Cinta ≠ Pacaran→Mengghaib

Wah ... sulit. Aku belum pernah jatuh cinta kendati pernah dibuat heboh cuma karena diberi senyum oleh aktor cilik tampan. Aku masih bocah, mana tahu yang namanya cinta, bahkan saat teman-teman sekelas berisik pasal pengakuan cinta salah satu temanku yang cantik dan anggun. Jadi, kusimpulkan saja bahwa, ‘cinta’ itu bisa membuatku punya keinginan untuk berpacaran.

Aku hidup di keluarga yang memiliki banyak sekali peraturan. Salah satunya: dilarang berpacaran. Sering kali umi mengatakannya padaku seolah-olah suatu hari nanti aku bakalan melakukan deviasi. Untuk itu, aku membuat janji di depan seluruh keluarga, melontarkannya sambil berteriak-teriak. “Aku nggak akan berpacaran! Aku nggak mau berdosa! Umi bakalan mencambukku kalau aku punya pacar!” Umi berjengit setelah mendengarnya.

Kupikir janji itu akan terus kupegang. Di usia lima belas, aku masih belum berani menyebutnya sebagai cinta. Jadi, kusebut saja sebagai rasa kagum—mengidolakannya seperti yang kulakukan pada aktor cilik. Dia datang ke kelasku untuk bertemu dengan seseorang. Aku yang kebetulan hendak keluar, nyaris menabraknya. Kupikir ada yang salah dengan mataku lantaran kacamataku belum diganti, tetapi nyatanya aku sungguhan melihat keindahan dari seorang cowok.

Seumur-umur, cowok tampan itu, ya ... sekelas Daniel Radcliffe, ternyata ada juga yang melebihinya. Maksudku, bukan cuma dari ketampanannya. Ada banyak cowok tampan yang pernah kutemui, tetapi tidak banyak cowok dengan sikap ramah, pintar, baik, dan rajin sepertinya. Dia punya karisma yang bahkan melebihi kakakku.

Ternyata, dia juga pandai memimpin, kendati tidak terpilih sebagai ketua OSIS. Di situ, aku senang sekali saat dihubungi untuk menjadi bagian dari tim elite sekolah. Aku jadi punya kesempatan buat mengobrol, bahkan menyimpan nomor ponselnya. 

Beberapa bulan, aku mulai meragukan kesimpulanku bahwa, rasa berdebar setiap kali dekat dengannya ini sebagai kekaguman. Aku tidak ingin mengakuinya, tetapi rasanya sulit sekali menentang isi hati dan kepalaku. Temanku bilang, “Nggak apa, kok. Toh, cuma mengakui pada diri sendiri. Kalau kamu nggak tahan, ya ... nyatakan saja perasaanmu.”

Itu, sih, gila. Walau aku tahu perasaan asing ini adalah cinta, aku tetap tidak mau bertingkah bodoh dengan menembak cowok. Bukan karena janjiku pada seluruh keluarga, tetapi karena memang aku tidak mau.

“Apa, sih, untungnya berpacaran?” Aku mulai bertanya pada beberapa temanku.

“Aku belum pernah pacaran—”

“Banyak. Salah satunya meningkatkan semangat hidup. Apa, nih? Mau pacaran, ya?”

Aku sudah menjawab tegas bahwa aku tidak ada niat untuk berpacaran. Hanya saja, temanku yang punya rasa kepo akut, terus menerorku dengan desakan untuk berpacaran, bahkan salah satu dari mereka berani berbicara langsung dengan cowok yang kukagumi. Aku panik. Malam-malam langsung kukirim pesan padanya untuk tidak mendengarkan perkataan teman laknatku siang tadi. Tahu apa jawabannya?

Kenapa? Nggak ada salahnya, ‘kan?

Jari-jariku kaku, gemetaran karena jantungku berdebar begitu keras. Kalimat itu punya banyak arti, tetapi kenapa otakku malah menangkap yang tidak seharusnya? Tidak mungkin cowok sepertinya mengajakku berpacaran.

Tunggu. Memangnya aku bakalan mau kalau dia sungguhan mengajakku?

Esoknya, aku jadi seperti cewek aneh yang takut bertemu seseorang. Setiap berpapasan dengannya, aku cuma mengangguk, atau kalau ada kesempatan, cari jalan lain agar tidak bertemu dengannya. Seberusaha mungkin aku menghindarinya. Namun, karena kita sama-sama anggota OSIS, intensitas pertemuan kita menjadi lebih banyak, apalagi dengan acara akhir semester yang merepotkan.

Mungkin, tidak seharusnya aku bereaksi berlebihan cuma karena pesan singkatnya malam itu. Dia sama sekali tidak bertingkah aneh sepertiku. Malahan, dia bersikap biasa saja—santai. Aku tidak kesal dengannya karena itu, tetapi justru aku kesal pada diri sendiri. Bisa-bisanya aku salah mengartikan kalimat biasanya tempo lalu!

Jadi, aku mulai bersikap seperti biasa. Kembali mengobrol, bertukar pesan, menertawakan teman-teman. Meski begitu, jantungku tetap tidak bisa tenang—terus berdebar sampai rasanya bakalan copot.

Di kelas dua belas, kami melepas masa jabatan OSIS. Sebenarnya aku tidak rela, karena berkat OSIS, kami jadi punya banyak waktu untuk mengobrol dalam jarak dekat. Temanku bilang, aku harus punya banyak waktu untuk dekat dengannya sebelum lulus, padahal itu masih lama.

Kendati kami sudah jarang bertatap muka, setidaknya dia masih mau aku ajak ngobrol lewat pesan teks.

Benar kata temanku. Jatuh cinta itu bisa membuat semangat hidup kita meningkat. Aku cari-cari kesempatan di tahun yang sibuk ini untuk lebih dekat dengannya. Karena dia murid berprestasi yang jadi juara umum, aku memintanya untuk mengajariku—menjadi guru. Kupikir dia akan menolak, tetapi justru dia menerimanya.

Jadi, di setiap ada waktu luang, kami pergi berdua ke Perpustakaan Daerah untuk belajar menjelang ujian. Kadang aku menyesal, kenapa baru sekarang aku memintanya untuk belajar bareng?! Aku suka saat dia menjelaskan materi dengan sabar, atau saat ia khawatir karena merasa penjelasannya tidak dimengerti. Sebenarnya, aku suka dengan segala hal yang ada padanya.

“Semangat, ya. Semoga kamu bisa mengerjakan ujian dengan mudah.”

Hanya dua kalimat. Seumur-umur, baru kali ini aku semangat dengan yang namanya belajar dan ujian.

Namun, sesaat setelah aku senang mendapati bahwa aku lolos seleksi SNMPTN, aku lupa dengan fakta: kami tidak berkuliah di tempat yang sama. Aku masih di kotaku, tetapi dia harus pergi ratusan kilometer jauhnya.

Aku tidak bisa menyalahkannya. Aku bukan cewek yang egois. Memangnya aku siapa sampai harus sedih padahal dia pergi untuk menimba ilmu di tempat impiannya? Harusnya aku senang, ‘kan?

Harusnya aku senang ....

“Kamu pasti pulang ke sini, ‘kan?” Aku bertanya, susah payah agar tidak menangis.

“Tentu saja. Keluargaku di sini.” Dia tersenyum, yang mana hal itu membuatku tidak bisa menahan diri.

Akhirnya aku sungguhan menangis.

Dia panik, dan aku juga panik. “Maaf, aku malah nangis. Bukannya aku nggak senang kamu kuliah di sana, tapi—”

Aku dikejutkan dengan uluran tangannya demi mengusap air mataku. Selama beberapa detik aku terdiam, lantas tersadar dan mundur secepat kilat. Aku belum pernah disentuh oleh lelaki selain abi dan kakakku!

Dia juga panik, meminta maaf berkali-kali dan menyalahkan diri sendiri.

“Walau tidak sering, aku pasti pulang. Aku bakalan pamer ke kamu, biar kamu iri.”

Dia berhasil membuatku tersenyum.

“Jadi ... tunggu aku. Sampai waktunya tiba, aku akan datang untuk menepati janji.”

“Janji apa? Pamer?”

Dia kembali tersenyum. Mata cokelat terang agak kemerahannya itu selalu membuatku kagum, ditambah rambut putih pirangnya saat terkena matahari. Dia terlihat seperti tidak nyata, yang mana hal itu membuatku takut suatu saat nanti akan kehilangannya.

“Sudah setahun lebih masa nggak tau? Tunggu saja. Aku pasti akan membuatmu bahagia.”

Ucapannya telah membuatku tidak bisa tidur selama berhari-hari, ditambah kepergiannya mampu membuat kantung mataku bertambah.

Awalnya aku sedih, tetapi lama kelamaan, berkat selalu bertukar pesan dengannya, perasaanku mulai membaik.

Aku bukan lagi cewek bodoh yang cuma memikirkan diri sendiri. Kalimatnya waktu itu, dan segala yang ia tulis lewat pesan beserta kilasan masa lalu, menunjukkan bahwa dia juga punya perasaan yang sama denganku. Dia menyuruhku untuk menunggu. Bukan menunggu libur panjang buat ketemuan, tetapi hari di mana kami bisa melakukan sumpah di depan banyak orang.

Itu artinya, aku sudah dilamar!

Namun, setelah tiga tahun, kenapa dia tidak ada kabar? Aku mencoba berpikir positif. Mungkin karena banyaknya tugas, dia jadi tidak bisa mengecek ponselnya.

Hanya saja, ketiadaan kabar itu terus berlanjut bahkan berbulan-bulan setelah hari kelulusanku.

Kenapa?[]

written by: Shiholilah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top