10. Harus Bagaimana

Davie memasuki rumah dengan perasaan tak menentu. Hari ini banyak sekali hal yang membuatnya berpikir tak waras. Dari mulai aksinya menolong Zahra, hingga insiden ciuman yang terjadi, semua terasa benar-benar di luar kendalinya. Belum lagi kenyataan jika sahabatnya, Luky, telah membohonginya demi mendapatkan Zahra.

Davie benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Padahal Davie telah mempercayainya lebih dari siapa pun. Karena lewat Luky lah ia selalu mengecek keadaan Zahra. Selama ini hanya laki-laki itu dan Mita yang tahu keberadaannya.

Seminggu ini bekerja bersama Zahra membuat dirinya benar-benar seperti orang gila. Davie sangat merindukan wanita itu, dan ingin sekali menariknya ke dalam pelukan. Tapi saat ia ingat Zahra sudah menjadi milik orang lain, harapannya selalu terhempas dan menimbulkan rasa frustrasi. Hingga Davie selalu melampiaskannya dengan marah-marah.

Davie menghela napas kasar, dan langsung menaiki tangga menuju ke lantai dua di mana kamarnya berada. Keadaannya sudah tak karuan, ia bahkan melewati sang ibu yang sedang menyiapkan makan malam di meja.

Davie mendudukkan diri di tepi ranjang, lalu memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Kehadiran sang ibu yang tiba-tiba sedikit membuatnya mengalihkan perhatian.

"Dav, Mita mana? Kenapa nggak diajak?" tanya Ranti mendekati Davie dan duduk di sebelahnya.

"Mita ... " Davie menggantung kalimat, mencoba mencari jawaban yang tepat agar ibunya tak khawatir.

Ranti menatap putranya curiga.

"Dia bilang ada urusan. Itu sebabnya nggak jadi mampir." Davi berbohong.

"Oh ... padahal Mama udah masak makanan kesukaannya," ujar Ranti kecewa.

Davie tersenyum kecut.

Ranti menatap Davie menilai, wanita yang masih terlihat cantik di usianya saat ini, merasa ada sesuatu yang disembunyikan anaknya.

"Kalian sedang ada masalah?" Ranti terdengar khawatir.

Davie masih diam, kemudian menghela napas gusar. Ia selalu tak bisa berbohong di depan mamanya.

"Selesaikan baik-baik, kamu jangan membuat dia sedih. Mita sudah terlalu banyak membantu kita. Mama ingin kamu secepatnya melamar dia."

Perkataan Ranti membuat lidah Davie terasa kelu. Bukan ini yang ingin ia dengar, karena Davie tak bisa mewujudkan keinginan mamanya begitu saja. Terlebih setelah ia menemukan Zahra kembali.

"Ma, Davie sudah berkali-kali mengatakan kalau Davie nggak bisa menikahi Mita. Mama salah paham kalau mengira Davie mencintai dia."

"Kenapa? Apa ini karena wanita itu lagi?" tanya Ranti dengan nada tak suka. Ada jeda sejenak sebelum wanita paruh baya itu melanjutkan kata-katanya,

"mau sampai kapan kamu seperti ini, Dav? Kamu harusnya sadar, wanita itu hanya bisa membuat kamu sedih. Lagi pula dia sudah bertunangan, apa yang mau kamu harapkan? Sadar lah, ini sudah saatnya kamu memberi Mita kesempatan memiliki hatimu."

Mendengar kata-kata itu Davie hanya membuang napas kasar. Semenjak Zahra memilih pergi tanpa alasan jelas, mamanya sangat membenci wanita itu. Tapi Davie tak bisa menampik jika kata-kata mama ada benarnya. Sudah saatnya ia menjauh dari Zahra dan merelakannya untuk orang lain.

"Sudah lah, Davie nggak mau berdebat. Bisa Mama tinggalkan aku sendiri?"

Ranti menghela napas, lalu menepuk bahu putranya dengan lembut sebelum beranjak pergi.

Setelah Ranti keluar, Davie menarik dasinya yang terasa mencekik leher. Kemudian merebahkan diri di atas ranjang dan menatap langit-langit kamar. Mengingat kejadian tadi saat di mall.

Setelah terjadi adu jotos dengan Luky, Davie memilih kembali ke meja restoran. Dadanya kembali terasa panas saat ia melihat Zahra sedang menyentuh dahi Luky. Dengan kasar ditariknya kursi di samping Mita, hingga menimbulkan suara berderit yang cukup keras. Zahra mengalihkan perhatian pada Davie yang juga terlihat lebam di wajahnya. Laki-laki itu bahkan terus mengarahkan tatapan tajam ke arah Zahra.

Di sebelahnya, Mita juga terlihat kawatir pada Davie dan mencoba menyentuh ujung bibirnya yang lebam. Tapi laki-laki itu menepis tangan Mita, sambil terus menatap Zahra dengan rahang mengeras. Mita ikut mengalihkan tatapan ke arah Zahra lalu mendengkus.

Dua wanita itu sama-sama tahu apa yang terjadi, tapi mereka lebih memilih diam. Suasana tegang sedikit teralihkan dengan datangnya pesanan. Sepanjang menyantap makanan, Davie terus menatap pasangan di depannya dengan wajah mengeras.

"Bagaimana kalau nanti kita nonton." usul Mita tiba-tiba ditengah acara makan mereka.

Davie menatap Mita tak setuju.

"Ayo lah, Dav. Mumpung kita sedang bersama, anggap saja kita sedang doble date. Ia kan, kak Zahra?" tanya Mita tiba-tiba.

"Ah ... i-iya," Zahra menjawab gugup.

Setelah selesai makan, mereka terpaksa berkeliling Mall dan menonton film karena Mita yang merengek.

"Kita nonton film Horor, ya? Ada yang bagus."

Davie sedikit protes mendengar permintaan Mita karena laki-laki itu sangat benci genre film tersebut. Zahra yang tahu sekali hal itu hanya tersenyum tanpa sadar kerika melihat Davie berdecap kesal.

Ketika mereka hendak memasuki studio, ponsel di saku jas Luky berbunyi.

"Za, aku minta maaf nggak bisa ikut kalian nonton. Orang kantor menghubungi, menyuruhku mengurus persiapan acara seminar yang diadakan besok," Luky berkata dengan nada menyesal pada Zahra.

"Ya sudah, aku sekalian saja ikut pulang."

"Nggak, kamu lanjutkan saja menonton. Aku nggak bisa mengantar kamu pulang, karena orang kantor mengabari mereka sudah menunggu di gedung pertemuan."

"Tapi nan-"

"Aku titip Zahra ya, Dav. Tolong antar dia pulang sampai ke apartemen." Luky menghentikan protes Zahra. Dengan berat hati ia harus menitipkan sang tunangan pada Davie, meski sebenarnya laki-laki itu takut mereka akan kembali. Tapi ia lebih khawatir membiarkan Zahra pulang sendiri, mengingat hari sudah cukup malam.

Mendengar kata-kata itu Zahra membulatkan matanya, merasa tak habis pikir dengan isi pikiran  kekasihnya.

"Ya sudah, aku pergi dulu. Nanti aku menghubungimu lagi, okey." Setelah mengatakan itu, Luky sengaja memanasi Davie dengan mengecup kening Zahra. Tindakan itu sepertinya berhasil. Karena sekarang Davie mengatupkan rahang sambil mengepalkan tangan. Setelah itu Luky melangkah pergi sambil menyunggingkan senyum penuh kemenangan ke arah Davie.

Sepanjang menonton, Zahra seperti obat nyamuk bagi Davie dan Mita. Karena wanita berambut hitam sebahu tersebut terus saja menempel pada Davie. Seolah-olah hendak menegaskan pada Zahra jika Laki-laki itu hanya miliknya. Entah apa maksud Mita yang terkesan memanasi dirinya.

Zahra hanya bisa mendengus saat Mita terlihat menyandarkan kepala di bahu Davie. Sesekali ia juga berteriak saat adegan dalam film membuatnya kaget. Beruntung sekali Zahra sangat suka film horor, jadi baginya tak terlalu menyusahkan. Namun yang jadi masalah justru sikap Davie  yang terus saja meliriknya. Zahra kesal. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa ketika Davie mengusap kepala Mita lembut. Dadanya benar-benar panas terbakar.

Sekitar dua setengah jam akhirnya film selesai. Zahra berjalan di belakang pasangan tersebut dengan langkah gontai. Tiba-tiba Davie pamit sebentar untuk ke toilet, dan meninggalkan dua wanita itu yang memilih berjalan lebih dulu ke arah tempat parkir.

"Lama nggak bertemu tapi nggak banyak yang berubah darimu, Kak."  Mita tiba-tiba membuka percakapan. Zahra tak urung menatap Mita bingung.

Melihat sikap Zahra, Mita pun mendengkus.

"Ck. Masih pura-pura polos. Jujur saja, aku benar-benar muak melihatmu berada di sekitar Davie. Aku harap Kakak mengerti dengan tidak melanggar batas antara Bos dan bawahan. Karena sebentar lagi kami juga akan menikah." Mita berkata dengan nada pelan, tapi sinis dan terkesan meremehkan.

Mendengar kata-kata sinis itu Zahra hanya berdecap sebal dan memutar mata jengah. Wanita ini masih sama saja seperti dulu, batin Zahra.

"Ck, aku bahkan nggak memiliki niat apa pun. Kamu nggak perlu khawatir, sebab statusku juga sama akan menikah," Zahra menjawab dengan nada tegas agar wanita di depannya paham dan tidak memojokkannya.

"Oh ya ... apa Kakak pikir aku bodoh? Apa Kakak pikir aku buta untuk mengabaikan tatapan matamu pada Davie?"

Mendengar perkataan sinis itu Zahra terdiam dan mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia seperti berusaha menghindari tatapan Mita yang menghunusnya. Mita menyunggingkan senyum sinis, dan terus saja mengintimidasi Zahra. Berharap dengan begitu ia bisa menekan Zahra menjauhi Davie.

Jarak tempat parkir mobil Davie lumayan jauh, mereka harus melewati mobil pengunjung yang berlalu-lalang. Tiba-tiba dari arah belakang dua wanita itu ada mobil melaju dengan kecepatan tak terkendali.

Davie yang baru saja keluar dari mall terlihat panik dan langsung berlari sambil berteriak agar Mita dan Zahra menepi. Tapi Dua wanita itu terlihat masih saja berdebat. Entah mendapat dorongan dari mana, Davie lebih dulu menarik tangan Zahra dan memeluk pinggang wanita itu hingga mereka terlihat berpelukan.

Bagai adegan slow motion, tatapan matanya dan Zahra saling terkunci. Sementara di sebelah mereka Mita jatuh terduduk. Wanita itu hanya mendengus melihat pemandangan di depannya. Namun, tatapan mata terluka Mita tak bisa disembunyikan.

Zahra terdiam karena masig mencerna apa yang terjadi. Hingga kata-kata Davie membuatnya tersadar dari lamunan dan menyadarkannya dari hal yang barusan terjadi.

"Kamu itu bodoh atau apa, Hah! Kamu bisa saja celaka karena hal tadi! Dasar ceroboh!" Bentak laki-laki itu sambil menatap tajam pada Zahra.

Suara bentakan Davie membuat Zahra terkesiap kaget. Tersirat kekhawatiran dalam tatapan mata laki-laki di depannya. Zahra tersenyum samar menyadari Davie terlihat panik karena dirinya.

Davie yang menyadari posisinya masih memeluk Zahra pun langsung melepaskan cekalan tangannya, dan beralih menatap Mita yang sedang memperlihatkan raut terluka.

"Mita ... aku ..." Davie tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menatap wanita itu penuh sesal. Ia mencoba mengulurkan tangan ke arah Mita yang masih terduduk di lantai. Alih-alih menerima niat baik Davie, Mita hannya terlihat datar.

"Sudah lah, aku ingin cepat pulang." Mita menepis uluran tangan Davie. Wanita itu bangkit dan menepuk-nepuk tubuhnya yang kotor. Setelah itu pergi dari hadapan kedua orang di sana. Sementara di tempatnya Zahra hanya terdiam.

"Lupakan saja hal yang tadi terjadi. Karena itu nggak berarti apa-apa untukku." Setelah mengatakan itu, Davie berlalu dari hadapan Zahra  untuk menyusul Mita.

Ada rasa sakit yang mendera hatinya kala mendengar Davie mengatakan hal tersebut. Tapi Zahra hanya mengerucutkan bibir sebal meski ia terluka.

"Kenapa sih, dia itu," sungut Zahra. Lalu ikut menyusul mereka.

Namun, ketika hendak melangkah, wanita tua yang tadi mengendarai mobil menghampirinya.

"Maaf kan saya, Mbak. Saya tadi kehilangan kendali," kata wanita tua itu dengan tulus.

"Iya, Nek. Lain kali hati-hati ya."

Nenek itu hanya mengangguk dan berterima kasih. Lalu Zahra pergi menuju mobil Davie.

Sepanjang jalan hanya keheningan yang tercipta di antara mereka. Zahra yang merasa jengah akhirnya memutuskan turun di tengah jalan dengan alasan apartemennya sudah dekat. Dia tak ingin terlihat menyedihkan karena harus melihat kemesraan Davie dan Mita.

********

Selamat pagi. Tau lah ini part bagaimana? Males banget rasanya lanjutin cerita mereka. Respons kalian kurang gereget bikin aku nggak semangat.

Berikan aku vote dong jangan velit-velit lah. Dan ODOC aku dah ngutang 5 bab hadeeeh








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top