Prolog

Sebelum baca aku peringatkan kembali, kalo ngga suka bxb skip aja yaaa... jangan malah hate komen, dan untuk ceritaku yang lain, perlahan aku bakal up juga kok. makasih sebelumnya.

.

.

.

Jeno menatap putranya yang baru lahir dengan perasaan campur aduk, bagaimana tidak, putra pertamanya lahir dengan selamat tapi tidak dengan istrinya Karina yang harus meninggal dunia.

Jujur kondisi istrinya memang tak baik, lemah, dan memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Sebenarnya dari awal dokter menyarankan jika Karina tak boleh mengandung karena beresiko bagi ibu maupun bayinya, hanya saja kekeras kepalaan Karina yang ingin memberi keturunan pada Jeno membuat lelaki Jung ini mengikuti keinginan istrinya.

Sungguh dari awal dia sudah meminta Karina menggugurkan janinnya saat tahu kehamilan itu, Karina hanya tersenyum menenangkan, mengatakan semuanya baik-baik saja, mengatakan jika dia akan melahirkan bayi mereka dengan selamat.

Dan hasilnya sekarang, Karina tak selamat karena memang tubuhnya lemah, tqpi putra mereka terlahir dengan selamat.

“Jeno, kau baik-baik saja?” tanya Taeyong menatap putra bungsunya khawatir,

Jeno menatap pria cantik yang menegurnya, dia mengangguk pelan, “Aku baik bubu, tak perlu khawatir, salahku tak bisa meyakinkan Karina untuk tak mengandung.”

“Besok kita makamkan Karina ya sayang, semua bukan salahmu, bukan juga salah Karina atau bahkan putramu, yang salah adalah takdir tragis kalian, demi putramu kau harus kuat ya?”

Jeno terdiam.

Dia kembali menatap putranya, namanya Jisung, Jung Jisung, itu nama yang dia dan Karina pilih saat tahu jenis kelamin bayi yang dikandung istrinya.

.

.

.

Menutup mata, mencoba untuk kuat, Jeno melihat peti istrinya terkubur, kebahagiaannya kini hilang, dia hanya memiliki jisung, hal yang membuatnya kuat dan bertahan.

“Kita pulang sayang, kita harus menjemput Jisung di rumah sakit bukan?” ajak Taeyong pada putranya,

Jeno menatap bubunya, menatap ayahnya dan tersenyum mencoba tegar.

Dia memang mengatakan jika dia baik-baik saja, tapi nyatanya tidak, separuh nyawanya ikut terkubur dengan istrinya.

“Kuatlah, ada kami, Jisung membutuhkanmu nak.”

Jaehyun membuka suara, menatap putranya lekat.

“Aku tak selemah itu Dad.”

Jaehyun mengangguk, “Kita pergi, ayo.”

“Kuatlah.” ujar Mark merangkul adiknya,

Jeno mendengus.

“Aku tak mau mendengar kata-kata dari bajingan yang bahkan meninggalkan kekasihnya yang mengandung dan memintanya menggugurkan bayi tak bersalah.” bisik Jeno,

Mark mematung.

“Kau!! Kubilang jangan membahas hal itu!!” seru Mark tak terima,

“Aku hanya mengatakan fakta Kak.”

“Ini masih wilayah pemakaman dan kalian malah beradu argumen, bisakah kalian satu hari saja akur?” tanya Taeyong, kenapa dua putranya tak bisa sehari saja tak berdebat.

“Jika bubu tahu habis kau.” ancam Mark.

Jeno mendengus, sisi gelap kakaknya 2 tahun lalu, mungkinkah ini juga karma karena sampai sekarang kakaknya belum menikah?

Dan apa yang dipikrannya, istrinya baru meninggal, kenapa dia malah memikirkan kelakuan kakaknya yang memang tidak berakhlak? Yang harus dia lakukan adalah fokus pada Jisung bukan?

.

.

.

Setelah selesai melakukan pembayaran administrasi Jeno menghampiri Taeyong yang tengah menunggu Jisung akhirnya diperbolehkan pulang.

“Kau akan tinggal bersama kami bukan? Kau tak mungkin bisa mengurus bayi dan kau juga harus bekerja, jadi biar bubu yang menjaga Jisung ya?”

“Iya bubu, terima kasih.”

“Sudah lama bubu tak mengurus bayi, ahhh memikirkannya saja pasti akan menyenangkan.”

“Bubu jangan aneh-aneh, dia putraku, laki-laki, jangan malah membelikannya bahkan memakaikannya baju perempuan.” Peringat Jeno, dia masih ingat saat berumur tujuh tahun ibunya membawanya kesebuah butik dan malah mendandaninya dengan pakaian wanita, dan itu trauma tersendiri, kata bubunya sih dia terlihat cantik dan manis.

“Tidak akan, kau tenang saja.” Jawab taeyong yang kini menggendong Jisung setelah serah terima dengan bidan rumah sakit.

Untuk pertama kalinya Jeno menatap Jisung dari dekat, dia mengulurkan tangan besarnya mengelus tangan mungil yang terkepal, tanpa diduga tangan mungil yang terkepal itu terbuka dan menggengam jari manis Jeno.

Sungguh dari awal kematian Karina dia menahan air matanya, dia tak ingin terlihat lemah, tapi kini tanpa disadari dia meneteskan air matanya saat sang putra menggengamnya erat.

Taeyong tersenyum sedih, putranya memang selalu pura-pura kuat, kini pertahanan putranya runtuh.
Jujur saja Taeyong lega melihat air mata putranya, berpura-pura kuat juga tak baik, hanya akan menambah rasa sakit.

“Kalian akan kuat, bubu yakin kebahagiaan ada didepan sana, untukmu dan jisung, kalian kelak bahagia, ada kami juga ya?” bisik Taeyong menenangkan.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top