𝓒𝓱𝓪𝓹𝓽𝓮𝓻 9

Giyuu membuka sedikit pintu kamar (Name) yang tidak tertutup rapat. Dilihatnya (Name) yang sedang duduk di jendela, dengan gorden yang tersampir. Tampaknya, (Name) tak menyadari keberadaan Giyuu. Giyuu menghela napas. Sedari pagi, saudaranya tak keluar dari kamarnya--- bahkan untuk sekedar makan. Dan ini sudah hampir sore.

"(Name)," Panggil Giyuu.

(Name) tak menjawab.

"(Name), apa kau mendengarku?" Tanya Giyuu sekali lagi.

"Nanti saja makannya," balas (Name) yang tahu maksud Giyuu mendatanginya.

Giyuu hanya menghela napas. Saudaranya ini benar-benar tak bisa dimengerti. Ingin diberi perhatian, tetapi giliran diberi perhatian malah minta menjauh. Giyuu heran, bagaimana bisa Sabito, Makomo, dan Historia tahan dengan sifat perempuan tersebut? Entahlah, yang pasti mereka tidak menggunakan susuk.

Giyuu mendekati (Name), kemudian duduk di kasur (Name) yang posisinya paling dekat dengan jendela.

"Trus kamu maunya gimana? Minta diberi perhatian, giliran diberi perhatian malah minta menjauh," Giyuu memandang punggung (Name).

(Name) hanya diam. Pandangan matanya kosong menatap jalanan. Terlihat lingkaran hitam menghiasi pinggir matanya, mengingat semalam ia tak bisa tidur. Giyuu yang menyadari itu bertanya,

"(Name), apa kau mengantuk?"

Lagi-lagi, (Name) tak menjawab. Ia diam seolah telinganya tuli. Giyuu yang sebal dikacangi memutar matanya malas.

"(Name), apa kau mendengarku?" tanyanya.

"Denger kok," akhirnya (Name) menjawab.

"Tadi kok diem aja?" tanya Giyuu.

(Name) mengayunkan kakinya.

"Lagipula kau sudah tahu jawabannya bukan?" (Name) kemudian turun dari jendelanya, dan pergi meninggalkan Giyuu.

Giyuu hanya memandang punggung (Name) yang semakin menjauh. Ia menghela napas.

"Sabito... Apa yang lu lakuin ama sodara gua..?"

*******************
(Name) berjalan lemas tanpa arah. Ia tahu, ceroboh jika ia keluar dengan perasaan yang carut-marut, karena kejadian semalam. Ia tak tahu harus bagaimana jika bertemu Sabito.

(Name) duduk di kursi yang ada di sampingnya. Ia menghela napas. Perasaan kosong di hatinya membuatnya hampa.

Teringat dulu, jika ia sedang duduk disini, Sabito akan menghampirinya lalu ya- seperti biasa. Bercerita, dan kadang meminta rekomendasi buku bagus. Sabito juga kadang mendesaknya untuk bercerita, dan (Name) akan terbata-bata berbicara. Kadang, jika sudah nyaman, ia akan berbicara tanpa henti.

Ngomong-ngomong, (Name) jadi teringat sesuatu. Kucing.... Kucing yang biasanya ada di sekitar sini. Semenjak Sabito berpacaran dengan Rika, ia semakin dekat dengan kucing. Tak jarang ia memberi mereka makan.

Pas sekali, ada kucing yang mendekati kakinya. (Name) segera memancing kucing tersebut, dan mengelus kepalanya. Kucing tersebut mendengkur, dan mengeluskan kepalanya di tangan (Name).

(Name) tersenyum. Ia kemudian mengangkat kucing tersebut, dan memangku nya- sambil mengelus bulu lembut kucing itu.

(Name) tersenyum, teringat akan kalimat kakeknya yang ia dengar sewaktu berumur sepuluh tahun- masih polos akan dunia.

"Kadang, ada manusia yang lebih mencintai hewan daripada sesama manusia itu sendiri. Alasannya? Karena hewan akan menerima mereka apa adanya, dan mereka setia. Tak peduli (Name) cacat, tunawisma, atau penyakitan, mereka akan tetap menerimamu."

Dipikir-pikir, benar juga ya. (Name) pernah mendengar temannya dulu pindah sekolah. Alasannya? Sahabat yang ia percayai ternyata berkhianat. (Name) agak lupa sebenarnya. Ia juga tak tahu seberapa parah orang itu mengkhianati temannya, hingga pindah sekolah.

Tapi ya, bisa dibilang, ia lebih suka hewan daripada manusia. Walaupun, ia tak membenci manusia--- tetapi ia bisa dibilang gerah dengan tingkah manusia (walaupun dia sendiri juga manusia, sih).

"Sahabat, benci, berkhianat, klarif, minta maaf, seperti itu saja terus," tanpa sengaja ia berucap. Ia menghela napas.

Ngomong-ngomong, nanti malam hari terakhir festival. Tentu saja (Name) akan tetap mengunjunginya, dan melihat kembang api. Janji kok, ia takkan melakukan yang berbahaya. Lagipula, ujung-ujungnya ia akan diberi motivasi (bullshit) untuk tetap hidup. Ah ya, besok juga Sabito akan pergi ke luar negeri, untuk berkuliah bersama tunangannya. (Name) jadi berpikir, kuat juga ya Sabito. Sesudah pergi ke festival, ia akan pergi ke luar negeri untuk berkuliah.

(Name) sendiri? Ia masih tidak tahu harus kuliah dimana. Ia berencana untuk bekerja mengumpulkan uang, dan sesudah itu akan mengambil beasiswa. Kubur dulu impian untuk kuliah di luar negeri, mengingat kondisi keluarganya yang bisa dibilang tidak baik-baik saja.

Tak apa dekat, yang penting aku bisa belajar.

Yah, mungkin ia bisa menulis, mengingat perkataan Historia yang berkata bahwa (Name) pintar merangkai kata. Mungkin, bisa berawal dari halaman belakang buku tulisnya.

Bentar, kenapa jadi out of cerita? Ah sudahlah.

Kryuukkk~!

(Name) tersentak dengan bunyi dari perutnya barusan. Benar juga ..... ia belum makan dari tadi pagi.

Tiba-tiba terbesit satu ide di kepalanya. Benar saja ya, kenapa ia tak berpikir itu tadi?

(Name) segera bangkit dari tempat duduknya, dan menaruh kucing di jalanan--- membiarkan kucing tersebut pergi. (Name) tertawa, merutuki kebodohannya yang baru memikirkannya sekarang.

Kenapa kau tidak habiskan waktumu untuk berkeliling dan bersenang-senang saja?

"Boleh saja."

**********************************

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu membuat Giyuu yang sedang membaca buku bergegas ke pintu rumahnya. Ia pun membuka pintunya.

Ceklek!

"Welcome, (Na)- Sabito?"

Giyuu heran melihat Sabito yang berdiri di hadapannya, dengan beberapa buku di tangannya. Sabito tersenyum lembut, seraya melambaikan tangannya.

"Bisa kita .... berbincang sebentar?"

Giyuu terdiam sesaat. Kemudian, ia menganggukkan kepalanya.

"Tentu. Akan kusediakan teh dulu."

Mendengar itu, Sabito mengelak.

"G-Gak usah. Aku kesini sebentar aja, abis itu mau pergi," jelasnya.

Giyuu hanya meng'oh'kannya.

"Pergi ke mana?"

Sabito mengalihkan pandangannya. Ia terlihat gugup.

"Ke .... (Name)."

****************************

(Name) berjalan dengan menenteng beberapa buku. Ia terlihat senang. (Name) memandangi buku-buku tersebut dengan tersenyum. Pergi ke perpustakaan dengan keadaan hati yang carut-marut, kemudian membaca teori tentang evolusi memang pilihan yang tepat. Pikirannya yang dari tadi diisi dengan Sabito, teralihkan dengan teori di buku tersebut. Memang sih, dia sudah diajarkan tentang teori evolusi di sekolahnya. Tetapi, ia gabut saja, membiarkan tangannya mengambil buku teori evolusi di salah satu rak--- walaupun masih ada buku yang lebih menarik daripada itu.

Ia kemudian bersenandung kecil, sembari menuju jembatan favoritnya--- tempat dimana ia hampir bunuh diri dan berdebat dengan Sabito semalam. Ia bersandar di bibir jembatan tersebut, dan menghela napas.

Tidak menutup kemungkinan bahwa Sabito akan kesini untuk menemuinya. Dan (Name) sudah siap akan konsekuensinya. Toh, hari sudah gelap. Tak menutup kemungkinan, bahwa kembang api akan segera dimulai.

(Name) memandang arlojinya. Firasatnya berkata, kembang api akan dimulai sebentar lagi. Ia tersenyum.

"Sebentar, lagi ya..."

DUARR!!

(Name) tersenyum tipis, menikmati gemuruh kembang api dan ledakannya.

"Indah...."

Ternyata memang benar. Kembang api di desanya sangat indah. Astaga, Kenapa ia baru menyadarinya??

Tap tap tap

Suara langkah kaki yang terburu-buru dan disertai napas yang terpotong-potong memasuki gendang telinga (Name). Tanpa melihatnya, (Name) sudah tahu pemilik langkah kaki tersebut.

"Kembang apinya sebentar lagi mau selesai, lho.." Ucapnya, tanpa melihat Sabito yang tersengal-sengal memegang lututnya.

"Bagaimana .... kau tahu ... bahwa itu aku?" Ucapnya sedikit tersenggal-senggal.

"Telingaku cukup bagus untuk menguping," ucapnya sambil menaruh tangan di dagu.

Sabito meringis.

"Kenapa kau ke sini?" Tanya (Name), menatap lurus ke sungai. Ia masih belum bisa menatap wajah Sabito.

Sabito terdiam. Ia takkan lupa, tujuannya menghampiri (Name). Ia mengepalkan tangannya, dan menelan ludah.

"Soal yang semalam .... aku--"

"Maaf."

Sabito mengerjapkan matanya. Belum selesai ia berbicara, (Name) langsung menyelanya. Dan tadi, ia bilang apa? Maaf?

"Maaf .... karena telah membuatmu bingung," suaranya pelan dan getir--- masih tak menatap Sabito.

Sabito terdiam, masih tak percaya akan perkataan (Name). Ia kemudian meringis, sambil tertawa miris.

"Aku yang membuatmu depresi, malah kau yang minta maaf. Polos sama bodoh itu beda tipis ya ..?" Ucapnya miris.

(Name) semakin memalingkan pandangannya. Poni rambut menutupi raut mukanya.

"Setelah kupikirkan, memang aku yang terlalu tenggelam dalam perasaan cinta, hingga menjadi buta. Syukur-syukur aku tidak punya darah Yandere," ucapnya pelan.

Sabito terdiam--- memikirkan perkataan (Name). Makin kesini ia makin bingung, sebenarnya yang salah Sabito atau (Name)?

"Mou, sudah cukup. Aku juga ..... minta maaf," ucapnya, sambil mendekati (Name).

(Name) hanya diam, tak menjawab perkataan Sabito. Ia menggigit bibir bawahnya. Air mata mulai berkumpul di pelupuk matanya, dan ia mati-matian menahannya agar tidak jatuh.

"Aku ini ... tidak sepolos yang kau kira," suaranya bergetar--- Sabito tahu bahwa gadis ini hampir menangis.

GREB!

Sabito menarik tubuh (Name) ke dalam pelukannya. Ia tahu, gadis itu berpura-pura kuat, dan ia tak punya muka jika menangis depan Sabito. Ia semakin erat mendekapnya, mengabaikan (Name) yang terkejut. Percuma. Ia tak bisa mengelak dari pelukan Sabito yang hangat--- membuat (Name) bergetar--- dan air mata yang tertahan jatuh dengan deras.

"Kalau menangis.... Jangan ditahan dong..."
.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Omake

Bandara *******, kota *****

"Sabito-kun! Aku boleh ke kamar mandi sebentar?"

Sabito menolehkan wajahnya dari HP ke gadis berambut pirang yang ada di sampingnya. Ia tersenyum lembut, seraya berkata,

"Boleh kok. Aku tunggu disini, ya!"

"Okkeh~!"

Giyuu tersenyum melihat interaksi dua manusia tersebut. Ia menatap Sabito, dalam batinnya kuat sekali ia menghadapi (Name) semalam, lalu bangun dengan keadaan baik-baik saja. Entah apa yang terjadi semalam, yang pasti Giyuu tak tahu dan tak mau tahu.

"Eh, (Name) tadi kenapa gak ikut?"

Pertanyaan Sabito membuyarkan lamunan Giyuu. Giyuu yang segera konek ke dunia nyata pun tersenyum.

"Dia gak kuat sama udara di kota," balasnya.

Sabito hanya tertawa. Entah apa itu hanya bohongan, benar, atau ada makna selain itu--- Sabito tak mau memusingkannya.

"Tapi, dia punya satu pesan."

Sabito menghentikan tertawanya. Ia memandang Giyuu dengan tatapan penasaran.

"Pesan apa?"

Giyuu tersenyum.

"Tolong jaga Rika," ucapnya.

Sabito terdiam sebentar, kemudian ia tertawa.

"Tenang saja! Aku akan menjaga hati dan fisiknya kok!" balasnya.

Gituu tersenyum mendengar jawaban Sabito.

"Oh ya, aku lupa.

Ia juga bilang, kalau kau sampai menyakiti Rika, maka ia akan menendang masa depanmu itu, "ucapnya sambil bergidik.

Sabito yang mengerti kode (Name) yang disampaikan Giyuu bergidik- walaupun ujung-ujungnya ia ikut tersenyum.

"Percayakan padaku."

***************************

HAHHHH, AKHIRNYA KELAR JUGA.

eits, tapi ini masih ada chapter selanjutnya, jadi ditunggu yah!

-Kana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top