3

Seharusnya Felix tidak datang terlalu—cepat.

Dan mungkin seharusnya Felix tidak cepat-cepat mengiyakan ajakan untuk bertemu dengan pemuda asing yang baru dikenal—oke, oke, namanya Changbin, tetapi ia dan Changbin baru kenal selama beberapa hari. Ujung sepatunya diketuk-ketukkan di aspal sementara tangannya menurunkan hoodie. Udara pagi sudah mulai menghangat, biarpun belum cukup hangat untuk membuat Felix melepas jaketnya. Masih sepi, namanya juga minggu pagi. Matanya menatap gerbang kampus, menatap lambang dan nama universitas yang berkilat-kilat diterpa matahari pagi. Masih sepi tapi sudah berapa lama Felix menunggu? Setengah jam?

Dan Changbin belum kunjung datang.

Mungkin seharusnya Felix tidak usah serius menanggapi ajakan Changbin. Mereka juga baru saling mengena. Mungkin saja Changbin lupa akan janji mereka—lagipula siapa juga Felix? Mungkin saja Changbin main-main. Pemikiran itu membuat sang pemuda menggigit bibir bawahnya. Seharusnya ia tidak segampang itu percaya pada orang yang baru dikenal. Seharusnya—

"Udah lama?"

Sampai suara serak membuat Felix tersadar dari lamunannya. Ia terperangah. Changbin sungguhan datang, dengan beda sepeda yang ia kendarai alih-alih motor. Tubuhnya masih terbalut jaket fakultas. Rambutnya kali ini dibiarkan bebas tanpa kungkungan helm, masih agak basah, apa Changbin baru mandi? Mata Felix mengerjap, masih tidak percaya jika Changbin sungguhan datang. Ini bukan ilusi karena kabut pagi hari, kan?

"... Kak Changbin beneran dateng?"

Mendengar pertanyaan itu membuat tawa Changbin berderai, "Iyalah. Kan aku yang ajak." Tangannya kemudian menepuk-nepuk jok belakang sepeda. "Maaf lama, aku tadi cari sepedaku dulu. Pagi-pagi gini lebih asyik naik sepeda. Yuk, naik." Felix mengangguk antusias, tentu saja.

Rasanya seperti mengulang pertemuan mereka dengan beda kendaraan yaitu sebuah sepeda. Felix di belakang. Changbin di depan memboncengnya. Sudut bibir pemuda itu menyunggingkan senyum timpang saat menatap Felix sebelum mulai mengayuh, berkata, "Pegangan yang erat." Kedua tangan Felix kembali menggenggam jaket Changbin, seperti sebelumnya. Seperti seharusnya.

Pagi itu mereka habiskan dengan berkeliling kampus. Changbin memperkenalkan Felix pada jalanan, pada gedung-gedung penting dan tempat-tempat makan enak. Felix diam dan berusaha menyimak (dan ia terperangah saat tahu seberapa luas tempat kuliahnya ini—bahkan di belakang-belakang, di sudut-sudut terpencil masih ada hutan!), sekalipun suara serak Changbin membuatnya sulit berkonsentrasi. Dari obrolan mereka Felix tahu bahwa Changbin masih tinggal bersama orang tuanya. Kontras dengan Felix yang merantau dan tinggal di apartemen (sementara Seungmin, pemuda itu beruntung, beasiswanya membuatnya punya hak untuk tinggal di rusun mahasiswa). Changbin memang suka bersepeda (karena rasanya klasik dan sekalian olahraga, Felix mengangguk mengerti), jiwanya jiwa petualang. Dan orangnya hangat, sehangat punggung yang Felix kagumi sejak tadi. Matanya berpindah pada rambut legam Changbin yang dipermainkan angin pagi, jantung Felix berdesir.

Ia tidak tahu jika seseorang yang tengah bersepeda di pagi hari dapat terlihat seindah ini.

Tetapi di mata Felix, Changbin memang indah. Wajah Changbin memang tidak ikut definisi 'indah' menurut media, tetapi pemuda itu indah dengan caranya sendiri. Sejak awal bertemu, sejak detik pertama, Changbin selalu mampu membuat jantungnya berdetak tak ritmik. Felix memilih mengulum semua tanyanya dan merapatkan tubuhnya pada Changbin. Tangannya yang semula menggenggam jaket Changbin kemudian setengah memeluk tubuhnya, nyaman akan angin pagi yang membelai-belai poninya.

Felix tidak tahu jika di depan sana, Changbin tak berhenti tersenyum.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top