14. Penawaran

Sudah tiga hari Davie dan Zahra berada di Malaysia. Selama itu pula jadwal kegiatan mereka selalu padat. Jangankan menikmati hiburan, saat pulang ke apartemen pun sudah tengah malam.

Hari ini adalah malam pertemuan dengan beberapa perusahaan yang berniat bekerja sama dengan hotel Diamond.

Zahra sedang menikmati hidangan yang disiapkan hotel ketika dilihatnya Davie tengah memberi sambutan di atas panggung.

Dia tak mengalihkan tatapannya dari Davie, laki-laki di atas sana selalu terlihat keren jika sedang serius seperti itu. Tapi keindahan Davie bukan lagi miliknya, dia tak berhak untuk cemburu saat banyak wanita mencoba mendekati laki-laki itu. Zahra tersenyum miris dengan pikirannya sendiri. Hingga sebuah suara mengagetkannya.

"Dia keren sekali, kan?" tanya Al yang tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya dan membuyarkan lamunan Zahra.

"Tapi lebih keren aku," tambah Al dengan narsisnya.

Zahra terlihat cantik dengan gaun hitam bermodel kemben yang memperlihatkan bahu mulusnya. Gaun itu menjuntai hingga mata kaki, yang dipadukan dengan heell's berwarna senada, dan tas tangan bermerek Hermes warna putih dengan aksen geliter. Sementara rambutnya  digelung model elegan dengan beberapa anak rambut yang dibiarkan jatuh di sisi wajah. Dipercantik dengan kalung mutiara berwarna putih serta anting yang sama.

Begitu Davie turun, musik klasik pengantar dansa terdengar. Davie yang melihat Al mengajak Zahra berdansa terlihat sangat kesal. Sejak pertama Zahra keluar dari kamarnya, Davie seakan tak rela wanita itu ikut ke pesta ini dan menjadi pusat perhatian. Demi Tuhan, hari ini Zahra terlihat sangat cantik hingga Davie tak dapat mengalihkan tatapannya.

Davie semakin kesal karena melihat Al memeluk pinggang Zahra. Mereka bahkan terlihat tertawa bahagia, sementara dia harus rela menahan kekesalan. Merasa tak tahan, Davie melonggarkan dasinya yang terasa mencekik leher, lalu menghampiri dua orang itu.

"Al, pak Michel ingin berbicara denganmu," bohong Davie, Al berdecak kesal tapi tak urung pergi juga. Setelahnya Davie mengalihkan tatapan pada Zahra.

"Kamu kenapa lihat saya begitu? Lebih baik kamu ikut saya, jangan sampai hilang di sini, atau kamu akan diterkam buaya lapar." Kata-kata Davie membuat Zahra mendengkus, lalu dia mengikuti bosnya di belakang.

Davie dan Zahra terlalu asyik menikmati pesta hingga tak menyadari Al telah menghilang di tengah-tengah acara itu.

*******

"Pak, kita akan mencarinya ke mana lagi? Kita bahkan sudah mengitari gedung ini berkali-kali," keluh Zahra dengan wajah lelah. Pasalnya sudah satu jam semenjak acara pesta selesai mereka berusaha mencari Al, dan mengitari gedung Petronas. Tapi sahabat karib Davie tak ditemukan, bahkan ponselnya tak dapat dihubungi.

"Bawel sekali kamu. Kita harus memastikan sekali lagi kalau Al memang nggak ada di sini." Mendengar jawaban itu, Zahra mendengkus. Sambil mengerucutkan bibir wanita itu mengikuti langkah Davie dari belakang.

"Dasar, Bos kurang peka. Nggak tahu apa kalau aku sudah kedinginan," gerutu Zahra berusaha memeluk tubuhnya sendiri, dan menggosok-gosok lengannya yang terasa dingin.

Belum lagi hak dua belas centi meternya, benar-benar semakin menambah penderitaan. Ingin sekali dia melempar Davie dengan sepatunya, agar laki-laki itu berhenti bersikap memusuhi, dan mengomel terus-menerus saat dia bertanya. Entah apa yang Davie makan selama sepuluh tahun ini, hingga merubah dia menjadi sangat cerewet. Batin Zahra tak habis pikir.

Menyadari wanita di belakangnya tak bersuara, Davie memutar tubuh dan mendapati Zahra tertinggal beberapa meter di belakang. Davie berdecak sebal.

"Ck. Jalanmu lambat sekali!" Teriakkan Davie membuat emosi Zahra naik ke ubun-ubun. Sepertinya laki-laki di depan sana benar-benar ingin menyiksanya secara perlahan.

Kesabarannya habis, saat Davie berbalik Zahra melemparkan sepatu haknya ke arah laki-laki itu, dan tepat mengenai punggung tegapnya. Hingga menimbulkan pekikan kecil Davie.

"Aww!"

Menyadari kesalahan fatal yang dia lakukan, Zahra mematung di tempat. Dengan sedikit was-was dia menatap Davie, saat bos tampannya berjalan menghampiri dengan wajah menahan kesal. Sedang satu tangannya menenteng sebelah sepatu milik Zahra.

"Apa yang kamu lakukan? Sakit bodoh! Dasar karyawan tidak sopan!" Sungut Davie pada Zahra.

"Bapak juga tidak sopan! Membiarkan seorang wanita berjalan berjam-jam! Bapak pikir kaki saya tidak sakit!" Sungut Zahra tak kalah kesal. Wanita itu bahkan masih memeluk tubuhnya yang kedinginan.

Di luar dugaan, bukannya marah dengan ocehan Zahra, Davie justru mengembuskan napas berat. Ditatapnya Zahra dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

Ada sedikit rasa iba dalam hati Davie saat menatap wajah wanita di depannya yang terlihat menahan tangis. Hal yang selanjutnya terjadi semakin membuat Zahra terkejut. Davie mencopot jas yang dia kenakan, lalu memakaikannya pada Zahra. Hingga membuat dirinya tak bisa berkata-kata ketika netra coklat Davie menatapnya lembut dalam jarak terlalu dekat.

Jantungnya berdetak lebih cepat karena napas Davie terasa membelai wajahnya, membuat wanita itu menahan napas tanpa sadar.

"Ck! Kenapa aku bisa melupakan hal ini. kamu kan selalu alergi dingin. Harusnya kamu tadi membawa jaket atau apa kek. Yang bisa melindungi mu dari angin. Sudah tahu kamu selalu sakit kalau terlalu kedinginan," gerutu Davie kesal, dibarengi aksinya memakaikan jas ke tubuh Zahra.

Menyadari kata-katanya yang kelewat khawatir, Davie terdiam dan menatap wajah Zahra. Terjadi kecanggungan di antara mereka, karena suasana di sekitar menjadi begitu romantis.

"Sudah lah. Copot saja sepatumu dan kita pulang!" sambung Davie dengan nada datar. Lalu berbalik meninggalkan Zahra dalam kebisuan.

Dia masih ingat aku alergi dingin. Dia masih ingat aku akan sakit jika terlalu lama terkena angin? Batin Zahra tak percaya. Ada rasa haru yang membuncah dalam dadanya, memikirkan Davie masih mengingat tentangnya. Bolahkah dia berharap jika Davie masih mencintainya? Wanita itu tersenyum tanpa sadar, lalu mengikuti Davie yang berjalan mendahului.

Setelah mengitari pusat kota Kuala Lumpur sekali lagi, akhirnya keduanya memutuskan pulang karena sudah terlalu lelah.

Saat sampai di apartemen, Zahra yang membuka pintu lebih dulu. Wanita itu terkejut, dan mematung di depan pintu saat melihat keadaan apartemen.

Davie yang merasa kesal karena Zahra tak kunjung masuk akhirnya bersuara.

"Ck! Lama sekali, sih, kamu menghalangi jalan saya. Cepat ma-" Kata-kata Davie terhenti begitu dia melihat pemandangan dalam apartemen yang telah di sulap menjadi begitu romantis. Dengan lilin-lilin yang menyala di setiap sisi apartemen, dan sebagian dibentuk jalan kecil dengan bunga-bunga yang di sebar di sekitar lilin, sementara di ujung ruangan terdapat meja untuk makan malam dengan dua kursi.

Tiba-tiba bunyi notifikasi pesan di ponselnya membuat Davie buru-buru merogoh saku jas. Tertera nama sahabatnya di sana.

Bayi Besar.

Enjoy this diner with your love.

Aku harap kamu memanfaatkan waktu yang ada untuk merebutnya dari Luky. Atau kamu nggak akan memiliki kesempatan lagi.

Ah ... for your informasion. Aku memutuskan pulang lebih awal dari jadwal yang ditentukan. Selamat berlibur 😘😘😘.

"Ck!"

Davie berdecak kesal mengetahui ini ulah sahabatnya. Dia rasa Al benar-benar keterlaluan, laki-laki itu tak memikirkan akibatnya setelah ini. Davie mengembuskan napas kasar.

"Dasar sialan, dia itu bodoh atau apa?" Gerutu Davie kesal. Hingga Zahra yang penasaran ikut mengernyitkan dahi.

"Bapak kenapa?" tanya Zahra.

"Bukan apa-apa. Sudah lah, abaikan saja semua ini, lebih baik kita tidur." Setelah mengatakan itu Davie melewati Zahra dan menjatuhkan diri di atas sofa yang terdapat di samping kanan pintu. Tubuhnya benar-benar terasa remuk, dan juga lelah.

Sementara Zahra memilih melangkah dengan anggun melewati jalan-jalan kecil yang terbuat dari lilin. Senyumnya merekah menyadari impiannya saat SMA kini ada di depan mata. Dulu Zahra selalu bermimpi akan ada pria yang mencintainya, lalu laki-laki itu akan menyiapkan kejutan semanis ini.

Setelah sampai di depan tempat makan, Zahra duduk di kursi sebelah kanan. Lalu menekuk tangannya ke atas meja dan menumpukan dagunya, mengamati lilin-lilin di atas meja yang diletakkan dalam wadah kecil berbentuk bulat. Sayangnya kejutan ini bukan Davie yang melakukan. Entah kenapa dia merasa sedikit kecewa.

Davie mengamati Zahra yang terlihat sedang menatap lilin di depannya dengan raut sedih. Tanpa diminta, sekelebat kenangannya dengan Zahra saat SMA terputar.

"Kamu ingin meminta apa dari aku, kalau kelak aku jadi orang kaya?" tanya Davie pada cewek yang sedang asyik dengan es krim ditangannya. Cewek itu mendengkus, mendengar khayalan tingkat tinggi pacarnya.

"Emm ... apa ya?" gumam Zahra sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu, sebagai tanda dia tengah berpikir keras, "Ah! Aku ingin kejutan makan malam romantis dengan lilin-lilin kecil di setiap sudut, terus kita berdansa seperti orang-orang kaya di TV itu. apa kamu sanggup?"

"Cih ... dasar Princess maniak. Kamu pikir hidup ini dongeng," cibir Davie.

"Biarin!"

Davie tersenyum tipis lalu bangkit dari duduknya, dan berjalan menghampiri Zahra yang masih terlihat asyik dengan lamunannya.

"Sudah puas dengan mimpimu?"

Perkataan Davie yang tiba-tiba membuat wanita di depannya terkesiap kaget. Lalu refleks menegakkan badan menatap Davie sebal.

"Ck! Meng-"

Belum selesai Zahra bicara, Davie sudah lebih dulu memotong kata-katanya.

"Ayo, kita berdansa," ujar Davie sambil mengulurkan tangan ke arah Zahra. Awalnya wanita itu ragu. Namun, akhirnya dia menyambut uluran tangan Davie.

Davie dan Zahra mulai hanyut dalam alunan melodi yang mereka ciptakan sendiri. Melodi cinta yang menggaung di dasar hati. Tanpa suara, tanpa kata, hanya lewat tatapan mata mereka berkomunikasi.

Keheningan yang ada sekarang, bukan jenis keheningan yang terasa hampa seperti yang selama ini mereka rasakan. Tapi lebih dari itu, keheningan ini menghadirkan kehangatan, ketenangan, kebahagiaan, dan kesadaran. Jika di antara mereka masih terdapat cinta yang menggebu. Cinta yang sama besarnya seperti sepuluh tahun lalu.

Zahra amat merindukan tatapan lembut dari Davie, jika ini mimpi, dia tak ingin terbangun, agar seterusnya dia tetap bisa melihat binar penuh cinta dari lak-laki di depannya.

Davie dan Zahra seolah tersihir oleh permainan. Hingga tatapan mata mereka saling terkunci satu sama lain. Lalu Davie memilih memecah keheningan.

"Ayo, kita mulai semuanya dari awal."

Kata-kata yang diucapkan Davie membuat Zahra menatap laki-laki itu bingung. "Ma-maksud, Bapak?"

Mendengar jawaban Zahra, Davie berdecak.

"Ck, selama kita di sini, berhenti memanggil aku Bapak. Karena aku bukan bapak-bapak. Mengerti!"  Davie kesal.

"Bukannya kamu yang menyuruh aku memanggil begitu? Kenapa sekarang kamu yang protes."

"Aisssh ... sudah lah. Bisakah sisa hari di sini kita habiskan bersama tanpa berdebat?"

"Kamu yang mulai!" sungut Zahra.

"Apa kamu mau menjadi kekasihku?"

Kata-kata Davie yang spontan membuat mata Zahra membulat sempurna. Dia tak percaya dengan yang Davie nyatakan. Zahra Menatap manik coklat di depannya, mencoba mencari apa yang ada dalam pikiran Davie sebenarnya.

"Ta-tapi ... " Zahra bicara dengan nada gugup. Dia bahagia tentu saja, tapi disisi lain dia juga merasa ini salah.

Mengerti akan kebimbangan wanita di depannya, Davie melanjutkan ucapan.

"Hanya sampai kita pulang ke Indonesia. Setelah itu, kita kembali jadi orang asing."

Rasa bahagia yang tadi dirasakan Zahra menghilang, dan di gantikan raut datar. Ada rasa kecewa dalam hatinya mendengar ucapan Davie. Sebab jauh di dasar hatinya dia ingin seterusnya bersama laki-laki ini.

*******

Haii kembali dengan Zahra dan Davie. Akhirnya bisa up lagi setelah seminggu kuota sekarat. Selamat buat yang dah sukses ODOC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top