𝓒𝓱𝓪𝓹𝓽𝓮𝓻 4

.

.

.

.

.

.

.

.

(Name) menutup mulutnya. Ia tahu, ia tak boleh dan tak berhak mengganggu mereka. Tidak kuasa menahan perasaannya, (Name) mundur pelan-pelan, tak menimbulkan suara. Barulah setelah menyingkir, ia menangis.

Air matanya tumpah, bagai air di bendungan yang mulai rapuh. (Name) menutup mulutnya erat-erat. Dan hal itu membuat napas (Name) sedikit sesak, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya. Sangat tidak nyaman dengan posisi ini, karena kau menangis, ingin bersuara tapi tak bisa bersuara--- dan tenggorokanmu serasa diganjal batu besar.

Kakinya ia turunkan, karena tak sanggup menahan beban tubuhnya dan kenyataan. Dia menekuk lututnya, dan dipeluk erat-erat-- membiarkan air mata membasahi celananya. Suara kembang api yang sedang riuh meledakkan diri disana ia hiraukan. (Name) meremas bajunya di bagian jantung, dan menggigit bibirnya-- hingga mengeluarkan sedikit darah di ujungnya. Air matanya terus mengalir, tak peduli dengan kembang api yang sebentar lagi akan berakhir.

Salahkah ia melihat tetap mencintai Sabito dan Sabito sendiri mencintai orang lain? Secara logika, mungkin lebih baik merelakan dan melupakannya. Tetapi, merelakan tidak semudah mengucapkannya. Gadis itu persetan dengan logika, dan perasaan memegang kendali dirinya.

Mestinya aku takkan jatuh cinta begitu saja dengan dia.

Tetapi Tuhan ternyata memiliki plot twist. Disaat ia menikmati perasaan berbunga-bunga, dirinya harus ditampar kenyataan.

(Name) kemudian bangkit. Ia sadar, semakin lama ia menangis melihat Sabito dan Rika, semakin hancur perasaannya. (Name) tak mau menambah beban hidupnya, sudah cukup perasaannya hancur, jangan sampai hidupnya hancur. Tapi, jika dipikir-pikir, perasaannya itu hampir membuat hidupnya hancur juga ya?

Mendengar canda tawa dan gurauan Sabito dan Rika, terbersit keinginan (Name) untuk pergi dari tempat tersebut. Sudah cukup, ia tak kuat menahan semua ini. Bertahan di tempat tersebut dengan keadaan seperti ini akan membuat (Name) semakin sesak. (Name) segera angkat kaki dari tempat tersebut, dan menuju tempat Makomo berada. Ia hanya ingin seseorang yang bisa ia peluk.

*****************************

Makomo menunggu resah (Name). Ya ampun, lama sekali ia perginya. Sudah sepuluh menit (Name) pergi, dan kembang api sudah habis. Mata Aqua Makomo menangkap seseorang yang sedang berlari dari kejauhan dan tampak ngong-ngosan. Sedetik kemudian ia menyadari bahwa itu adalah (Name). Segera Makomo melambaikan tangannya, berusaha memberi tahu (Name) bahwa ia disini.

"(Name)-chan! Kau lama sekali, kembang apinya suda-"

GREB!

Makomo terkejut dengan perlakuan (Name) yang tiba-tiba memeluk erat dirinya. Makomo dengan bingung membalas perlakuan (Name), walaupun tidak seerat pelukannya. Muka (Name) ia tenggelamkan di pundak Makomo, dikala Makomo kelabakan menanyakan apa yang terjadi padanya.

"O-Oi! Kamu kenapa (Name)?! Apa ada sesuatu yang mengganggumu?!", tanya Makomo bingung.

(Name) semakin menenggelamkan kepalanya di pundak Makomo, dan mengeratkan pelukannya. Ia dekatkan mulutnya di telinga Makomo, agar Makomo bisa mendengarnya. Dengan paksa, (Name) menggerakkan mulutnya, walaupun suaranya hampir tak bisa keluar.

"Sabito," ucapnya-- dengan air mata yang menetes di pipinya. Dan nyaris tak bersuara.

Mendengar itu, Makomo terdiam. Raut wajah terkejutnya berubah menjadi sendu, dan ia mengelus punggung (Name), membiarkan jaketnya dibasahi air mata (Name). Ia mengerti, bahwa (Name) tak bisa mengucapkan semuanya. Toh, lagipula ia sudah bisa membayangkan apa yang terjadi.

"Mau pulang?", tanya Makomo.

(Name) mengangguk lemah. Toh, ia sudah 'lelah' berada di luar. Makomo dengan perlahan melepaskan pelukan (Name), dan merangkulnya. Sementara (Name) menunduk, rambutnya menutupi raut mukanya yang kehilangan cahaya hidup.

Selama perjalanan, Makomo hanya mengelus punggung (Name), sekali-kali ia memeluknya. (Name) sendiri sedang tidak ingin cerita, dan ia hanya butuh seseorang yang tetap disampingnya.

"Memangnya ....... apa yang terjadi?", tanya Makomo pelan. Seolah-olah takut menyinggung (Name).

(Name) menghela napas, berusaha menetralkan degup jantungnya yang membara.

"Ia ..... berciuman. Dengan, Rika-san," ucapnya dengan suara yang bergetar.

Mendengar itu Makomo terdiam. Ia masih mengelus punggung (Name).

"Begitu ya ..."

Makomo hanya bisa mengelus dan membantu (Name) pulang. Walaupun ia adalah sahabat (Name) Makomo tak tahu harus berbuat apa- karena ia sendiri belum pernah merasakan jatuh cinta.

Lama mereka berjalan. Tak terasa mereka sudah sampai di depan rumah (Name). Makomo melepas sepatunya, dan membantu (Name) melepas sepatunya juga. Makomo membuka pintu rumah (Name), sembari membawa (Name) masuk.

"Tadaima....... Gi-"

"Tidak ada orang"

Makomo terkejut.

"He?"

"Tidak ada orang. Giyuu pergi ke festival kembang api bersama Kochou," ucap (Name) lemah.

Mendengar itu Makomo hanya diam lagi. Ia sedang tak tahu harus berbicara apa. Makomo kemudian menutup pintu rumah (Name), dan membawa (Name) menuju meja makan. Kemudian ia mengeluakan salah satu kursi dan mendudukkan (Name) disana.

"Mau air putih?"

Mendengar itu (Name) hanya mengangguk lemah.

Makomo mengambil gelas kosong dan mengisinya dengan air putih di dispenser. Begitu gelas terisi penuh, Makomo segera memberikannya pada (Name). (Name) menengguk minumnya dengan pelan. Sementara Makomo menarik kursi dan duduk di depan (Name).

(Name) menaruh gelasnya di atas meja dengan pelan. Napasnya terengah-engah.

"(N-"

"Biarkan aku sendiri."

Makomo hanya menatap (Name) yang perlahan pergi meninggalkannya. (Name) pergi meninggalkan Makomo di lantai bawah, dan berniat menuju kamarnya.

Makomo menghela napas. Haruskah ia menunggu Giyuu pulang? Atau ia harus meninggalkan (Name) disini? Tapi ia takut.

Takut menemukan tubuh (Name) yang terbujur kaku di bawah jendela.

**************************

BRAK!!

(Name) membanting pintunya kasar. Dirinya melangkah lemah menapak lantai menuju ke kasurnya yang empuk. Ia menabrakkan dirinya di kasur, dan memejamkan matanya. Air matanya mengalir menuruni pipinya, membawa sejuta perasaan yang tertahan di hatinya.

Angin berhembus kencang melewati jendelanya, dan menerbangkan gorden kamar (Name). (Name) baru ingat, Kalau dia semalam lupa menutup jendelanya.

(Name) segera menghampiri jendela tersebut, berniat ingin mengunci jendelanya. Gorden jendela tak sengaja ia sibakkan, dan tampak jalan malam yang gelap, hanya bersinarkan cahaya rembulan. 

Bagaimana kalau aku lompat saja dari sini?

Mendadak pikiran (tak) gila tersebut mendatangi kepala (Name). Dirinya tersenyum, membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Kemudian ia berancang-ancang melompat dari sana. Kakinya bersiap meluncur bebas, yang mungkin akan menapak tanah dan meninggalkan tubuh yang tak bernyawa.

Tetapi, bagaimana perasaan orang yang kau tinggalkan?

Ah, lagi-lagi. Kenapa motivasi omong-kosong (Name) selalu muncul disaat ia ingin lepas dari kenyataan, dan ingin bebas dari dunia yang tipu-tipu?

(Name) kembali mengurungkan niatnya untuk melompat. Dirinya kemudian duduk di jendela, mendengarkan pikiran positifnya berbicara.

Apa keluargamu dan teman-temanmu bahagia melihat tubuh kau yang terbujur kaku dan tak bernapas? Apa itu akan membuat Sabito bahagia? Apa Historia akan berpesta pora mendengar kabarmu itu? Apa Giyuu akan tertawa melihat dirimu yang tak bernapas? Apa Makomo akan senang melihat tubuhmu terbaring dengan darah yang mengalir? Tidak bukan?

Benar juga, sih. Tapi-

Iya kan? Karena itu tetaplah hidup meskipun kau tak berguna, dan percayalah pada keajaiban Tuhan. Mungkin kau tak bisa melupakannya, tetapi biarlah waktu yang melupakannya. Mungkin hatimu masih terluka, tetapi biarlah waktu yang mengobatinya. Lagipula, bunuh diri akan membuat Sabito sengsara, dan kau tak tega melihatnya depres(h)i(t) bukan?

Ah, sudahlah. Lagi-lagi (Name) kalah oleh motivasi (bullshit)nya itu.

(Name) tak beranjak dari posisinya. Tidak, ia sudah tidak berniat bunuh diri lagi. Ia sedang menikmati lembutnya hembusan angin malam. Sesaat (Name) terdiam, kemudian ia tersenyum. Segera ia turun dari jendela dan menutupnya, lalu berbaring di kasur yang hangat. Dirinya mengambil guling, lalu memeluknya erat. Air mata mengalir pelan, melewati pipinya dan jatuh ke guling. Bibirnya bergumam pelan, seiring kelopak mata menutupi matanya--- bersiap untuk berkunjung ke alam mimpi.

"Memangnya ....... butuh berapa lama waktu untuk menyembuhkannya?"

WUSHHHH!!

Mata (Name) terbuka lebar begitu menyadari Angin menghembusnya dengan kencang. Angin berhembus kencang, menerbangkan rambut dan pakaiannya. Dirinya kaget, dan mendapati bahwa dia tidak berada di kamarnya yang gelap dan kasurnya yang empuk, melainkan di atap gedung.

(Name) yang kebingungan sekaligus kaget itu menyusuri pandangannya, dan mulutnya tak tahu harus berkata apa. Ia membalikkan tubuhnya, dan ....... Bang. Tinggal selangkah lagi sudah dipastikan (Name) akan tamat. Matanya menangkap lampu kerlap-kerlip mobil yang lalu lalang di jalanan bawah gedungnya. Ada apa ini? Bukannya (Name) tinggal di desa, bukan di kota?! Kenapa ia bisa ..........

P-Perasaan, aku berada di atas kasur dan tidur. Sebenarnya, apa yang terjadi? batinnya.

"Akhirnya, (Name)."

(Name) hampir saja jatuh jika ia tak bergerak gesit. Ia membalikkan tubuhnya, dan manik (e/c)-nya terkejut mendapati Sabito yang berada di hadapannya, dan tak begitu dekat.

"S-Sabito?! Kenapa kau ada disini?!" Tanya (Name) bimbang.

Sabito diam, dan bergerak mendekati (Name). (Name) tak menangkap emosi apapun di wajahnya Sabito, dan aura tubuhnya tak bisa ia baca. Ia hanya bisa terdiam di tempatnya, dan tak mampu bergerak.

"S-Sabi-"

Sabito semakin dekat dengannya, dan ia tahu bahwa di belakangnya hanyalah jurang yang akan membawanya ke bawah dan merenggut nyawanya. Ia tak bisa bergerak, dan jarak mereka sangat berdekatan--- bahkan sepatu mereka sampai bertemu. Tangan Sabito kemudian merangkul tubuh (Name) ke dada bidangnya yang hangat, membuat (Name) terkejut.

"Maaf, (Name)"

Sabito melepaskan rengkulannya, dan mendorong tubuh (Name) jatuh dari gedung. (Name) yang tak sempat melawan, menyadari bahwa kakinya tak menginjak datarnya tanah--- melainkan tubuhnya yang mengikuti gravitasi dan sebentar lagi akan jatuh ke bawah.

Menyadari itu (Name) tersenyum. Ya, tersenyum. Entah kenapa, ia sangat senang. Ia melebarkan tubuhnya, menikmati sensasi gravitasi, meskipun tahu bahwa ia nanti akan mati di bawah. (Name) memejamkan mata, menyadari bahwa ia merasa tenang--- meskipun malaikat kematian telah menunggunya di bawah gedung.

"Arigato."

Tubuhnya sebentar lagi akan menyentuh tanah, dan samar-samar (Name) mendengar suara kembang api yang berpesta pora. (Name) yakin, bahwa suara itu adalah suara terakhir yang didengarnya sebelum tubuhnya jatuh menyentuh tanah--- menjemput malaikat kematian.

.

.

.

.

.

.

.

.
Yatta nee, selesai juga ( ̄▽ ̄)~
Gomen lama, penyakit malas nulis dan kehabisan ide sedang menyerangku beberapa abad yang lalu.g

Bikin narasinya susah asdfghjkl

Btw, ini udah mau konflik ya, siap-siap

TIDAK MENJAMIN NEM AKAN HIDUP BAHAGIA MUEHEHEHEHEHE //plak

Kalo readers menemukan typo dalam bentuk apapun, kasih tau ya, soalnya ini belum kana revisi

Mata nee~

-Kana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top