Prolog
Angin lembut berembus menerpa tubuhku dan seorang sahabatku yang selalu membuatku resah serta penasaran dengan kisahnya. Aku
mengulum bibirku dan sesekali menggigit bibir bawahku saat Milyani hendak menceritakan kisahnya di malam minggu kemarin. Dia berciuman dengan pacarnya dan hampir ketahuan oleh Ayahnya yang seorang guru di sekolah kami.
”Emm, terus gimana semalem elo jadi jalan sama Pujha?” tanyaku tanpa melihat wajah Milyani.
”Enggak.”
Aku menoleh ke arah Milyani yang duduk di sampingku. “Terus, gimana elo bisa begitu kalau enggak jadi jalan?”
Milyani tersenyum miring. “Kan dia yang kerumah gue, Dalvira. Jadi ya kita pacarannya di rumah aja.”
”Oh,” ucapku singkat saja lalu kembali memandangi lapangan yang ramai oleh para siswa tengah bermain basket.
”Dan gila, ternyata Pujha bener-bener bikin gue, uh!”
Aku kembali menoleh mendengar Milyani berkata seperti itu, apalagi dengan kata terakhirnya yang seolah membayangkan dan mengatakannya
penuh rasa nikmat.
Aku mengernyit, antara penasaran, tidak mengerti dan jijik. “Elo kenapa, Mil? Pujha kenapa emangnya?”
”Nakal.”
“Lah, bukannya Pujha dari dulu juga nakal, ya? Kelihatan kali dari tampangnya juga, kaya bad
boy begitu. Emang Pujha cakep, sih. Tapi, lihat saja tuh mukanya! Kalem-kalem minta ditenggelemin.”
Dengan lancarnya aku berujar tanpa mengingat bahwa gadis di sampingku adalah kekasih dari pria
bernama Pujha yang baru saja aku bicarakan.
Alih-alih marah, Milyani malah tertawa dan menepuk pahaku lalu sedikit menyenggol lenganku.
“Ah elo, Vir. Kalau ngomong suka bener gitu. Polos
banget sih nilai cowok dari tampang doang."
”Emm, maaf.”
”Nggak papa kok. Tapi emang ada benernya juga sih ucapan elo, Vir, si Pujha emang diem-diem harus ditenggelamin. Apalagi malem itu dia hampir buat gue tenggelam dengan ciumannya, uuh.”
”Ih udah dong jangan ngomongin soal itu mulu,” ucapku dengan nada sedikit lebih tinggi.
”Ih nggak apa-apa kali, Vir. Kali aja elo mau belajar dari pengalaman gue. Pokoknya elo dengerin aja, ya!”
Aku tak bisa menjawab lagi atau pergi untuk menghindari pembahasan ini. Terlebih Milyani memegangi lenganku lalu bersandar di pundakku. Sungguh, rasanya aku tak mau mendengarkan tapi aku juga penasaran. Jadi ya sudah, karena aku tak dapat pergi, aku pun mulai menyerah dan menjadi pendengar.
”Jadi gini, Vir. Semalem pas dia mau pulang gue anterin dia keluar rumah dong. Eh kebetulan di depan pintu gerbang rumah gue gelap ya, tiba-tiba dia nyium gue.”
”Emm, terus bokap elo keluar dan ketahuan
gitu?" tanyaku sengaja mempersingkat ceritanya.
”Ih belum, dengerin dulu makanya.”
”Ya udah lanjutin.”
”Iya, jadi ‘kan dia cium gue. Duh di situ gue nggak bisa lepasin dia, soalnya dia nahan gue dan mulai melumat bibir gue, ya udah gue bales dia dong. Dan gila parah, dia kuat banget.”
”Kuat gimana?” Alisku terangkat sebelah.
“Parah apanya?” tanyaku lagi.
”Iya parah, kuat banget ciumannya. Sampegue nggak bisa napas, terus parahnya lagi dia nakal, pas terakhir mau selesai dia gigit bibir gue. Anjir ... sakit, perih, tapi uh … nikmat.”
”Ih, digigit kok nikmat, sih?”
”Ih elo kaya enggak pernah aja.”
”Emang belum pernah,” ucapku datar.
Sontak Milyani menegakkan tubuhnya dan beralih melihat wajahku. “Apa? serius elo? Jadi elo
belum pernah ngerasain ciuman?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Milyani aku malah balik bertanya. “Terus, itu gimana bisa
hampir ketahuan sama bokap elo?”
"Oh itu, karena gue sedikit menjerit. Abis
sakit kan pas bibir gue mau lepas dari ciuman itu dia malah gigit.”
”Terus?”
”Ya bokap keluar dan nanya ada apa? Ya gue bilang aja hampir jatoh karena gelap. Akhirnya bokap nyalain lampu deh.”
”Oh gitu. Itu mah enggak hampir ketahuan kali.”
”Ih dengerin dulu belum selesai, Dalvira.”
”Belum gimana? Bukannya ituannya udah?”
”Iya tapi pas abis lepas, tuh dia narik gue lagi dan meluk gue. Ngelingkarin tangannya di pinggang gue. Si Pujha mau nyium gue lagi eh bokap keburu
buka pintu, akhirnya gue buru-buru lepasin tangan dia dan mundur ngejauh gitu.”
”Huh, untung bokap elo keluar ya, Mil. Kalo misalnya enggak, elo abis sama si Pujha.”
”Haha, iya bener banget elo Vir, udah ah kalo cowok sama cewek berduaan apalagi di tempat
gelap susah, nggak nahan gue.”
”Hem, iya,” jawabku seraya berpaling ke arah koridor seberang lapangan.
”Cie, curi-curi pandang sama Gandi.”
”Ih apaan sih, Mil? enggak kok,” ucapku bohong seraya memalingkan wajah ke sembarang arah.
Milyani malah terus menggodaku dan tangannya mulai menangkup wajahku hingga kami berhadapan. Milyani menatapku dengan tatapan
tak terbacanya. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya, yang pasti aku merasa tidak nyaman
dengan sikapnya.
”Ya ampun, Dalvira. Umur elo sekarang berapa? Elo beneran belum pernah ciuman sama sekali?”
”17 tahun, emang kenapa kalo gue belum pernah ciuman kaya elo? Lagian gue mau kasih first kiss cuma buat orang yang gue suka, gue cinta, dan pastinya buat suami gue nanti.”
”Jiah, elo anak jaman kapan sih, Vir? Ini 2018, Dalvira Sayang. Masa cewek secantik elo dan dengan bibir se-sexy ini belum ada yang nyentuh?
Terus cowok elo si Gandi emang bukan yang elo suka, emang dia belum pernah ngapa-ngapain elo?”
Milyani menyentuh bibirku lalu memegangi daguku yang sontak dengan segera aku tepis. Aneh
dan malu rasanya diperlakukan seperti itu, terlebih saat duduk di kursi koridor sekolah yang pastinya
banyak orang berlalu lalang.
”Memang belum, lagi pula gue bukan elo Mil, yang dengan mudahnya melakukan hal-hal seperti itu, dengan setiap cowok yang jadi pacar elo. Gandi juga bukan cowok kurang ajar kayak Pujha.
Meskipun gue suka sama Gandi tapi dia bukan suami gue.”
Milyani menghela napas mendengar
ucapanku. “Iya sih, gue juga dulunya enggak mau tapi pada akhirnya sekarang ketagihan. Tapi gue
yakin elo juga pengen kan ngerasain gimana ciuman itu? Apalagi first kiss, pasti bakal elo inget sampai kapan pun jika elo udah ngelakuin itu.”
Aku kembali menggigit bibir bawahku. “Emm iya, tapi elo jangan bilang-bilang ya kalau gue belum
pernah ngerasain first kiss sama temen-temen yang lain, nanti gue diledekin lagi.”
”Iya tenang aja. Rahasia elo aman sama gue.”
***
Penasaran. Ya, itu yang saat ini kurasakan. Inilah akibatnya jika sering menjadi pendengar. Pada awalnya teman-temanku hanya sekadar curhat dan meminta saran, tapi makin lama setiap topik pembahasn kami selalu melebar dan curahan hati mereka semakin tertuang. Entah mengapa dan bagaimana mereka bisa menilaiku sebagai pendengar yang baik?
Sebenarnya aku hanya menjawab setiap pertanyaan yang mereka ajukan, lalu memberi saran.
Tapi hal yang paling aku tidak suka adalah saat dinmana sahabatku Milyani bertanya mengenai first kiss.
First kiss?
Penasaran, tapi entah kapan? Dengan siapa? Bagaimana bisa? Dan rasanya seperti apa?
Itu yang selalu ada dalam benakku, tapi tak mampu kuutarakan atau kutanyakan pada siapapun. Karena kurasa sungguh memalukan bertanya hal seperti itu. Meski pada sahabatku sendiri, jujur saja aku sedikit tertutup mengenai pribadiku, aku tidak suka orang lain mengetahui kehidupanku atau perasaanku, apalagi masalah cinta.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top