• tebak kata •
Senja belum menghalangi penglihatan Peter, begitu pula dengan dua gadis di sisi kiri-kanannya. Mereka melakukan hal yang sama, mendorong sepeda yang sebenarnya tak berat-berat amat. Namun, rasanya seperti berkali-kali lipat lebih melelahkan karena harus melewati jembatan dan tanjakan yang menyusahkan. Bebatuan terjal kadang membuat rodanya menyangkut dan mereka pun kompak tersentak. Detik berikutnya hanya helaan napas panjang yang keluar.
Sejak dari rumah pohon, gelagat Winnie terlihat asing. Peter menyadari itu, tetapi ia tidak memiliki keberanian untuk bertanya. Sungguh bukan dirinya, memang, hanya saja ia merasa gadis itu tengah bergelut dengan batinnya sendiri, lagi. Bukan hal aneh untuk orang-orang yang mempertanyakan eksistensi diri sepertinya, itulah mengapa Peter berusaha memberi privasi--dengan tidak ikut campur dulu. Lelaki itu hanya sesekali melirik Tere yang juga kerap mencuri pandang. Keduanya sama-sama kurang nyaman dengan hening yang menyerang.
Perjalanan ke rumah singgah terasa lebih lama dari biasanya, padahal seharusnya waktu pulang tidaklah menyiksa. Tetap diam dan hanya berjalan nyatanya justru lebih menyita energi. Peter mengembuskan napas panjang saat Winnie menatap kosong ke bagian setir. Nyawa gadis itu seakan digadai dan menyisakan raga yang kehilangan kendali. Peter ingin beralih mendekatinya--berhubung mereka berseberangan dan ia didekat Tere sejak tadi, tetapi kakinya terhenti tanpa diminta.
"Re-Re …."
Nyeri yang sudah jelas datang dari lubang jantung Peter lantas menjalar dan menghentikan seluruh aktivitas tubuhnya. Kaku, lemas, linu, atau apalah itu telah menguasai Peter hingga ia lupa cara bernapas. Hal yang ia pikirkan hanya bagaimana sensasi menusuk di dada lekas sirna dan membebaskannya dari sakit yang bertubi-tubi. Namun, sekuat apa pun ia mencengkeram kemejanya, ia tetap kalah dan berakhir menyentuh tanah.
"Peter!"
Tere spontan menahan tubuh yang hampir menimpanya. Sepeda yang semula dipegang bertiga langsung terkapar karena Winnie pun ternganga dan menutup mulut. Peter tiba-tiba memucat, berkeringat dingin dan mengernyit tak karuan. Ia bahkan memukul-mukul tanah di sampingnya guna mengalihkan rasa sakit. Namun, yang ada hanya lemaslah yang kian berjaya dan berusaha meraih kesadarannya.
"Obat di tas!" Tere menatap Winnie tajam. "Cepat!"
"I-iya."
Pikiran Peter tak jernih. Pandangannya pun berbayang. Samar-samar ia melihat kepanikan Winnie saat mencari botol putih seukuran kepalan tangan yang selalu dibawa Tere ke mana-mana. Ia yang sakit, tetapi sahabatnya itu jauh lebih siap sedia. Bukan tak sayang diri sendiri, ia pun membawanya, hanya saja Tere senantiasa berjaga-jaga.
"Ini, minum. Pelan-pelan."
Tere menyuapkan beberapa pil yang didorong menggunakan sisa air dari bekal mereka. Winnie yang ikut khawatir lantas menggenggam tangan Peter dan menguatkan lelaki itu. Hangat yang menjalar tentu terasa, tetapi Peter masih berkelahi dengan tubuhnya sendiri sehingga mengabaikannya.
"Pete, atur napasmu."
Terus-menerus, Tere menepuk dada Peter pelan dan mengusap-usapnya. Ia juga menggumamkan lullaby agar sahabatnya tenang. Gadis itu baru berhenti saat berat yang disangga mulai ringan kembali. Tubuh Peter tak lagi gemetaran dan apa yang ia lihat kembali berwarna--bukan hitam kehijauan seperti sebelumnya. Ia lekas melepas genggaman Winnie dan memeluk Tere yang memangkunya sedari tadi.
"Aku takut."
"Kamu nggak apa-apa. Udah, ya. Nanti malah kambuh lagi."
Peter makin mengeratkan pelukannya. Ia menenggelamkan wajah ke bahu Tere, sejenak melupakan keberadaan Winnie yang terpaku di sampingnya. Gadis itu masih menatap telapak tangan yang kosong setelah dihempas tiba-tiba.
"Jangan mikir macam-macam, please," ucap Tere saat Peter masih terdiam.
Mustahil untuk tidak berpikir ke mana-mana. Lagi-lagi ia sedekat itu dengan kematian. Tanpa kesiapan apa-apa, bagaimana bisa ia bersantai saja? Peter terus mendengkus dan mengusap wajah, mengulang kata 'hampir saja' yang diiringi ucapan syukur. Tuhan masih berbaik hati mengirim dua malaikat cantik yang berkolaborasi menyelamatkannya hari ini.
"Istirahat dulu, ya. Belum gelap-gelap amat, kok. Lagian, aku tadi bawa senter."
"I-iya, istirahat aja." Winnie ikut bersuara, meski tak berani menatap mata Peter.
"Maaf, jadi ngerepotin."
"Udah biasa. Jadi--"
"Kak Tere!"
Tak hanya pemilik nama, Peter dan Winnie ikut menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Dari kejauhan, tampak dua bocah berlari dengan napas terengah-engah. Mereka berhenti tepat di dekat Winnie tanpa mengucapkan apa pun--masih sibuk menetralkan degup jantung. Salah satu di antara mereka lekas menegapkan tubuh dan menunjuk ke arah rumah singgah.
"Si Dua pingsan lagi, Kak."
Peter dan Tere saling pandang, sedangkan Winnie berkedip bingung, seperti biasa. Bocah yang terlihat begitu panik itu tidak mungkin mempermainkan mereka.
"Kalau gitu aku pulang dulu. Kamu santai sama Winnie di sini. Kalau udah baikan, baru boleh nyusul."
"Nggak apa-apa?"
Tere mengangguk, lalu menatap Winnie. "Titip, ya. Aku percaya sama kamu."
"Aku bukan barang." Peter memutar bola matanya.
"Aku tau itu."
🌼
Winnie ingin menikmati waktu berduanya dengan Peter. Namun, apa yang ia lihat dan rasa tidaklah senada. Sesekali ia hanya melirik dan kembali mengeratkan pegangan pada setir, lalu mendorong sepeda Peter agar berhasil melewati bebatuan sedang.
Setelag perginya Tere, ia berpikir bisa menanyakan segala hal. Tidak hanya tentang rumah pohon atau jauh sebelum itu, tetapi yang terjadi beberapa saat tadi pun termasuk. Hanya saja raut wajah Peter seperti kehilangan sepertiga dayanya dan ia tidak tega.
"Nggak capek, Win?"
"Hem?" Winnie tersentak dan memalingkan muka.
"Aku sadar kalau dari tadi kamu nyuri-nyuri pandang."
"Pede banget."
Peter tertawa kecil. "Jujur aja."
Winnie menelan ludah. Ia telah diberi jalan. Haruskah melewatinya seolah tidak ada halangan? Atau menunggu saja hingga pintu itu dibuka untuk umum? Ia berdecak dan mendengkus, lagi. Rasanya cukup lelah menghadapi hari ini.
"Apa yang kamu pikirkan, Win?"
"Coba tebak!"
"Aku kurang pintar masalah ginian."
"Terus pinternya tentang apa?"
Peter mendongak dan mengamati pepohonan. "Entahlah, pintar mencari tempat tersembunyi mungkin."
"Kuakui itu."
"Aku senang mendengarnya."
Winnie tak lagi menanggapi. Ia cukup menunduk dan menyembunyikan rona wajahnya yang sudah berubah warna. Peter berusaha melihat dengan terus mendekat dan mengintip dari bawah mukanya, tetapi Winnie terus menutup menggunakan lengan kiri dan mendorong Peter agar menjauh.
"Apa, Win?"
"Iya, iya. Aku ngomong." Winnie menghentikan langkah. "Boleh nanya, kan?"
"Tentu."
"Em, hubunganmu sama Tere itu apa, Pete?"
"Tere?"
Winnie mengangguk.
"Sama aku?"
Lagi-lagi Winnie mengangguk.
"Kami sahabatan dari kecil."
"Cuma itu?"
Peter menautkan alisnya. "Iya, emang kenapa? Ada yang aneh?"
"Sangat aneh."
"Maksudnya?"
"Teman macam apa yang tinggal berdua, ke mana-mana juga berdua, bahkan saling melindungi satu sama lain? Aku nggak buta, Pete. Apa yang kulihat tadi nggak bisa dikatakan 'cuma teman'."
"Emang apa yang kamu lihat?"
"Ya, itu tadi."
"Tadi apa?" Peter terus berkilah.
"Ck, sudahlah. Lupakan."
Winnie melanjutkan perjalanannya dan meninggalkan Peter yang bertanya-tanya. Lelaki itu lekas mengejar dan berhenti di depan sepeda agar Winnie tak dapat berkutik. Mereka lantas bertukar pandang cukup lama hingga akhirnya Winnie melepas pegangannya pada sepeda dan bersedekap.
"Jadi, gimana? Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu?" Peter memiringkan kepalanya gemas. Winnie hampir gagal fokus.
"Aku cuma penasaran. Nggak lebih."
Peter tersenyum dan mengusap rambut Winnie. Ia juga merapikan jepit rambut yang sedikit turun--mengenai daun telinga. Winnie refleks melirik perlakuan itu dan menelan ludah. Gemuruh di perutnya makin menjadi-jadi.
"Aku mengenal Tere sejak kecil. Kami bersahabat sampai sekarang. Dia perhatian ke aku, begitu pun sebaliknya, ya, karena kami hanya punya satu sama lain."
Winnie menggigit bibir. "Terus aku apa?"
Peter terdiam. Ia tampak bingung dengan perubahan sikap Winnie.
"Aku ini apa, Pete? Kamu membawaku ke sini untuk apa? Mempertahankanku di sini atas dasar apa? Nggak mau melepaskanku dari sini karena apa? Apa aku juga sama dengan Tere?"
"Win--"
"Apa aku juga 'cuma teman'?"
"Aku tentu punya alasan."
"Apa?" Mata Winnie mulai berkaca-kaca. "Apa kamu melakukan ini karena menyukaiku?"
Peter menunduk, meraih tangan Winnie dan menggenggamnya erat. Ia menatap mata gadis itu lekat, lalu mendekatkan wajah hingga hidung mereka pun bersentuhan.
"Aku akan menjawabnya besok, di tempat yang tepat."
🌻🌻🌻
~ to be continued ~
DAY 17
21 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top