maaf. Aku nggak bermaksud-"
Zahra memutar tubuh, kemudian menangkupkan tangan ke pipi kekasihnya.
"Ssst ... nggak apa, aku ngerti kok," ujarnya menghentikan ucapan Davie.
Senyum tulusnya membuat laki-laki itu mengembuskan napas lega. Davie kemudian mengecup punggung tangan Zahra, disusul kening wanita itu. Berharap sekali Zahra kembali merasa nyaman.
"Ya sudah ... kamu duduk sini." Zahra menarik tangan Davie agar laki-laki itu duduk di kursi, sementara dia mengambil omlette dan menyiapkan segelas susu untuk sarapan mereka.
"Kita pulang hari ini, kan?" tanya Zahra di sela-sela makan mereka.
"Iya, kok kamu tahu?" Davie memicingkan mata pada wanita di depannya yang terlihat gugup.
"Itu ... aku ... Pak Al juga kirim pesan sama aku."
"Apa!" Pekikan Davie membuat Zahra berjangkit kaget dan menutup kupingnya.
"Ah ... maaf, maksudku kenapa dia mengirim pesan sama kamu? Dia nggak merayu kamu, kan? Dia nggak bicara macam-macam, kan?"
Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu, Zahra memutar mata bosan.
"Tadi pagi dia hanya menyuruhku mengurus kepulangan kita. Penerbangan jam tiga sore, kamu udah siap-siap?" tanya Zahra
"Sudah, barang-baramu sendiri bagaimana? Pak presdir merubah jadwal dadakan sekali," gerutu Davie.
"Udah, makan dulu aja. Barang-barangku juga udah ku-packing."
Davie mengangguk paham, lalu mereka memilih makan dalam diam.
Setelah sarapan selesai, Zahra mencuci semua peralatan dapur yang kotor dan membereskan semua barang di sana sebelum mereka pulang. Dibantu Davie disebelahnya yang dari tadi terus merecoki, dan memaksa membantu mencuci piring. Alhasil pekerjaan mereka harus selesai cukup lama, karena Davie terus saja mengusiknya.
Dan kini, mereka telah rapi dengan setelan masing-masing. Dua orang itu Berdiri di depan apartemen untuk menanti kedatangan sopir yang akan mengantar ke bandara. Sepanjang menunggu, Davie terus menggenggam tangan Zahra dengan erat, seolah memastikan agar dia tetap disisinya. Zahra tak protes sama sekali, karena dia pun merasa memang seharusnya seperti itu.
Davie menatap Zahra yang tengah berdiri menatap kosong ke jalan raya. Rambut panjang wanita itu tertiup angin, dan menciptakan perpaduan indah yang menampilkan kecantikan alami hasil karya Tuhan.
Zahra bahkan tak memakai mack-up apa pun kecuali bibir tipisnya yang diberi lipstik warna nude. Ditambah wajahnya yang memerah karena cuaca hari ini lumayan panas. Davie selalu suka mata sendu Zahra sejak dulu, tatapan matanya menyimpan keteduhan yang mampu membuat dirinya merasa tenang.
"Aku pasti akan merindukanmu setelah ini." Kata-kata Davie membuat Zahra mengalihkan tatapan padanya.
Menyunggingkan senyum lembut, Zahra menjawab ucapan Davie.
"Jangan pernah lupakan hari ini. Kalau kamu merindukanku, pejamkan saja matamu, dan bayangkan senyumanku yang manis ini," goda Zahra pada laki-laki yang paling ia cintai.
Davie membalas dengan dengusan.
"Iya baik lah, akan kucoba tips darimu."
Tak berapa lama, mobil ferari berwarna putih memasuki apartemen, dan berhenti tepat di depan mereka. Lalu keluar seorang sopir.
"Maaf, saya agak telat dan membuat Anda menunggu."
"Its okey, ayo kita berangkat." Kata-kata Davie hanya dijawab anggukan kecil Zahra.
"Kamu masuk dulu, aku bantu sopir mengangkat barang-barang kita." Zahra mengangguk, lalu memasuki mobil lebih dulu. Disusul Davie yang duduk di samping wanita itu.
Sepanjang perjalanan, Davie terus mendekap tubuh Zahra, tangan mereka saling menggenggam. Davie tak hentinya mendaratkan kecupan lembut di dahi Zahra yang bersandar pada dada bidangnya. Keduanya hanya diam, sama-sama menikmati kebersamaan mereka yang tinggal hitungan menit. Karena setelah ini, semua akan kembali seperti semula.
Memasuki bandara pun, Davie terus menggenggam tangan Zahra. Bahkan hingga pesawat akan take of, Davie tak pernah melepaskan wanita itu seolah hari ini adalah hari terakhir mereka bertemu.
Seorang pramugari menghampiri pasangan itu, dan menawarkan bantuan. Entah apa maksud pramugari cantik tersebut, karena sejak awal Davie masuk dia terus mencuri-curi perhatian, dan gelagat itu tak luput dari pengamatan Zahra.
"Maaf, Tuan. Bisa pakai sabuk pengaman Anda." Pramugari itu hendak membantu Davie memakaikan sabuk pengaman. Namun, langsung di tolak olehnya.
Zahra mendengus jengkel mengetahui ada wanita cantik berniat menggoda Davie. Karena kesal, Zahra membuang pandangan keluar jendela, sambil menyilang kan tangan ke dada.
Sementara Davie justru menyunggingkan senyum lebar, menyadari Zahra mungkin saja cemburu.
"Kamu marah?" tanya Davie berusaha mengamati ekspresi wajah Zahra.
"Siapa bilang! Maaf-maaf saja, nggak ada kata cemburu dalam kamusku."
Jawaban judes Zahra justru membuat Davie menahan tawa.
Zahra yang merasa kesal karena ditertawakan menatap Davie "Kenapa tertawa?" Kali ini Zahra bertanya dengan nada jengkel, wanita itu bahkan mendelik ke arah Davie.
"Aku tadi nggak bertanya kamu cemburu, aku hanya tanya apa kamu marah?"
Wajah Zahra memerah seketika. Wanita itu menyilang kan tangan kesal, dan kembali mengalihkan tatapan ke luar jendela pesawat.
"Issh, dasar menyebalkan." Zahra merutuk tingkah konyolnya sendiri. Kenapa bisa saat seperti ini dia harus cemburu.
Tiba-tiba Davie menarik tangan Zahra dan menggenggamnya, mau tak mau dia mengalihkan tatapan pada Davie.
"Terima kasih sudah cemburu, itu berarti perasaan kita sama." Zahra hendak protes karena kata-kata Davie, tapi laki-laki itu sudah lebih dulu menarik kepala Zahra agar bersandar di bahunya.
"Ternyata sifat gengsimu masih sama seperti dulu, kamu selalu aja mengelak saat aku bilang kamu cemburu. Padahal udah jelas sekali dari tadi kamu menahan kesal." Ledekan Davie hanya ditanggapi decapan kesal. Zahra memilih memejamkan matanya hingga pesawat lepas landas di bandara Soeta.
Davie dan Zahra keluar dari bording pesawat. Perasaan mereka sama-sama bimbang, sama-sama enggan melepaskan ikatan yang terjalin kembali setelah sekian lama. Namun, baik Zahra atau Davie juga sama-sama mengerti keputusan terbaiknya agar mereka tak semakin terluka.
Zahra mengikuti langkah Davie yang menggenggam tangannya. dengan wajah tertunduk lesu, wanita itu terlihat murung. Sementara bulir panas di matanya semakin mendesak untuk keluar. Ketika sampai di luar ruang boarding, Davie menghentikan langkahnya, lalu menatap Zahra yang masih tertunduk.
"Hey ... lihat aku." Tak ada jawaban dari wanita tersayangnya.
"Sayang, lihat aku." Davie tertegun ketika Zahra menengadahkan wajah dengan air mata berlinang. Dadanya ikut nyeri, untuk kesekian kalinya dia harus menjadi penyebab wanita ini menangis.
"Maaf ... membuatmu menangis lagi. Aku harap setelah ini hidupmu akan lebih baik tanpa aku. Jangan pernah saling menghindar lagi jika kita bertemu. Setidaknya, izinkan aku melihat senyummu agar aku yakin kamu baik-baik saja meski kita tak bisa saling memeluk, dan memiliki. Nggak bisakah kita berteman?"
Zahra tak mampu membalas perkataan Davie, dia sibuk menata hatinya yang remuk redam karena perpisahan mereka.
Wanita itu hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
Lalu Davie mengusap air mata Zahra sebelum dia melanjutkan ucapannya.
"Ayo kita berdamai dengan semuanya, dan saling merelakan. Aku akan berdoa demi kebahagiaanmu, begitu juga kamu. Aku harap bersedia mendoakan kebahagiaanku."
Zahra mengangguk lagi, lalu Davie mendaratkan satu kecupan di kening wanita itu sebelum mereka berpisah.
"Aku pergi." Setelah mengatakan itu Davie memutar tubuh. Melangkahkan kakinya dengan berat. Davie berusaha menulikan telinga meski tangis Zahra terdengar memilukan.
Zahra masih setia berdiri di tempatnya, dia menundukkan kepala dalam. Wanita itu tak peduli meski orang yang berlalu-lalang mulai memerhatikan.
Davie yang tak tahan akhirnya memutar tubuh kembali, dan menghampri Zahra yang masih terisak. Ditariknya dagu Zahra agar bersedia menatapnya.
Bagai adegan slow mosion, Davie mendaratkan kecupan perpisahan di bibir Zahra. Tak ayal perbuatannya mengundang sorakan semua pengunjung bandara.
Beberapa saat kemudian dia melepas pagutannya, dan menarik Zahra ke dalam pelukan. Ditepuknya punggung Zahra dengan lembut, berusaha menenangkan. Hingga isakan wanitanya berangsur-angsur terhenti.
"Jangan menangis lagi, setelah ini kita masih bisa bertemu, kan." Setelah mengatakan itu, Davie mengurai pelukannya, kemudiam mengecup dahi Zahra sekali lagi.
"Pergilah, dan jangan berbalik hingga aku benar-benar tak terlihat." Davie berkata sambil mendorong kecil bahu Zahra.
Dengan berat hati Zahra terus melangkah tanpa berbalik lagi, sesuai kata-kata Davie. Sedang Davie pun tak beda jauh, dia hanya bisa menatap punggung Zahra yang menjauh hingga siluitnya tak terlihat.
"Selamat tinggal, kenanganku," gumam Davie lirih.
****
Hai hai selamat pagi, akhirnya bisa up mereka juga. Maaf ya kalau banyak typo. Jangan lupa tinggalkan jejak biar aku semangat lanjut. Kalau sepi terus aku berasa ingin hapus cerita ini 😆😆😆😆. Terimakasih yang mau repot-repot kasih love, ini untuk kalian.
See you next chapter.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top