13. Perasaan Yang Terbelenggu

Setelah membereskan semua barang, Zahra dan Davie bergegas ke hotel untuk mengadakan rapat dengan beberapa manager divisi, serta beberapa staf lainnya. Laki-laki itu terlihat tampan dengan tuxedo hitam, sementara di belakangnya Zahra juga terlihat cantik dengan rok pencil hitam yang dipadukan dengan kemeja merah hati dengan tali pita di leher.

"Masih ada sisa satu jam untuk rapat, lebih baik kita makan dulu sekalian cari si bayi besar, Al."

"Ya, Pak," jawab Zahra singkat. Keduanya lalu memutuskan masuk ke dalam restoran cina. Seorang pelayan wanita mendekat sambil menyerahkan buku menu.

"Kamu mau memesan apa?" tanya Davie pada Zahra sambil membuka buku menu.

"Saya terserah Bapak."

"Ck, baiklah. Saya pesan udang goreng dengan saus telur asin serta Moo Goo Gai Pan. Minumnya dua teh cina," Kata Davie pada pelayan.

Setelah pelayan itu pergi mereka berdua terjebak keheningan. Baik Zahra atau Davie sama-sama canggung dengan situasi yang mereka hadapi saat ini. Zahra mengetukan jari telunjuknya ke meja sambil mengalihkan tatapan ke sekitar restoran. Sesekali diliriknya Davie yang terlihat serius dengan ponsel. Laki-laki itu tersenyum tipis. Entah siapa yang membuatnya tersenyum seperti itu? Zahra kesal sekali rasanya.

Pasti dia sedang chat dengan Mita, gerutu Zahra dalam hati. Dia lalu mengembuskan napas berat. Kontan saja Davie mengangkat wajahnya dan menatap Zahra yang terlihat menggembungkan pipi.

"Kamu kenapa murung begitu?"

"T-tidak apa-apa," jawab Zahra gugup. Suasana canggung sedikit teralihkan begitu pelayan wanita tadi datang membawakan pesanan mereka.

"Silakan, pesanannya," kata si pelayan sambil meletakan makanan.

"Terima kasih," ujar Zahra dengan senyum tulus. Mereka memilih menyantap makanan dalam diam. Hingga baru beberapa suap suara Al terdengar di sela-sela makan mereka.

"Ah, kalian di sini rupanya. Kenapa nggak meneleponku, Za. Harusnya kamu bilang kalau sedang makan siang. Agar saya menyusul," Al berkata sambil menjatuhkan  diri di samping tempat duduk Zahra. Sedang Davie memutar mata bosan.

"Ayo kita pergi! Sudah waktunya rapat," ujar Davie pada Zahra.

"Tapi ... makanan saya ..." Zahra menggantung kalimat dan menatap makanannya yang masih sisa separuh. Jujur, dia masih sangat lapar karena tadi belum sempat sarapan.

"Ck, tega sekali kamu, Dav. Zahra belum selesai. Aku juga belum makan, tunggulah sebentar." Kata-kata Al membuat Zahra sedikit lega. Davie akhirnya mengalihkan tatapan pada wanita di depannya yang kini tengah memperlihatkan wajah memohon ke arahnya.

Davie berdecap kesal. Kasihan juga dari pagi mungkin dia belum sarapan, batin Davie. Akhirnya laki-laki itu memilih duduk kembali meski enggan.

"Itu baru laki-laki sejati. Eh ... tapi kenapa kamu yang terlihat sebagai bosnya di sini? Padahal, kan' aku yang bosnya." Kata-kata Al membuat Zahra tak bisa menahan senyum. Zahra selalu berpikir Al sangat konyol.

Pasalnya penampilan Al berbanding terbalik dengan tingkahnya. Mungkin ini alasan banyak gadis tergila-gila pada laki-laki di sebelahnya. Tapi jika dipikir-pikir, dua sahabat karib ini memiliki karakter yang sangat berbeda. Davie tak banyak bicara, dingin. Sementara Al suka sekali bicara, kekanakkan, dan juga humoris. Entah kenapa Zahra jadi merindukan Davienya saat SMA. Karena bagi Zahra, Davie yang sekarang berada di depannya adalah Davie yang berbeda.

Davie mendengkus melihat Zahra tersenyum begitu lebar karena Al. Sementara Al justru terlihat syok.

"Astaga ... sepertinya aku benar-benar akan jatuh cinta padamu setelah ini. Kamu tahu? Senyumanmu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Coba kamu periksa," Al berkata sambil menarik satu tangan Zahra dan menempelkannya ke dada bidang laki-laki itu.

"P-pak A-apa yang ...," ujar Zahra tergagap dengan wajah merah padam. Di depannya Davie benar-benar mulai jengah dengan tingkah playboy Al yang mulai kumat.

"Ck. Berhenti bersikap konyol, Al! Lebih baik sekarang kita ke hotel untuk rapat!" Davie berkata dengan nada kesal lalu bangkit dari duduknya.

"Dia itu memang suka sekali marah-marah seperti kakek-kakek. Kamu harus banyak bersabar menghadapi dia. Maklum saja dia masih perjaka," bisik Al di telinga Zahra, kontan Zahra tersedak makanan yang sedang di kunyahnya. Davie dan Al secara refleks langsung mengulurkan minuman secara bersamaan.

Zahra terdiam merasa bingung harus menerima minuman siapa, tapi akhirnya dia memilih menerima minuman yang diberikan Al. Karena itu memang minuman miliknya. Davie semakin terlihat kesal. Laki-laki itu bahkan meletakan gelas cukup keras hingga menimbulkan suara dentingan sangking jengkelnya.

"Sudah lah, aku nggak perduli dengan bualanmu Al!" Setelah mengatakan itu Davie pergi begitu saja. Diikuti Zahra dan Al di belakangnya.

********

Setelah makan siang mereka bertiga bergegas pergi. Sesuai agenda, Davie melakukan peninjauan di beberapa bagian hotel yang sedang dalam tahap finishing. Sementara di belakangnya, Zahra menuliskan poin-poin yang menurut Davie harus di perbaiki. Sedangkan Alister terlihat bosan harus mengikuti Davie dari tadi.

"Untuk moment natal kali ini, saya memiliki ide untuk membuat sebuah lampu harapan berbentuk bintang, yang akan kita letakkan di sini." Davie memberi instruksi lewat gerakan tangan pada beberapa kontraktor sebelum ia melanjutkan ucapannya.

"para tamu yang datang akan meletakkan tangan mereka di atas lampu agar menyala, lalu mulai memanjatkan harapan mereka, nanti saya usulkan pada Pak Presdir ide ini. Orang-orang pasti akan tertarik untuk datang. "

"jangan lupa kamu tulis po-" ucapannya terhenti begitu memutar pandangan ke arah belakang. Davie melihat Zahra kesulitan menulis karena Al terlihat menguap, bahkan menumpukan kepalanya di pundak wanita itu saat ia mengantuk. Davie akhirnya memutuskan memukul kepala sahabatnya cukup keras menggunakan buku yang dipegang Zahra. Tindakannya membuat Al memekik kaget.

"Aisssh! Dasar kamu ini ya!"

"Apa! Aku mengajakmu ke sini agar kamu bisa belajar. Bukan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan, Bodoh!" Davie berkata sambil menatap tajam Al. Membuat laki-laki itu mencabikkan bibirnya sebal.

"Bilang saja kamu iri padaku. Kamu juga cemburu, kan? karena Zahra lebih memilihku," ejek Al pada Davie. Davie mendengkus, lalu menatap Zahra sekilas.

"Apa kamu gila? Aku nggak tertarik dengan wanita yang sudah bertunangan."

Kata-kata Davie membuat jantung Zahra terasa nyeri. Davie seolah mengingatkan wanita itu, jika di antara mereka telah terbentang jarak yang amat panjang. Yang memaksa mereka untuk melupakan perasaan yang masih tersisa.

Zahra tersenyum getir, matanya memanas, ketika ditatapnya Davie yang terlihat datar dan tanpa ekspresi. Davie mengabaikan tatapan terluka Zahra, kemudian memilih memutar tubuh untuk kembali melangkah. Sedang Al hanya bisa menyesali perkataannya yang mengakibatkan dua pasangan itu terlihat menyedihkan.

Mereka saling mencintai, tapi harus mengubur rasa yang masih ada hanya karena keegoisan. Al yakin, jika seperti ini terus Davie tak akan pernah memiliki kesempatan lagi untuk merebut Zahra.

Al mengerti betul bagaimana perjuangan sahabatnya untuk bisa mencapai posisi seperti sekarang. Semua Davie lakukan hanya untuk wanita di depannya ini. Jadi jangan harap Al akan diam saja tanpa melakukan apa-apa.

"Sudah, nggak usah dipikirkan. Davie hanya sedang lelah," Al berkata sambil menepuk bahu Zahra. Membuat wanita itu berjangkit kaget.

"Ah ... maksud, Bapak, apa?"

"Tidak ada maksud. Lebih baik kita menyusulnya sebelum dia mengomel lagi." Lalu mereka menyusul Davie ke ruang meeting.

"Saya ingin kalian menangani data-data ekspansi tenaga kerja dengan lebih cermat. Pasalnya hotel ini adalah hotel bertaraf internasional. Jadi saya tak ingin kalian asal menerima pegawai. Jika bisa, lakukan dulu pelatihan hingga mereka benar-benar layak," Davie berkata pada manager bagian HRD yang bertugas menangani perekrutan tenaga kerja.

Wajah tegas dan berwibawanya saat sedang rapat selalu membuat semua karyawan menunduk hormat. Termasuk Zahra yang tak berhenti mengagumi laki-laki itu.

"Saya diberi kepercayaan oleh Presdir untuk meninjau langsung kerja kalian di sini. Jadi untuk seminggu kedepan saya dan Pak Alister Bagaskara akan melakukan pengawasan."

"Siap, Pak," jawab Manager bagian HRD.

"Dan Anda, Pak Ahmad. Saya ingin sebelum pembukaan resmi hotel ini semua proposal event marketing sudah harus selesai Anda buat. Agar saya bisa mengoreksi secepat mungkin,"

"Baik, Pak," jawab manager marketing.

"Saya cukupkan rapat untuk hari ini, semoga ke depannya semua sesuai harapan kita. Atau mungkin ada yang ingin Anda tambahkan, Pak Alister?" tanya Davie pada Alister yang duduk di sebelahnya. Laki-laki itu hanya mengangkat tangan tanda agar rapat segera diakhiri.

********

Hai ... hai ... akhirnya up part 13. Nggak tahu lah ini bagus apa nggak menurut kalian.

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan tap love ya. Sebagai wujud penghargaan kalian untuk karyaku. Lop u 😗😗😗😗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top