16. Pilihan Yang Sulit.
Zahra terbangun dan mendapati sepasang mata coklat terang sedang menatapnya dengan intens. Davie menyunggingkan senyum menawannya, hingga membuat jantung Zahra berdetak tak beraturan.
"Morning, Baby." Davie mendekatkan wajahnya ke wajah Zahra.
Tindakannya refleks membuat wanita itu memundurkan kepala sambil memejamkan mata. Berusaha menghindari aksi Davie yang hendak mendaratkan kecupan selamat pagi.
"A-aku keluar dulu," ujar Zahra terbata.
Namun, ketika wanita itu hendak beranjak dari tempat tidur, Davie justru menarik tangannya hingga tubuh Zahra terduduk ke ranjang. Secepat kilat, Davie mendaratkan kecupan di bibir wanita itu. Zahra terdiam karena merasa terkejut dengan aksi tiba-tiba Davie.
"Mandi lah, lalu dandan yang cantik. Kita akan jalan-jalan keliling Kuala Lumpur hari ini."
Zahra mengangguk patuh mendengar perintah itu. Ia merasa tak habis pikir dengan aksi yang dilakukan mantan pacar sekaligus bossnya itu. Sepertinya Davie memilik hobi baru, yaitu membuat jantungnya berdetak tak beraturan.
Belum selesai dari keterkejutan, lagi-lagi Davie mengecup bibir Zahra.
"Davie, bisa nggak jangan membuat aku mati terkena serangan jantung!" sungut Zahra pada laki-laki itu.
Davi hanya menanggapi kekesalan wanita di depannya dengan senyum. "Apa salahnya mencium kekasih sendiri."
"Hah ... terserah lah. Lebih baik aku mandi dari pada harus meladeni mu." Zahra beranjak dari ranjang setelahnya.
Davie menatap punggung Zahra yang menjauh. Ia tahu ini salah. Memaksakan memiliki Zahra hanya selama di sini, sementara dia tak memikirkan akibatnya setelah mereka kembali ke Indonesia. Mengabaikan nuraninya, Davie mengatupkan rahang ketika mengingat kecurangan Luky yang mencuri Zahra darinya. Jadi, apa salahnya aku memilikinya untuk kali ini. Pikir Davie.
"Maaf kan aku, Mita," gumamnya kemudian saat teringat wanita itu. Davie memutuskan beranjak dari tempat tidur untuk membersihkan diri.
Di kamarnya, Zahra sedang mengeluarkan semua isi pakaian dari dalam koper, memilih baju paling cocok untuk dia kenakan. Setelah beberapa menit berkutat dengan baju-bajunya, akhirnya Zahra memutuskan mengenakan mini dress bermotif bunga tanpa lengan dengan warna dasar nevi. Setelah itu memoleskan makeup natural dan mengambil sepatu flat-nya.
Zahra selalu merasa lebih nyaman memakai sepatu tanpa hak, dibandingkan harus memakai high heels yang menyiksa kakinya. Setelah memastikan semuanya cocok, dia meraih tas hermes kecil berwarna krem, dan bergegas keluar.
Saat keluar, Davie telah menunggunya di depan pintu kamar sambil menyandarkan punggung ke tembok. Laki-laki itu terlihat tampan dengan polo shirt berwarna putih dilapisi jaket bomber berwarna Nevi berpadu jeans hitam. Sementara kamera DSLR tergantung di bahunya.
Penampilan Davi yang terlihat lebih santai dengan rambut sedikit berantakan semakin membuatnya terlihat tampan. Hingga tanpa sadar Zahra tak berkedip menatap laki-laki itu. Sial! Kenapa dia semakin tampan, dan Kenapa bisa warna baju yang kami kenakan senada seperti ini.
"Kenap?"
Pertanyaan Davie membuat Zahra kaget.
"T-tidak ... ayo kita berangkat."
"Lets go, enjoy your day with me, Baby." Davie menarik tangan Zahra untuk digenggamnya.
Mobil ferari berwarna putih yang disediakan perusahaan telah terparkir cantik di depan apartemen.
"Silakan masuk, Tuan Putri." Davie membukakan pintu mobil.
"Thanks."
Mobil melaju meninggalkan apartemen dengan kecepatan sedang. Davie melirik Zahra yang terlihat menawan hari ini. Laki-laki itu menyunggingkan senyum tanpa sadar, lalu meraih tangan Zahra dengan satu tangannya yang tak memegang kemudi. Reflek Zahra memutar kepalanya menatap Davie, mereka saling melempar senyum.
"Kamu cantik hari ini, dan aku suka." Kata-kata Davie membuat Zahra tersipu malu. Seandainya kita bisa selalu seperti ini, batin Zahra sambil menatap laki-laki di sebelahnya yang sedang serius menyetir.
"Kita akan ke mana hari ini?" tanya Zahra pada Davie.
"Nanti juga kamu tahu. Ngomong-ngomong aku baru sadar kita memakai warna senada."
Mendengar perkataan Davie, Zahra berdecak. "Ck, dari tadi kamu ke mana? Baru nyadar." Davie hanya tersenyum kecil menatap wanita itu.
☆☆☆☆☆☆
Beberapa saat berkendara, mobil sampai di sebuah tempat wisata yang berlokasi sekitar tiga belas kilometer di utara Kuala Lumpur. Zahra merasa takjub saat melihat di depannya berdiri dengan megah sebuah patung dewa raksasa
"Waaah," Zahra bergumam takjub sambil berlari kecil mendekati patung yang berwarna emas itu. Disusul Davie di belakangnya.
"Ini namanya tempat wisata Batu Caves, sebuah tempat yang suci bagi umat Hindu. dan patung yang berdiri dengan megah itu adalah patung Dewa Murugan. Tingginya empat puluh dua komah tujuh meter, dan termasuk patung Murugan tertinggi di dunia."
Mendengar penjelasan Davi, Zahra hanya mengangguk-angguk paham sambil sesekali menatap laki-laki itu yang bertingkah seperti seorang pemandu wisata.
"Jadi, Mas Guid, bisa antar saya keliling tempat ini?"
Mendengar pertanyaan Zahra, Davie mendengkus lalu menatap wanita itu dengan senyum lembut.
"Baik lah, Nona. Apa Anda ingin berfoto di samping patung itu?" Mendengar pertanyaan Davie, Zahra mengangguk antusias. Lalu mulai bergaya di dekat patung. Sesekali mereka memasang pose lucu dengan berbagai gaya.
"Ok, ayo kita naik ke atas." Ajak Davie ketika mereka selesai dengan fotonya.
Zahra menghentikan langkahnya menatap anak tangga yang menuju ke kuil di dalam gua.
"Pasti akan melelahkan sekali. Apa kamu pernah menghitung berapa anak tangganya? Aku takut nggak akan sanggup sampai ke atas tanpa pingsan."
Kata-kata Zahra membuat Davie menahan senyumnya.
"Nggak banyak, hanya sekitar dua ratus tujuh puluh dua anak tangga yang terjal, dan cukup melelahkan untuk dapat merasakan kemegahan Batu Caves." Mendengar jawaban Davie, Zahra terlihat lesu.
"Ini pasti akan melelahkan. Lagi pula kenapa kamu membawa aku kesini, sih? Ke tempat yang adem kek, yang nggak capek kek."
Gerutu Zahra hanya dibalas senyum Davie. sembari tetap asyik dengan kameranya.
"Ayo kita naik." Davie menarik tangan Zahra, membawanya menaiki satu demi satu anak tangga dengan saling menautkan tangan.
"Kamu tahu, anak tangga ini sama seperti hubungan kita."
Zahra menoleh mendengar kata-kata Davie.
"Kamu bisa memilih ingin menyerah di tengah-tengah anak tangga lalu kembali ke arah Luky, atau meneruskan perjalanan hingga sampai di atas, dan kita akan kembali bersama setelah ini," sambungnya.
Zahra semakin tak paham dengan arah pembicaraan Davie.
"Iya, seperti yang aku katakan kemarin. Setelah dari sini kita akan kembali jadi orang asing. Kecuali kamu memilih meninggalkan Luky."
Jujur, kata-kata yang dilontarkan Davie terlalu sulit untuk Zahra jawab. Pasalnya memutuskan pertunangan sama saja menghancurkan perasaan keluarganya. Belum lagi risikonya pasti akan jadi omongan tetangga.
"Kenapa harus membahas hal itu? kamu yang bilang sendiri, kan? Hari yang tersisa di sini biar kita jalani tanpa perdebatan. Biarkan Tuhan yang menentukan jalan kita setelah ini. Kalau pun kita memang nggak bisa bersama. Kita masih bisa mencintai lewat doa."
"Cih! Kamu masih saja senaif itu."
Jawaban sinis Davie membuat Zahra mendengus.
"Kamu bicara mengenai pilihan padaku, sementara kamu sendiri memiliki Mita. Apa kamu nggak sadar? kita nggak lagi memiliki jalan untuk bersama, karena di antara kita telah terdapat jurang pemisah. Sedang aku nggak bisa menyakiti hati Luky, sama seperti kamu nggak bisa menyakiti Mita."
Setelah mengatakan kalimat kekecewaan itu, Zahra berlari menuruni anak tangga. Membiarkan Davie termenung di tempatnya.
"Pada kenyataannya kita sedang menyakiti mereka sekarang! Atau justru mereka yang telah bersekongkol untuk menciptakan luka ini, dan membuat semuanya jadi rumit!"
Teriakan Davie membuat langkah Zahra terhenti. Wanita itu kembali memutar tubuh menatap Davie.
"Jodoh nggak akan tertukar! Meski semuanya rumit, takdir Tuhan selalu bekerja dengan caranya. Harusnya kamu percaya itu! Kalau pun takdir berkata lain dari harapan kita, itu berarti kamu harus terima. Sama halnya ketika dulu aku memilih pergi darimu, dan pada akhirnya takdir juga yang membuat kita bertemu lagi bukan?"
Setelah mengatakan kalimat tersebut Zahra benar-benar pergi. Ia Meninggalkan Davie termenung sendiri tanpa melepas perhatiannya pada wanita itu yang kian menjauh.
"Kamu tak pernah tahu yang sebenarnya," gumam Davie, lalu dia menyusul Zahra.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Selamat malaam. Akhirnya setelah melalu hujan dan badai aku Up juga cerita Davie dan Zahra. Jujur kemarin bingung banget antara mau di lanjut cerita ini apa ku Unpublish aja. Tapi kalau di unpublish aku merasa bersalah banget. Merasa nggak bertanggung jawab dengan apa yang aku tulis.
Dan alhamdulilah setelah ubek-ubek mbah google jadilah seperti ini. Bab depan masih tentang acara jalan-jalan mereka yang gagal ya. Hanya besok adalah acara so sweet dan melownya. Insyaallah
Jangan lupa tinggalkan jejak agar aku semangat lanjut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top