Boneka Kelinci


Tuk! 

Kepala boneka kelinci menimpa lenganku yang sedang menulis. Ah, kelincut-ku yang sudah lusuh. Sudah berapa tahun berlalu sejak kedatanganmu? Saking lamanya aku sampai tidak ingat kapan tepatnya. Yang jelas, di mataku kau masih tampak lucu, meski gigimu sudah robek, telingamu letoi, dan ada bekas tambalan jahitan di sekujur tubuhmu. Kamu tetap kelincut tersayangku. 

Terima kasih telah hadir dan menemani kesepianku. Kalau tidak ada kamu, entah bagaimana aku melalui hari-hari seorang diri. 

Dulu, setiap pulang sekolah kita selalu bermain bersama. Pernah beberapa kali kamu berperan sebagai anakku. Aku berpura-pura mengandung, melahirkan, dan merawatmu. Persis seperti mama ketika adikku hadir di tengah-tengah kami. Bagaimana perasaanmu, ya, ketika aku memperlakukanmu seperti bayi manusia? Menggelikan, ya? Apa menjatuhkan martabatmu sebagai boneka hewan? Maaf, deh, sekarang sudah tidak begitu lagi, kok. 

Oh, iya. Apa kamu ingat ketika kamu berperan sebagai pembantu di rumahku? Kamu berpura-pura membersihkan kamarku, padahal aku sendiri yang membereskannya. Lalu, aku juga memberimu gaji dengan uang receh dua ratus perak. Apa kamu jadi boneka terkaya? Sepertinya tidak, ya, karena setelah itu uangnya aku ambil lagi. Kasihan sekali kamu harus jadi budakku. 

Ayah pernah bilang dia mendengar suara berisik dari luar kamarku. Beliau pikir di dalam ada teman-temanku, tapi setelah dia membuka pintu hanya ada aku dan kamu serta boneka lain. Aku dipuji karena bisa meniru beberapa suara yang berbeda. Kamu ingat, kan? Setelah ayah keluar kamar, kita tertawa dan melanjutkan pesta minum teh. 

Oh, benar. Selain bermain sandiwara, aku juga sering curhat padamu. Menceritakan bagaimana sikap teman-teman padaku di sekolah, atau hari-hari ujian yang melelahkan. Setelah bercerita panjang lebar, aku akan menangis, dan aku menggerakkan tanganmu untuk menyeka air mataku. Kemudian, aku akan kembali tersenyum setelah melihat senyum lebar di wajahmu. Aku pikir kamu lebih hebat dariku karena selalu tersenyum bahagia. 

Tahu, tidak? Aku selalu tidak tega ketika melihatmu direndam air deterjen di bak oleh mama. Ketika tubuhmu disikat secara kasar sampai keluar banyak busa. Atau ketika kamu dijemur di bawah terik matahari. Pasti tidak enak, ya, mengalami itu? Maaf, tapi kalau tidak dicuci kamu bau pesing. Demi kebaikanmu juga, kan. Tahan sebentar, ya, habis itu kita bermain lagi sampai puas. 

Sebenarnya kalau boleh membawa mainan, sepertinya aku akan membawamu setiap hari ke sekolah. Sayangnya tidak boleh. Padahal kamu, kan, tidak akan macam-macam. 

Pokoknya, hari-hari yang kita lalui sampai sekarang, aku senang karena ada kamu di sampingku. Terima kasih kamu selalu bersamaku, meski seiring berjalannya waktu aku jadi lebih sering mengabaikanmu. Entah bagaimana, aku jadi semakin sibuk dengan sekolah. Dan lagi waktu ayah membelikan ponsel untukku, kamu jadi benar-benar terlupakan untuk waktu yang lama. Aku benar-benar minta maaf. 

Lalu, untuk ke depannya, kamu masih ingin terus bersamaku, kan? Biar bagaimana pun, kamu adalah temanku yang paling berharga. Aku tidak akan tega membuangmu atau menyerahkanmu pada orang lain. Kamu hanyalah milikku seorang. Walaupun kamu sudah usang, rusak, atau bagaimana, mungkin aku tetap tidak akan membuangmu. Semoga saja aku tidak berubah pikiran. 

Ah, ya sudahlah. Sudah cukup nostalgianya. Sekarang mari kembali ke kenyataan. Aku akan terus berjuang untuk hidupku sampai tiba hari dimana aki bisa menceritakan tentangmu pada suamiku kelak. Maka dari itu, tolong teruslah di sampingku, ya, kelincut-ku? 

written by: NanasieGreem

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top