Like at First Sight
Ketimbang cinta pertama, aku mau menceritakan soal kisah bocah kelas dua SD naif yang tidak bisa diam melihat lawan jenis yang kelihatan lebih tampan dari teman sebaya. Meskipun dia bukan benar-benar cinta pertama, tapi dia sosok pertama yang kusuka sampai-sampai seluruh keluarga besar tahu. Sayang sekali dia harus pindah ke Jawa sebelum kisah kami sempat bersemi.
Waktu itu akhir pekan, mungkin. Ingatanku agak kabur, tetapi aku masih ingat betul dengan adegannya. Saat itu olahraga bulu tangkis sedang begitu naik daun, dan aku beserta anak-anak tetangga tidak ingin ketinggalan. Kami bermain pas di depan rumahku, kebetulan jalan di depan rumah cukup sepi. Berbekal garis yang digambar dengan batu bata sebagai net, dan garis jalan sebagai garis lapangan, kami bermain sambil menghitung skor bak turnamen profesional.
Hari itu aku memakai baju abang, sweter abu-abu dan celana olahraga, tak lupa aku memakai topi berwarna oranye yang melengkapi penampilanku. Aku dan abang beserta adik tetangga sudah bermain beberapa set. Ada yang berbeda, sebab tetanggaku membawa seseorang.
Mungkin ini dramatis, tetapi jika aku harus menjelaskannya seperti adegan ala drama.
Aku sedang memegang kok di tangan kiri, raket yang lebih panjang dari tangan pendekku di tangan kanan. Terdengar suara khas tetanggaku yang khas dari arah tangga masjid. Hari itu masih pagi, sekitar jam sembilan atau sepuluh, sinar matahari menembus daun-daun pohon rindang yang tertanam di depan rumah. Aku mengangkat kepala, dan mataku langsung terarah pada wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Mata besar yang bersinar, kulit putih untuk ukuran anak laki-laki, hidung mancung dan bibir tipis yang tersenyum. Di saat itu juga, batinku langsung berteriak, ‘Aku suka dia!’
Kalau boleh jujur, aku sangat sedih karena aku tak mengingat adegan setelahnya. Aku tak begitu ingat bagaimana kami berkenalan, tak ingat apakah aku sempat tersipu malu atau justru menjadi begitu bersemangat dan percaya diri untuk menutupi rasa menggebu-gebu. Dia adalah teman sekelas tetanggaku. Aku memang pergi ke sekolah yang berbeda, sedangkan abang dan tetanggaku pergi ke sekolah yang sama. Aku tak juga ingat apa kami sempat berjabat tangan saat berkenalan. Hal yang paling kuingat pertama adalah: kami berdua bertanding hari itu.
Aku rasa kami berdua sempat canggung, melemparkan senyum malu satu sama lain, dan setelah set demi set malah terkadang berdebat tentang jumlah poin yang diperoleh. Pertandingan kami sangat sengit, karena aku berakhir di posisi yang sama untuk ketiga kalinya. Ya, saking sengitnya kami sampai bertanding hingga set kelima.
Hal yang paling kuingat kedua adalah: aku menang. Aku sangat bangga dan bisa dibilang cukup sombong saat itu. Maklum, masih bocah dan berkepala besar. Kalau aku ingat-ingat lagi, diriku yang waktu itu sangat menyebalkan. Mengangkat dagu dan mengayun-ayunkan raket kegirangan.
Namun, sepertinya laki-laki itu juga sudah kesengsem sama aku. Habis, bukannya tidak merasa kesal dengan tingkah kelewat bangga yang seratus persen akan dicemooh abang, dia juga tersenyum atas kemenanganku. Aku senang sekali, sangat senang.
Hari itu hatiku sangat berbunga-bunga, hingga menceritakan pengalamanku hari itu saat makan malam. Aku sama sekali tidak malu mengakui perasaan kecil yang sudah kudapat. Meskipun setelah itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi, aku sama sekali tidak keberatan. Aku merasa itu tidak akan menjadi pertemuan pertama dan terakhir kami. Apalagi setelah tetanggaku bilang bahwa dia juga bertanya-tanya soal aku padanya, aku semakin senang.
Dan benar saja, tak sampai satu tahun kemudian, aku pindah sekolah ke SD yang sama dengan abang. Aku pun jadi satu kelas dengannya. Akankah cinta monyet antara dua anak SD ini akan bersemi? Sayang sekali aku tak bisa menceritakannya sekarang.
Mungkin aku tak akan selalu mengenang kisah kecil ini, tetapi sosoknya akan selalu aku ingat sebagai: like at first sight, suka pada pandangan pertama.
written by: SalmaNaru7
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top