𝓒𝓱𝓪𝓹𝓽𝓮𝓻 3
Kadang mereka suka lupa kalau mereka itu manusia, bukan malaikat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"(Name), apa kau nanti malam pergi ke festival kembang api?", Tanya Makomo.
(Name) mengerutkan keningnya, berpikir keras. Pergi ke festival kembang api? Setidaknya itu lebih baik daripada mengurung dirinya sendiri di kamarnya yang gelap dan menonton film NTR hingga jam lima pagi.
Walaupun kemungkinan ia akan melihat Sabito dan Rika lagi.
"Boleh-boleh saja sih, tapi ........ cuma kita berdua kan?", tanya (Name) balik. Ia tak suka jika pergi dengan orang yang tak terlalu dikenalnya.
Makomo tertawa kecil mendengar pertanyaan (Name).
"Cuma kita berdua saja kok. Lagipula, aku tak mau menghabiskan uang dengan orang yang tak kukenal", ujar Makomo.
(Name) menghela napas lega. Ia pun meneguk secangkir kopi panas. Setelah meminumnya, ia mengamati pantulan dirinya di cangkir kopi tersebut. Pantulan dirinya yang tak bisa dibilang cantik ataupun manis--- walaupun dulu ibunya sering memujinya cantik. Tapi itu dulu, sekarang? Entahlah. Terakhir kali ia melihat ibunya terbaring koma di rumah sakit, dengan banyak selang terpasang di tubuhnya. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan adiknya? Mungkin sang adik sudah masuk sekolah dasar, atau mungkin mau masuk sekolah menengah. Terakhir kali ia melihatnya pun ketika ia pulang ke rumahnya dan ditemukan sekeluarga--- termasuk adiknya--- berkumpul di ruang tengah. Ah- maaf. Kenapa jadi nolstagia ya? Sudahlah, lebih baik (Name) fokus ke masa kini.
(Name) menjepit sebagian rambutnya ke samping, membuat Makomo heran. Tidak biasanya (Name) menguncir rambutnya, ataupun menjepit rambutnya. (Name) termasuk ke golongan rambut gerai garis keras.
"Makomo'
"Ya?"
"Sepertinya ......... saranmu itu membantuku. Terima kasih banyak", ucap (Name) tersenyum sendu.
"Ha? saran yang mana?", tanya Makomo lupa.
(Name) mempoutkan mulutnya, dan raut wajahnya berubah sedikit sebal. Astaga, temannya ini benar-benar pelupa. Eh- tapi (Name) juga pelupa sih.
"Ah sudahlah, kalau kau tak ingat", ucap (Name) pura-pura sebal.
Makomo mengerutkan keningnya, dan itu membuat (Name) tertawa. Makomo mengamati (Name), tatapan kosongnya setiap kali ia bertemu hilang begitu saja, dan muka kusut dengan kantung mata nya raib setelah beberapa hari (baca: bulan) (Name) patah hati. Mungkin, ini adalah langkah yang baik untuk move on dari Sabito.
Mungkin ya.
"Maksudmu bagaimana?", tanya Makomo sambil mengerutkan keningnya.
"Bercanda bercanda! lupakan yang tadi", ucap (Name) sambil mengibaskan tangannya.
Makomo menghela napas kemudian menatap (Name). (Name) yang kebingungan ditatap pun hanya bisa mengerutkan keningnya, seolah memberi isyarat bertanya: kenapa?
"Tidak apa-apa sih ...... tetapi, apa Sabito dan Rika akan ke festival kembang api malam ini?"
Deg.
(Name) mematung. Dia sudah memperkirakan hal ini akan ditanyakan. Ya, dia sudah memperkirakannya. Meskipun Rika adalah temannya, dan Sabito adalah sahabatnya, entah kenapa--- ketika (Name) mendengar nama mereka, Jantungnya seolah berhenti. Begitu seringnya ia mendengar nama mereka berdua di pembicaraan teman-temannya, (Name) sampai ingin memecahkan gendang telinganya agar tak mendengar nama mereka lagi. Yandere? Egois? Entahlah. (Name) terkadang terlalu waras untuk melakukan hal keji itu sehingga ia hanya bisa melakukannya di dalam khayalannya.
Tapi, di satu sisi, (Name) ingin mendengar kabar dan melihat mereka berbahagia. Ya. Meskipun di satu sisi telinganya muak mendengar nama mereka, (Name) ingin mendengar dan melihat mereka berbahagia. Ah, maaf. Bingung ya? Kalau yang membaca saja bingung, bagaimana dengan (Name) yang mengalaminya? Entahlah.
Ok, balik ke realita.
(Name) mengepal tangannya erat. Dengan paksa, ia melontarkan senyuman.
"Tidak apa-apa kok. Aku sedang berusaha untuk move on", ucap (Name).
Makomo hanya meng'oh'kan pelan perkataan (Name) barusan. Makomo tahu. Makomo tahu (Name) berbohong. (Name) itu terlalu baik untuk berbohong.
(Name) bergegas duduk dan mengambil tasnya, diikuti Makomo yang berdiri dari bangku kafe.
"Ayo pulang".
(Name) dan Makomo berjalan keluar dari kafe yang mereka kunjungi. Sinar emas sang senja menyinari mereka. (Name) melihat ke arah jembatan seberang--- dan tampak dua sejoli yang sedang menikmati indahnya senja. (Name) sudah tahu kalau dua sejoli tersebut adalah Sabito dan Rika.
"(Name), apa kau tak cemburu?", tanya Makomo sambil mengedarkan pandangannya, melihat dua sejoli tersebut yang asyik dimabuk asmara.
(Name) menghentikan langkahnya. Punggungnya tegak seperti pohon. Makomo ikut berhenti, dan dirinya merasa bersalah menanyakan pertanyaan yang menurutnya sensitif untuk ditanyakan pada (Name).
"(Name), maaf kalau ak-"
"Senja hari ini indah ya?", ucap (Name).
Makomo tersentak. Ia kembali teringat. Yugure, itu marga (Name). Yugure, yang berarti senja. Dan itu sangat cocok dengan (Name) yang menyukai senja, dan senja pun menyukai (Name) juga. Sepertinya ...... (Name) dilahirkan untuk menyukai senja. Tapi, siapa yang tahu? Toh, biarlah itu menjadi rahasia Tuhan.
(Name) membalikkan punggungnya. Rambutnya dengan lembut mengikuti arus kepalanya dengan anggun. Manik (e/c)-nya yang jernih menatap Makomo, entah itu tatapan pasrah, kebahagiaan, kesedihan, atau kerelaan. Makomo tak bisa menerjemahkannya. Angin berhembus di belakang (Name), menerbangkan rambut dan perasaannya. (Name) perlahan mengulas senyum tipis, dengan paksa ia mengeluarkan suaranya.
"Toh, buat apa cemburu? Sabito sudah menemukan kebahagiaannya, dan tugasku sebagai orang yang mencintainya adalah membuatnya bahagia dengan orang yang dicintainya", ucap (Name) sambil tersenyum ringan.
Pada saat itulah, Makomo melihat ada air mata yang keluar dari mata (Name).
*******************
"Tadaima."
(Name) memasuki rumahnya, kemudian melepas kardigannya lalu menaruhnya ke gantungan dekat pintu masuk.
"Okaeri"
Ucap Giyuu sambil membuka tutup panci. (Name) mencium bau harum nan lezat, sepertinya Giyuu sedang memasak. Segera (Name) menuju dapur yang terletak tak jauh dari pintu masuk rumahnya. Ketika sampai di dapur, matanya menangkap Giyuu yang sedang memerhatikan panci.
"Masak apa?", tanya (Name) sambil menghampiri Giyuu.
(Name) membuka tutup panci, dan asap mengepul keluar dari panci tersebut. Dilihatnya Sup Ayam yang mendidih, membuat (Name) buru-buru mematikan kompor.
"Kalau supnya sudah mendidih, jangan lupa matikan kompornya", ucap (Name).
"Aku ........ lupa"
(Name) hanya menepuk jidatnya. Astaga, bilang saja kalau Giyuu tidak bisa (baca: takut) mematikan kompor karena kejadian 5 tahun yang lalu, kejadian dimana Giyuu tidak sengaja menyalakan kompor terlalu besar dan yah ......... bisa ditebak endingnya.
"Lupakan itu. Lebih baik kita makan dulu."
(Name) segera menyiapkan mangkuk dan sendok untuknya dan Giyuu. Kemudian ia mulai mengambil beberapa sendok sup. Bau lezat khas Sup Ayam mengudara di ruang makan yang dingin tersebut. Setelah mangkuk tersebut terisi oleh sup yang hangat, (Name) segera membawakannya ke meja makan, diikuti Giyuu yang membawanya dua gelas air minum.
(Name) mulai duduk dan berniat menyantap Sup ayam yang hangat tersebut. Meskipun tadi ia baru saja makan kue dan kopi dengan Makomo, entah kenapa, perutnya mulai terasa lapar sekali. (Name) mulai mengangkat sesendok supnya, dan memandanginya dengan tatapan datar sekaligus lapar.
"Itadakimasu"
(Name) memasukkan sesendok supnya ke mulutnya. Matanya melebar, kembali membangkitkan cahaya kehidupan di dalamnya. (Name) merasa lebih hidup, ketika makan. Jarang sekali ia makan, bahkan sehari ia bisa saja tidak makan sama sekali. Penyebabnya? kalian bisa tahu sendiri.
Dengan nafsu makan yang mulai bangkit dari kubur, (Name) menyantap makanannya dengan lahap. Ia bagaikan manusia yang tak makan sebulan. Giyuu yang melihatnya merasa aneh, sekaligus senang. Aneh karena tidak biasanya (Name) makan selahap ini, dan senang ......... karena (Name) tampak lebih hidup dari biasanya. Mungkin pikiran akan Sabito tersayangnya sirna begitu lapar menguasai akal dan perutnya.
Yah, setidaknya ia bisa melihat saudaranya tampak lebih oke, walaupun cuma sebentar.
Giyuu mulai mengangkat sesendok supnya. Manik safirnya memandangi sup tersebut. Dirinya membayangkan (Name) berjuang keras memasaknya, dikala ia memotong sayurannya dengan susah payah, dengan kantung mata, dan berkali-kali hampir mengiris tangannya karena tidak fokus. Dibantu pun ia tidak mau.
"Itadakimasu"
Giyuu memasukkan sesendok supnya ke mulutnya. Rasanya enak juga, batinnya. Tentu saja rasanya enak, tetapi yang bikin sedang tidak enak hati dan pikiran.
"(Name)", tanya Giyuu di sela-sela makannya.
Sementara yang dipanggil pun menghentikan acara makannya. (Name) pun menatap Giyuu dengan polosnya.
"Kenapa?"
"Nanti ada festival kembang api. Kau mau kesana?"
(Name) tidak menjawab sebentar. Ia sibuk menelan makanannya.
"Aku nanti kesana kok, bersama Makomo", ucapnya.
Giyuu hanya meng 'oh' kan perkataan (Name). Sementara (Name) melanjutkan acara makannya.
"Nanti Giyuu pergi ke festival?", tanya (Name) di sela-sela makannya.
"Iya. Bersama Shinobu", ucapnya sambil bersemu merah.
(Name) yang melihat itu pun hanya terdiam dengan tatapan polosnya.
"Semangat ya. Kak Shinobu bentar lagi kuliah," ucap (Name).
Mendengar itu Giyuu langsung tersedak air minumnya. Bagaimana (Name) bisa tahu kalau dia menyukai Shinobu?!
"Kok tau?!", tanya Giyuu kaget.
(Name) mengedikkan bahu.
"Nanti aku pergi sama Makomo, malam festival nanti. Mau bareng tidak?".
Giyuu hanya berdehem kecil, berusaha untuk tidak bersikap aneh.
"Duluan saja. Aku akan pergi bersama Shinobu", ucapnya, "dan yang lain," tambah Giyuu.
(Name) pun hanya menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Kemudian mereka melanjutkan makan.
***********************
"Aku pergi ke festival sama Makomo dulu!", ucap (Name) sambil pontang-panting menuju ke pintu rumahnya, lalu buru-buru memakai kardigannya.
"Hati-hati", ucap Giyuu yang menonton TV.
"Nanti Giyuu pergi ke sana kan?"
"Iya. Tapi agak terlambat"
Mendengar itu (Name) hanya mengangguk cepat.
"Ittekimasu", (Name) buru-buru membuka pintu rumahnya.
"Itterasshai".
Begitu (Name) sudah di luar rumah, ia berlari pontang-panting. Entah apa yang merasukinya, yang pasti ia sangat tak sabar dan bersemangat hari ini, meskipun pikiran tentang Sabito masih sedikit menghantuinya. Ah, sudahlah! Lebih baik (Name) fokus ke jalanan agar ia tidak masuk got lagi untuk yang kelima kalinya!
Tak butuh waktu lama agar (Name) sampai di tempat tujuannya, dengan Makomo yang sudah hadir disana. Sesuai janji, hanya berdua!
"Makomo-chan!", (Name) berlari menerjang Makomo.
"(N-Name)!"
"Tenang saja, aku tak kerasukan kok!"
Bagai cenayang, (Name) tahu apa yang sepertinya dikatakan Makomo. (Name), kamu itu cenayang apa manusia sih?
Makomo heran, melihat (Name) yang sesenang ini. Se mood-swing itukah (Name)? Entahlah, hanya (Name), Author, dan Allah yang tahu. Yang jelas, Makomo senang melihat (Name) yang agak- OOC? Senang? Entahlah, Makomo tak tahu dan tak mau tahu.
"Makomo-chan, ayo kita kesana!", bagai anak kecil, (Name) menarik tangan Makomo. Membuat Makomo kewalahan.
"S-Sebentar (Name)!"
"Ayo!"
*********************
"(Name)! Apa itu tak terlalu banyak?!"
(Name) yang sedang memakan satu tongkat permen apel tersebut menoleh heran ke arah Makomo. Makomo menatap ngeri tiga permen apel yang ada di tangan (Name).
"Tidak kok. Aku pernah memakan lima permen apel, dan ini masih kurang", ucap (Name) santai.
Masih kurang? Masih kurang? Astaga, Makomo sampai heran. Perut (Name) terbuat dari apa sih? Tapi, doakan saja semoga dompet Makomo masih berisi hingga esok pagi.
"Makomo! Ayo kita makan Takoyaki disana!", ucap (Name) sambil menunjuk stan Takoyaki yang hanya berjarak beberapa langkah, membuat Makomo berjengit.
"HEEE?! MEMANG PERMEN APELMU SUDAH HA-"
Perkataan Makomo terjeda begitu melihat tiga permen apel di tangan (Name) hilang entah kemana. Kepalanya kemudian melihat mulut (Name) yang agak menggembung. Disaat (Name) menatap polos Makomo, yang ditatap malah menatap ngeri (Name).
Nafsu makannya setara dengan gorila apa ya?, batin Makomo ngeri melihat nafsu makan (Name), mengingat (Name) selama enam bulan kehilangan nafsu makannya.
"Sebentar"
(Name) tiba-tiba menghentikan langkahnya. Raut wajahnya seperti mengingat sesuatu. Menyadari akan sifat temannya yang pelupa, Makomo sudah waspada. Siapa tahu (Name) mengingat utang traktir Ramen spesialnya setahun yang lalu.
"Ada apa (Name)?", tanya Makomo waswas. Keringat dingin meluncur bebas di dahinya.
Alis (Name) mengerut. Matanya mengarah ke atas kanan, memikirkan apa yang ia lupakan. Sementara jantung Makomo sudah jedag-jedug ala alight motion. //salah server T^T
Sesaat kemudian, raut wajah (Name) berubah, menjadi lebih rileks. Dengan santai ia menatap Makomo.
"Aku lupa kalau novelku ketinggalan di sekolah", ucapnya santai, sementara Makomo sweatdrop.
"K-Kalau begitu aku akan mengambilnya dulu!", ucap (Name) sambil berlari, meninggalkan Makomo yang sedang merutuki sifat pelupa (Name).
"Hati-hati!".
*********************
(Name) berlari sangat cepat di jalanan gelap. Beruntung tempat festival tidak terlalu jauh dengan sekolahnya dulu, hanya berjarak beberapa km. (Name) berhenti di tengah jalan, memegang lututnya sendiri untuk mengambil napas. Ia tak boleh berlari terlalu kencang, karena takut asmanya kambuh kembali.
Setelah menghirup udara sebentar, (Name) bergegas untuk menuju sekolahnya lagi. Ia harus bergegas atau Makomo akan menunggunya lama! Mengingat kembang api yang sebentar lagi diluncurkan, (Name) mempercepat langkahnya. Hingga sampailah ia di depan bangunan besar berlantai lima.
Gelap. (Name) melihat lorong masuknya tidak ada lampu yang dinyalakan, satu-satunya sumber cahaya adalah cahaya bulan yang menyelinap masuk lewat jendela sekolah. Teringat dengan rumor sekolahnya yang berhantu, (Name) bergidik dan kakinya ia paksakan untuk masuk ke sekolahnya. Ambil novelnya dan jangan pikirkan hantu!
Sialnya, kelas (Name) berada di lantai dua. Jadi ia harus menaiki tangga yang memiliki rumor seram juga, rumor dimana jika ia menaiki tangga itu pada malam festival maka ia akan bertemu dengan kesialan. Karena itu sekolah tersebut sepi pada malam hari, dan rumor tersebut dipercaya dan diceritakan dari kakak kelas ke adik kelas, dan guru kepada murid.
(Name) berhenti di depan tangga tersebut. Otaknya berpikir 1001 kemungkinan dan overthinkingnya kambuh kembali. Tetapi ia ditepis bahwa itu hanyalah mitos, dan mitos terkadang tidak nyata. Segera (Name) menaiki tangga tersebut sebelum pikiran seramnya kembali.
Dengan tergesa-gesa, kaki (Name) bergerak lincah dari satu anak tangga ke anak tangga lainnya. Pikirannya sedang kalut, dan sialnya, pikiran seramnya tak bisa dikompromi. Malah bayangan akan rumor tersebut malah menghantui pikirannya dan membuat (Name) semakin takut!
Setelah melalui tangga, (Name) tak bisa bernapas lega. Ia harus melewati dua lorong untuk bisa sampai ke kelasnya. Lorong yang pertama adalah lorong disamping tangga yang mengarah ke lorong kelasnya. Belum lagi perjalanan pulangnya.
Lorong pertama (Name) lalui dengan cepat dan ngos-ngosan. Duh, memikirkan rumor tersebut membuat kakinya sedikit tidak bisa ia kendalikan. Kakinya berlari cepat, mengabaikan napasnya yang tidak beraturan.
Begitu ia melongok ke lorong kelasnya, kakinya mendadak berhenti. Tubuhnya membeku, lensa Matanya melebar tak percaya setengah percaya, sementara otaknya seperti mati. Matanya berusaha memandang mentah-mentah pemandangan yang dilihatnya, dan dirinya berusaha mentah-mentah untuk menerima kenyataan. Sementara jiwanya berusaha menahan sisi gelapnya yang ia tahan selama beberapa tahun. Perasaannya hancur seperti gelas beling yang dilempar keras dari kenyataan, dan menyisakan remahan kesedihan.
Lalu, matanya menangkap seorang pria persik dengan seorang perempuan berambut pirang indah.
******************
#Note Author
hufftt, akhirnya chapter tiga selesai juga =w=
wokeh, ini sepertinya sudah mau masuk ke planning author, xixixixixi
seperti biasa Ostribae_ dan Callamelatte hehe, kritik sarannya ^_^
Dan juga, kali ini Giyuu dan Makomo keliatan OOC ya? kalau begitu mohon maaf, soalnya author susah buat stay in characternya.
Dan ini belum author revisi, jadi kalo readers menemukan kesalahan seperti typo dalam bentuk huruf, ejaan, dan tanda baca atau paragraf, bisa diberitahukan ^v^
Sekian, sampai bertemu di rumah haluan!
-Kana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top