𝓒𝓱𝓪𝓹𝓽𝓮𝓻 6

"Kringgg-"

Pip!

"Yo."

"Yo gan. Kemana aja kamu?"

Sabito membuka jendela kamarnya, kemudian duduk di jendela tersebut. Satu kakinya ia naikkan, dan sebelah tangannya ia taruh di kaki yang ia naikkan. Bibirnya berbicara, selagi matanya menatap indahnya senja.

"Biasalah, kerja Bersihin rumah," balas Giyuu di seberang telepon.

"Ngomong-ngomong, bukumu lancar kan? Katanya mau kolaborasi sama (Name)," ucap Sabito mengingat Giyuu ingin mengajak (Name) menulis juga.

"Iya sih, cuma, dia lagi sibuk. Biasalah."

"Oh."

Mereka terdiam. Sementara Giyuu di seberang telepon sedang menjedorkan kepalanya ke tembok, mengingat tujuannya menelepon Sabito.

"Giyuu."

"Kenapa?"

"Bagaimana kabar (Name)?"

Giyuu terdiam mendengar pertanyaan Sabito. Memang sih, Sabito sering menanyakan kabar (Name), tapi, kali ini, nadanya berbeda. Nadanya terdengar sendu.

Giyuu menghela napas, tak tahu harus menjawab apa. Ibarat serba salah, setiap jawaban ada resiko dan untungnya sendiri.

"Baik. Ia baik-baik saja. Ia pergi Shift seperti biasanya," ucap Giyuu berbohong.

Iyalah bohong, (Name) saja tak bisa tidur karena memikirkan Sabito terus. Anak itu jika sudah bucin maka bucin nya akan mengalahi kebucinan Romeo and Juliet.

"Bohong. Aku tahu kau berbohong kok."

Yak, sudah Giyuu duga. Giyuu memang tak bisa berbohong dari insting Sabito. Cuma satu yang bisa mengelabui Sabito, yaitu sikap 'pura-pura baik-baik' nya  (Name).

Giyuu menghela napas.

"Yah, ternyata aku kalah," ucap Giyuu. Sementara Sabito terkekeh di seberang telepon.

"Bagaimana kau tahu aku berbohong?"

"Nada bicaramu. Selanjutnya biar kau Instrospeksi sendiri, supaya akting berbohong mu makin meningkat," ucap Sabito. Sementara Giyuu hanya terkekeh.

"Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada (Name)?"

Nada bicara Sabito yang semakin serius membuat Giyuu menelan ludah. Yah, mungkin satu-satunya jalan adalah menceritakan yang sebenarnya, agar yang bersangkutan memahami perasaan (Name) yang sebenarnya.

"Ia ..... sedang tidak baik-baik saja," suara Giyuu tertahan.

"Iya aku tahu. Apa yang terjadi padanya?"

Giyuu menelan ludah, dan mengepalkan tangannya. Sejenak ia mengambil napas, agar ia bisa rileks saat menjelaskan semuanya pada Sabito.

"Ia ....... mencintaimu."

************************
"Kau sudah bekerja keras, (Name)-san," ucap seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan toko.

"Tidak Bu, sudah menjadi keinginan saya untuk bekerja disini," balas (Name) dengan sopan sambil membungkuk.

"Sudah sudah, tak perlu membungkuk seperti itu. Kita ini sama-sama manusia, tak perlu membungkuk seperti itu," ucap Wanita tua tersebut sambil tertawa kecil. Sementara (Name) hanya tersenyum sopan.

"Sedari dulu, orangtua saya selalu mengajarkan tata krama yang baik. Jika saya tidak berlaku sopan, maka saya akan dimarahi," ucap (Name) mengingat masa kecilnya dulu.

"Begitu ya ..... " Wanita tersebut melingkarkan tangannya di dagunya.

"Yah, anggap saja aku ini Nenekmu. Kau tak perlu membungkuk, cukup dengan salam saja. Jika kau ada kesulitan, kau bisa meminta bantuanku. Deal?" Wanita tersebut menunjukkan kelingkingnya.

(Name) mengangguk.

"Baik, Nek Yoshikawa," balas (Name) sambil menautkan jari kelingkingnya dengan kelingking Nek Yoshikawa.

"Kalau begitu, saya pamit Dulu. Saudara saya pasti sudah menunggu saya di rumah," ucap (Name) sopan, sambil menaiki sepedanya.

"Baik! Tapi, tolong terima ini," Nek Yoshikawa menyerahkan sebuah buku yang tak terlalu tebal dengan sampul coklat kayu. (Name) menerimanya, sembari membolak-balikkan buku tersebut.

"Ini?"

"Itu adalah buku yang awalnya Nenek ingin memberikannya pada anakku, tetapi ia menolaknya. Karena itu, Nenek ingin memberikannya padamu, karena Nenek yakin buku itu sudah tidak Nenek baca."

(Name) mengangguk mendengar penjelasan Yoshikawa.

"Kenapa Nenek tidak membacanya kembali?" Tanya (Name) antusias.

"Karena Nenek sudah membaca dan menghapal isinya. Buku itu sangat bagus. Cerita seorang anak Muda yang jatuh cinta dengan kucing. Nenek tahu jika kamu bisa membaca buku dengan cepat, jadi Nenek ingin kamu membacanya juga," jelas Yoshikawa panjang lebar, sementara (Name) hanya menggangguk mendengar penjelasannya.

Anak muda yang jatuh cinta dengan kucing? Hm, sepertinya menarik. Jatuh cinta dengan yang bukan manusia.

"Ah, maaf membuatmu menunggu lama! Kalau begitu, hati-hati ya! Jangan lupa melihat kembang api sekitar sini," ucap Yoshikawa.

"Baik. Kalau begitu, saya pamit dulu."

"Ya! Berhati-hati lah, (Name)~!" Nenek Yoshikawa melambaikan tangannya, memandangi punggung (Name) yang semakin menjauh.

Nenek Yoshikawa, 62 tahun, pemilik toko buku Yoshikawa– tempat (Name) bekerja selama ia pindah kesini. Suaminya meninggal ketika Ia berusia 50 tahun, dan anak satu-satunya meninggalkannya sendiri di desa ini, dan pergi entah ke mana. Karena kecintaannya terhadap buku, Nek Yoshikawa mendirikan toko buku dengan nama marganya sendiri, Yoshikawa. (Name) tak pernah mengetahui nama kecilnya. Toh, lagipula ia juga tak tertarik dengan urusan privasi seseorang.

Kenapa jadi out of topik sih?

(Name) menggowes sepedanya tak begitu kencang. Dirinya masih sempat untuk melihat sekelilingnya. Anak-anak yang menggandeng orangtuanya, sejoli yang sedang bergandengan tangan, Ibu yang sedang menggendong anaknya, dan Kakek yang sedang menggendong cucunya. (Name) mengamati semua itu, yang akhirnya menyadari, bahwa desa tempat tinggalnya indah. Seperti tempat yang (Name) idam-idamkan selama ini. Suasana yang tenang, tanpa perdebatan politik dan agama dan gosip artis yang tidak menarik. Rasanya, (Name) takkan tega meninggalkan tempat ini. Tetapi, ia masih punya keluarga yang menetap di kota sana, dan ia tahu ia harus pulang ke tempat keluarganya berada. Haahh, (Name) bersumpah akan mengunjungi kembali tempat ini sebelum mati.

(Name) sampai di jembatan favoritnya. Jembatan yang menjadi tempat nongkrong favorit (Name), dan lebih cocok dipadu dengan senja. Ia menuruni sepeda, dan menyenderkan sepedanya di bahu jembatan--- sementara dirinya menaiki bahu jembatan, dan duduk. Angin berhembus pelan, menerpa punggung (Name) dan menerbangkan rambutnya. Ia mengeluarkan buku yang dikasih oleh Nek Yoshikawa, dan mulai membukanya-- berniat ingin membaca sinopsisnya.

Shame, seorang remaja penyakitan yang mencintai kucingnya yang bernama Lula. Memang, tumbuh dalam orangtua yang sibuk bekerja dan kurangnya perhatian membuat Shame kesepian, ditambah dirinya terbaring lemah dalam ranjang rumah sakit.

Hanya kucingnya, Lula, yang setia menemaninya dikala sakit. Tingkah lucunya selalu berhasil menghibur Shame.

Namun, kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Shame didiagnosis takkan hidup lama, karena penyakitnya tersebut. Shame, yang menyadari bahwa waktu hidupnya tinggal sedikit, mulai berusaha mencari makna kehidupan dan mencoba hal yang dia inginkan. Bersama Lula, ia mulai selangkah demi selangkah ..... hingga ia menemukan puncaknya.

Sungguh sinopsis yang bagus. (Name) berfirasat bahwa buku ini bagus dibaca, jadi, tanpa basa-basi, ia membuka lembarannya, dan membaca hingga lembaran berikutnya. Dirinya mulai menikmati rangkaian kata-kata indah yang ditulis sang penulis. (Name) semakin menikmatinya, hingga ia terus membaca lembaran demi lembaran buku tersebut, lupa akan air sungai yang akan memangsanya jika ia jatuh.

Kala itu, seorang gadis, duduk di jembatan yang berbalut senja. Dirinya membaca buku yang diberikan Nenek tua, dan buku tersebut mulai menggiringnya masuk ke dunia imajinasi– menyelami petualangan Shame dengan kucingnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

Yatta nee, akhirnya kelar juga

Gile, kana bikinnya satu harian langsung jadi

Ngomong ngomong, kana gak pinter bikin sinopsis singkat novel, jadi kritik sarannya kakak 🙏🏼

Btw, ada hal yang membingungkan gak?

Soalnya kana dah kode-kode. Kana harap readers mengerti kodenya

Kalo gak ngerti, tanya aja di kolom komentar. Akan kana usahakan jawab.

-Kana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top