𝓒𝓱𝓪𝓹𝓽𝓮𝓻 10 [End]
10 tahun kemudian
.
.
.
.
.
Sabito berjalan di sepinya taman--- mencari udara segar dikala ia sibuk dengan pekerjaannya. Tak apa kan, berkeliling sebentar? Toh, ia juga butuh meregangkan tubuhnya. Abaikan sejenak pikiran Giyuu yang akan mencarinya.
Sabito menghela napas. Lagi-lagi, homesick datang. Ia rindu dengan rumah, istri, dan anaknya. Pekerjaanlah yang menuntunnya ke kota seberang, beruntung Giyuu yang dulu berada di desa pindah kesini---Jadi ia bisa menginap dan berkunjung di rumahnya.
Soal Giyuu, tetiba ia teringat (Name). Bagaimana kabarnya? Terakhir Sabito dengar, (Name) merantau ke kota dimana Historia (yang Sabito ingat) sahabatnya, dan berkuliah satu tahun setelah Sabito pergi. Setelah itu, ia tak mendapat kabar apapun dari Makomo dan Giyuu--- karena (Name) memang jarang berkirim kabar.
Sabito menyenderkan tubuhnya di salah satu pohon yang ada di taman. Ia mengedarkan pandangannya ke taman tersebut. Taman itu sepi, dan hanya ada beberapa orang yang melintas. Wajar saja sih, lokasinya memang hampir tak terlihat di g*ogle m*ps.
Karena gabut, Sabito akhirnya memutuskan menghitung orang yang melintas di depan taman tersebut.
"1 ..."
10 menit kemudian
"2 ...."
15 menit kemudian
"3 ...."
30 menit kemudian
"4 ...."
Sabito memutar bola matanya malas. Benar saja, sedikit orang yang melintas di taman tersebut. Memangnya taman tersebut ada hantunya? Syukurlah kalau tidak.
Sabito menoleh ke kanan dan kirinya--- berharap menemukan satu atau dua tempat duduk. Ia sudah pegal berdiri.
Kanan, tidak ada.
Kiri, ada. Tetapi ada gadis yang duduk membaca buku disitu.
Sabito memicingkan matanya. Sebentar, sepertinya ia kenal dengan gadis itu. Rambut (h/c) .... sebentar, apakah itu (Name)?
Tepat saat itu, gadis tersebut menolehkan kepalanya ke arah Sabito. Dan betapa terkejutnya dua insan tersebut, saat memandang kedua matanya.
"(Name) ...?"
"Sabito ....?"
*********************
Kini keduanya berdiri berdampingan, dengan perasaan canggung. (Name) menunduk, melihat sepatunya sendiri-- dengan buku yang dipeluk. Sementara Sabito memalingkan pandangannya gugup. Suasana canggung menyelimuti mereka. Lama bertemu, membuat mereka lupa cara menyapa.
"Yo. Bagaimana kabarmu?" Sabito berusaha mengawali pembicaraan.
"Baik. Bagaimana denganmu?" (Name) menoleh kepadanya, sambil tersenyum. Membuat Sabito gugup.
"A-Aaa ... Baik juga, sih," balasnya sambil menggaruk tengkuknya.
"Kalau begitu baguslah."
Pembicaraan yang hambar. Sabito tak tahu harus dibawa ke mana arah pembicaraannya.
Meskipun mereka sudah berbaikan, Sabito dan (Name) tetap saja grogi ketika berdampingan--- belum lagi mereka lama tak bertemu.
"Bagaimana kabar Rika?"
Dor. Akhirnya muncul juga.
Sabito hampir tersedak ludahnya sendiri. Rika? (Name) dengan polosnya menanyakan hal itu. Sabito bergidik.
"Ba-Baik kok," balasnya.
"Kalau begitu, baguslah," balas (Name) sambil tersenyum, membuat Sabito membelakkan matanya. Bagaimana .... bisa ...
"Ngomong-ngomong, kalau tidak salah, selamat atas pernikahannya," ucap (Name) dengan santai dan tersenyum, berhasil membuat jantung Sabito salto.
Sabito mematung, masih tak percaya apa yang (Name) katakan. Bagaimana bisa, (Name) ....
"A-ah... Arigatou, oh ya—"
"Tak usah khawatir, aku sudah move on kok."
Jder. Inilah alasan Sabito sempat mengira (Name) cenayang.
(Name) dan Sabito kembali diam.
Pertemuan yang canggung, batin Sabito.
Sabito melirikkan matanya ke buku yang dipeluk (Name). Sampul coklat, serta tulisan besar yang tak begitu jelas karena tertutup lengan (Name). Dilihat dari kondisi bukunya, sepertinya buku itu sudah lama.
Sabito tersenyum. Sepertinya, kebiasaan membaca buku masih tak bisa lepas dari (Name).
"Kau masih suka membaca?"
(Name) tersentak.
"U-Um .... iya," jawab (Name) malu-malu.
Sabito tertawa gugup.
"S-Santai aja, gak usah gugup...," ucap Sabito. Walaupun dia yang bilang 'tidak usah gugup', ia sendiri juga gugup. (Name) hanya tersenyum menyahutinya.
"Kenapa kau tak berkirim kabar?"
Sabito menatap dalam mata (Name), sementara (Name) hanya diam.
"Kalau kau berkirim kabar, aku kan tidak perlu khawatir denganmu. Nyaris saja aku membuat Rika khawatir ...," ucap Sabito--- matanya berkaca-kaca. Sementara (Name) masih diam. Sesaat kemudian, ia tersenyum.
"Aku ganti nomor," balasnya polos.
"Kupikir, ketika mengganti nomor--- aku bisa melupakanmu, dan menyembuhkan luka. Ternyata berhasil, walaupun satu tahun dan tumpukan tugas kuliah gantinya," ucap (Name) polos, seolah-olah keadaan seperti itu sudah biasa.
Mendengar itu, Sabito terdiam sebentar. Kemudian, ia mengusap matanya dengan lengan, sembari tertawa.
"Ya ampun, kukira apa," ucapnya.
"Oh ya, soal itu juga, kenapa Giyuu juga tak berkirim kabar?"
"Giyuu ganti nomor dan HP, karena HP lamanya terjatuh di sungai yang airnya deras dan tak kembali lagi," (Name) tertawa, mengingat raut poker face Giyuu saat mengetahui harta karun pemberian kakaknya hilang diembat arus sungai.
Mendengar itu Sabito tak tahu harus tertawa apa turut berduka. Samar-samar ia terkekeh.
"Ngomong-ngomong, apa kau lulusan sastra dan bahasa?"
(Name) yang mendengar itu bingung.
"Bagaimana kau tahu?" tanyanya.
"Kau memegang buku, dan di tas yang kau pegang, sempat kuintip dan isinya ternyata buku juga. Jadi kukira, kau lulusan sastra dan bahasa," jelas Sabito.
(Name) terdiam sebentar, ia mengerjapkan matanya. Sesaat kemudian, ia tertawa sembari bertepuk tangan.
"Selamat, kau benar," balas (Name), masih tertawa.
"Dan .... bagaimana dengan sahabatmu, yang kaubilang sempat sekolah di asrama?"
"Maksudmu Historia?"
Sabito mengangguk.
"Iya."
(Name) mengarahkan matanya ke bawah, sembari tersenyum.
"Historia menjadi editor di penerbit besar. Dan terkadang aku juga mengunjunginya," balas (Name).
Sabito menganggukkan kepalanya.
Ia pun mengamati penampilan (Name), dan baru menyadari kalau rambut (h/c)-nya semakin rapi. Ia ingat sekali, dulu rambut (Name) sedikit berantakan, dengan beberapa potongan rambut yang tidak rata. Kini, potongan tersebut telah dirapikan, entah oleh (Name) sendiri atau yang lain.
Dan juga, mata (e/c)-nya juga sedikit besar. Bukannya aneh, malah itu membuat (Name) semakin cantik.
"Cantik."
"Ha?"
"Kau semakin cantik."
(Name) yang mendengar itu membelalakkan matanya, kemudian ia memegang pundak Sabito.
"Bodoh! Kalau kau mau berselingkuh lebih baik berpikir seribu kali dulu!" ucapnya sambil mencengkeram pundak Sabito.
"Haaa??! Memangnya siapa yang mau berselingkuh?!"
"Kaulah!!"
"Aish! Ada-ada saja!"
Sabito mengelus kepala perempuan tersebut, membuat semburat merah di pipi (Name). (Name) kemudian memegang tangan Sabito, berusaha melepaskan tangan lelaki tersebut dari kepalanya. Bukannya nurut, Sabito malah mengacak-acak rambut perempuan tersebut.
"Oii! Lepaskan!"
"Iya iya," Sabito melepaskan tangannya dari kepala (Name) sambil tertawa melihat tingkah (Name) yang menurutnya lucu.
Tak sengaja, matanya menangkap arloji yang ada di tangan kirinya, yang menunjukkan waktu setengah empat sore. Melihat itu, Sabito berjengit. Yabai, satu setengah jam lagi ia akan mengadakan pertemuan dengan bosnya, bersama Giyuu.
(Note: Giyuu dan Sabito satu perusahaan. Perusahaan mereka memiliki cabang di beberapa negara dan kota. Ditemukan ketika Sabito tersesat di kota rantauannya dan menabrak Giyuu)
"Yabai! Sebentar lagi aku akan mengadakan pertemuan dengan bosku!"
(Name) ikut terkejut.
"Eh? Benarkah?"
"Benar!"
Sabito menolehkan kepalanya pada (Name), dan menelan ludahnya. Sebenarnya, ia masih ingin bersama (Name), Tetapi, mengingat jarak ke kantornya yang begitu jauh, ia tak bisa berleha-leha. Sabito bukan tipe orang yang bermain dulu kerja terakhir, berkebalikan dengan (Name).
(Name) tersenyum, memaklumi keadaan Sabito.
"Pergilah. Pekerjaanmu lebih penting dibanding menghabiskan waktumu dengan mengobrol denganku," ucapnya.
Mendengar itu, Sabito mengelak.
"T-Tapi-"
"Janji kok, kita akan bertemu lagi, dan mengobrol bersama hingga waktu berhenti,
tanpa ada yang menganggunya," ucap (Name), sambil menyodorkan jari kelingkingnya.
Sabito terdiam sebentar. Ia kemudian menyodorkan jari kelingkingnya sambil tersenyum. Dan saat itulah, ketika jari kelingking mereka tertaut--- terikat juga sebuah janji yang takkan mereka lupakan.
"Sampai bertemu nanti, (Name)," ucap Sabito melambaikan tangannya, sambil buru-buru pergi-- meninggalkan (Name) yang melambaikan tangan padanya
"Oh ya, ngomong-ngomong...."
Sabito menoleh.
"Selamat ... Atas kelahiran putra pertamamu."
(Source:Pinterest)
Manik lavender Sabito melebar. Ia mematung di tempatnya, mulutnya kaku, terkejut atas perkataan (Name).
"(Name)....."
Air mata mengalir pelan di pipinya, membangkitkan kenangan masa lalu yang hampir terlupakan.
Mulut Sabito yang awalnya tak bergerak, perlahan mengulas senyuman lembut di wajahnya– senyuman yang (Name) rindukan. Ia memeluk (Name), membiarkan gadis tersebut menikmati hangatnya pelukan. Sesaat kemudian, ia melepaskan pelukannya, dan tersenyum ke (Name).
"Arigatou....
Kalau ada waktu, jangan lupa berkirim pesan ya?" ucapnya.
Mendengar itu, (Name) tersenyum lagi– ditemani daun-daun yang berguguran.
"Ha'i."
*************************
Sabito berjalan, sambil melihat-lihat pemandangan sekitarnya. Ia teringat, saat ia memeluk dan mengelus kepala (Name), ada perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan. Entahlah, ia tak tahu.
Sabito memicingkan mata, saat sosok yang sepertinya ia kenali mendekat. Dilihatnya Giyuu, yang tertatih-tatih menghampirinya.
"Sabito, kemana saja kau?" tanya Giyuu sambil membungkuk karena kelelahan.
"Habis dari taman doang kok," balas Sabito, sambil mengeluarkan air minum yang ada di saku yang dibelinya tadi, dan memberinya kepada Giyuu.
Giyuu segera merampas air minum tersebut dari tangan Sabito, dan buru-buru meminumnya.
Tak butuh waktu lama bagi Giyuu untuk memenuhi dahaganya. Ia terengah-engah, dengan botol air minum di tangannya.
"Ke tamannya kok lama amat," ucap Giyuu.
"Maap maap, tadi soalnya ketemu (Name), jadi kita ngobrol sebentar," balasnya.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau tidak mengabariku kalau (Name) ada disini? Kan aku bisa—"
BRUK!
Giyuu terjatuh berlutut, dengan mata yang melebar seolah tak percaya dengan cerita Sabito. Sabito yang sama-sama terkejut memapah Giyuu yang ambruk.
"O-oi! Kau kenapa?"
Giyuu masih tak menjawab. Ia mengenggam erat baju Sabito— membuat Sabito keheranan.
"O-oi! Jelas-"
"(Name) ..... sudah mati."
Sabito membelakkan matanya tak percaya.
"Hah?"
"(Name) sudah meninggal, satu bulan yang lalu– karena penyakit asma yang dideritanya," jelas Giyuu, dengan suara yang bergetar.
Sabito mematung di tempat. Ia membelalakkan matanya tak percaya, kakinya tak kuasa menahan bobot tubuhnya. Tubuhnya ambruk bersamaan dengan hatinya.
"Pantas saja, saat kupeluk....
Tubuhnya tak lagi terasa hangat. "
-End
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top