Belakangan

Mhmm … memang agak susah sih, ya. Kalau ngomongin soal ini, aku bahkan nggak tahu first love di sini konteksnya seperti apa. Namun, tertangkapnya di aku tuh bukan topik love-nya keluarga aja. Jadi, aku bakal ngomongin soal gimana aku menemukan. Iya, menemukan aja.

    Kalau ngomongin soulmate nih, pasti bakal ada sekelebatan kata “jodoh” di pikiran. Enggak aku aja, ngaku deh kalian. Tapi, gimana kalau di usia yang masih belia begini, aku udah merasakan ada suatu tali rajut merah kecil banget di jari kelingking aku. Lebay, iya dong. Tapi memang berasa banget gitu di diri aku. Well, yang namanya soulmate itu nggak mandang gender ya, aku tahu kalian pasti tahu itu juga. Dan, aku bakal bilang aku merasa “menemukan” soulmate aku itu di diri seorang perempuan. Sahabat? Yep, semacam itu.  

    Kok bisa? Kamu lesbian, ya? Nope, I’m totally straight. I’m not aroused to see women’s naked bodies. Gender, bukan seksualitas. 

    Kok bisa bilang itu first love kamu? I’m not saying that she’s my first love. But, I “found” my really  first definision of true love by known her. Bisa dibilang, dia yang bikin aku tahu cara menyayangi yang benar, menghargai, dan bersyukur tentang kasih sayang yang sebelum-sebelumnya aku rasa itu cara yang salah. Termasuk di antaranya, yep, keluarga. Dia secara nggak langsung bantu aku menemukan the missing part of my love life. Karena, ternyata hal nggak serumit ataupun sesederhana yang kupikirkan dulu. 

    She’s shown me that love is more than a feeling. 

    Dia mate pertama yang bisa bikin aku sayang banget sama orang, mostly like a family. Karena kenal dia, aku jadi percaya diri buat berhubungan dengan banyak orang, dan sedikit menyingkirkan ketakukanku akan dunia pernikahan. (Ya … walau aku belum mikir mau nikah sih). Ini jujur. Aku orangnya cemburuan. Kadang dengan melihat dia main sama temannya yang lain, aku merasa tertinggal jauh. Di kepala aku bakal muncul rambatan anggur bom yang seketika meledak ketika dia mencoba petik. Padahal, aku kadang main juga dengan temanku yang lain. Ck ck ck, parah.

    Kelebihan dia itu mengajari dengan menunjukkan. Kan ada tuh orang-orang yang gaya bicaranya nggak bagus-bagus amat, tapi perilakunya baik, tapi nggak peka. Ya itulah gambarannya. Dia, kalau dimintai nasehat pasti aku nggak bakalan puas. Kayak – I don’t know. Maybe because I heard somethings like that a lot on the internet, or I’ve even already known that things by the book I’ve read. Pokoknya, nasehat dia tuh kayak professor gitu … ngasih teori, buka yang tipe to the point yang ngasih solusi. (Ya, memang sih berat juga buat mikirin solusi masalah yang nggak kita sendiri hadapi). Tapi, mungkin karena sensitifitasku sering diuji, aku mulai lihat dan belajar dari dia aja aku biasanya langsung nemu solusi masalahku apa. Pikiran kita nggak mirip, umur kita juga nyaris sama sebetulnya, jadi kalau ngomongin pengalaman … nggak deh, eh, mungkin iya sedikit. Tapi, beneran …, dengan melihat dari bagaimana satu sama lain bersikap, saling baca respon, kita langsung tahu gimana cara menghadapi persoalan serupa di kemudian hari. Untungnya, dia juga merasa begitu …. Nyambung.

    The point is; dengan mengenal dia, aku makin yakin dengan diriku sendiri, dan bahwa makna “Love” milikku adalah belajar. Yaa, just learn everythings I can. 

    Btw, guys, soal benang merah. Kalian percaya kalau benang kalian – soulmate kalian itu cuma satu? Heheh, I’d like to make discussion about this one.

    Thanks for pay attention to my story. Peace out!

written by: Seseorang Yang Ingin Namanya Dirahasiakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top