• selimut tipis •
Winnie tersentak saat Peter tiba-tiba mendorongnya hingga terjatuh di semak-semak. Lelaki itu terus memintanya untuk bersembunyi dan menutup mulut. Awalnya, ia pikir Peter akan ikut serta dan mereka akan berbagi belukar sebagai benteng pertahanan. Namun, sosok yang kini berjalan beberapa langkah ke depan itu hanya mengisyaratkan agar ia tetap diam di tempat tanpa banyak bertanya.
Samar-samar, lewat bayangan yang tak seberapa tampak karena gelapnya, lelaki paruh baya bertubuh tambun menghampiri Peter dengan senter dan benda serupa arit di masing-masing tangannya. Winnie pun menelan ludah dan menggigit bibir, terlebih saat Peter hanya cengar-cengir dan menyapa ramah. Besar hasratnya untuk mendekat, tetapi ditahan sedemikian rupa setelah mengingat bisikan Peter.
Hilanglah sebentar.
"Kamu sedang apa, Pete?"
Peter sedikit membungkuk dan menggaruk tengkuk, lalu menjawab dengan nada riang, "Aku terlalu lama bermain di danau, Paman. Lihat!"
Winnie ikut melongok saat Peter menunjukkan keranjang sepeda yang berisi kantong pakaian basah. Namun, detik berikutnya ia lekas menutup mulut dan terpaku ketika pergerakannya menimbulkan suara gesekan. Peter dan lelaki bertampang menyebalkan itu sontak menoleh dan memeriksa. Winnie lantas berdoa berulang kali, berharap kelakuannya tidak menyusahkan orang lain.
"Sendirian?"
"Iya, Paman. Tere sibuk mengurus anak-anak. Aku tadi ketiduran, jadi kemalaman. Kalau Paman ngapain ke sini?"
Lelaki yang tangannya dipenuhi barang itu berbalik badan, memperlihatkan tas dari bambu yang berisi sesuatu--entah apa. Winnie hanya mendengkus dan mengira-ngira, kapan mereka akan berpisah sehingga ia bisa terlepas dari dedaunan yang menggelitik. Sayang, agaknya Peter tampak menikmati pemandangan di depannya, sampai lupa kalau gadis manis seperti Winnie bisa lenyap gara-gara dikerubungi serangga kecil di sekitarnya.
"Paman masih mau berburu?"
"Nggak. Ini udah cukup. Cepat pulang dan jangan membuat masalah!"
"Ba-baik. Paman duluan aja, aku baru sadar ada yang tertinggal di danau."
"Ambil besok pagi aja."
"Capek kalau harus bolak-balik ke sini dalam waktu dekat, Paman."
"Terserah."
Kali ini Winnie benar-benar memberanikan diri untuk keluar dari semak yang melindunginya--sebatas kepala. Ia memanggil Peter lirih saat cahaya dari senter si Paman tadi telah menjauh dan dipastikan tak akan menyadari keberadaannya. Namun, belum ada pergerakan sama sekali dari Peter. Winnie pun kesal kemudian sedikit berteriak.
"Peter!"
Sang empunya nama itu berbalik dan membelalakkan mata. Ia meletakkan jari telunjuknya di dekat bibir dan mengucap, "Winnie!"
"Kenapa? Dia udah pergi jauh, kan?"
Peter menjatuhkan sepedanya dan menghampiri Winnie dengan mengentak-entak kecil. Kedua tangannya berada di pinggang dan bibirnya mengerucut gemas. Winnie hampir tertawa saat wajah mereka kian berdekatan karena semula tidak begitu terlihat jelas--efek satu-satunya senter yang tak begitu membantu.
"Pelankan suaramu. Nanti kalau ketauan gimana?"
"Iya, iya." Winnie menurunkan volumenya lalu bersedekap. "Emang tadi siapa?"
"Nanti aja ceritanya. Sekarang, ayo pulang. Aku takut Paman Hans kemari lagi."
"Emangnya kenapa? Aku nggak boleh ke sini?"
"Simpan pertanyaanmu untuk nanti, Win."
"Jadi beneran? Terus kenapa kamu ngajak aku ke sini?"
"Sssttt, Winnie!"
Peter sontak menutup mulut Winnie menggunakan tangan kanannya, sedangkan telunjuk kirinya belum berpindah dari depan mulut. Ia lantas mengedarkan pandangan dengan kening yang masih berkerut. Winnie pun mendengkus dan memutar bola matanya. Ia lelah bermain petak umpet yang tak jelas siapa pencarinya. Tampang kalang kabut Peter makin membuatnya curiga bahwa ia tidak seharusnya menikmati penyembuhan diri ini.
Setelah hening beberapa saat dan dipastikan hanya mereka berdua yang berbagi cahaya di tengah hutan, Peter melepaskan Winnie. Ia segera kembali menuju sepeda yang teronggok dan melanjutkan perjalanan. Winnie yang tertinggal di belakang lekas menyusul dengan langkah tergopoh-gopoh.
"Kamu masih utang penjelasan padaku, Pete."
"Aku akan membayarnya nanti."
"Kapan?"
"Kalau udah di rumah."
"Kenapa nggak sekarang aja? Daripada kita diem di sepanjang jalan."
Peter menoleh dan menatap Winnie lekat. Hal itu membuat Winnie memicingkan mata guna memastikan sesuatu. Ia pun berhenti dan menarik tangan lelaki di sampingnya, menelusuri raut wajah yang biasanya dipenuhi keceriaan dengan modal cahaya seadanya. Benar saja, Peter terlihat berbeda. Makin sayu, makin pucat, dan sepertinya makin berkeringat juga. Winnie berdecak dan menepuk jidat.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Aku oke." Peter tersenyum tipis. "Cuma aku nggak bisa cerita sekarang. Itu sama aja buang energi tiga kali lipat. Jalan sambil dorong sepeda udah cukup, Win."
"Sori," Winnie menunduk merasa bersalah, "kalau gitu biar aku aja yang bawa sepedanya."
Peter menuruti kemauan Winnie tanpa adu mulut lagi. Mungkin tidak aneh, tetapi aneh juga. Tidak biasanya lelaki itu membiarkan Winnie mengambil alih tugasnya. Entah, Winnie kurang tahu pasti. Ia hanya memiringkan kepala dan membenahi rambutnya ke belakang telinga.
"Setelah belokan ini kita ke ma--" Belum sampai menoleh, Winnie dikejutkan dengan bunyi gedebuk di belakangnya. "Peter!"
Lagi, sepeda tak berdosa dijatuhkan tanpa pikir. Kali ini cukup keras hingga senter di dalam keranjang bisa keluar dan membentur bebatuan. Winnie buru-buru mendekati sosok yang tiba-tiba terbaring dan tak berkutik. Mata lelaki itu tertutup rapat, sedangkan napasnya berderu cepat seolah tengah lari bermaraton.
"Pete! Kamu kenapa? Jangan bercanda, please! Aku takut."
Winnie memindahkan kepala Peter ke pangkuannya. Ia terus mengusap pipi lelaki itu, berupaya menyadarkan. Hawa dingin dan lembap langsung menyengat, membuatnya makin linglung dan ketar-ketir. Gelap, sepi, asing, harus kepada siapa ia meminta tolong? Berteriak pun tidak bisa, ia takut mengundang orang yang tidak diinginkan.
"Pete, bangun, dong!"
Tanpa terbendung, air mata Winnie menetes. Ia lekas memeluk Peter, memberikan kehangatan di tengah semilir angin malam. Berulang kali ia celingak-celinguk layaknya orang bodoh. Ia sadar bahwa menanti sama sekali tidak berarti di sini, tetapi pagi masih lama dan dekapannya saja tak akan mampu menyelimuti Peter.
"Peter! Kamu di mana?"
Suara tak asing yang menggelegar dari kejauhan membuat Winnie buru-buru menghapus tangisnya. Ia lekas melambaikan tangan dan memanggil, "Tere!"
Gadis berpakaian serba-hijau itu berlari tanpa menjawab panggilan, berganti memanggil Winnie pun tidak. Ia lekas berjongkok dan memegangi tubuh Peter, seakan mengecek keadaannya dari atas hingga bawah.
"Dia tiba-tiba pingsan," terang Winnie panik.
"Nggak apa-apa. Ini biasa. Dia cuma kecapekan. Kamu nggak perlu khawatir." Tere mengeluarkan selimut tipis dari kantong yang ia bawa dan memakaikannya pada Peter. "Permisi, ya."
"O-oke."
Tere langsung membawa tubuh Peter ke punggungnya. Ia menggendong sahabat kecilnya seolah berat badan yang ditanggung tidak seberapa. Ia juga lekas mengajak Winnie untuk pulang dan memintanya mendorong sepeda sampai rumah, mengingat membawa Peter saja sudah kesusahan.
"Makasih, ya, Re. Aku nggak tau harus gimana kalau kamu nggak nyari ke sini." Winnie belum berani menatap mata gadis yang terengah-engah di sampingnya.
Tere tersenyum dan mengangguk. "Udah tugasku. Lagi pula, Peter emang berpesan buat jemput kalian kalau selepas senja belum ada kabar. Aku sedikit terlambat karena urusannya lumayan banyak. Maaf, ya."
Winnie menggeleng. "Nggak apa-apa. Kamu datang aja, aku udah senang."
"Kalian tadi ngapain aja?"
"Eh? Nggak ngapa-ngapain. Cuma main perahu dan berenang sebentar."
"Berenang?"
"I-iya," jawab Winnie terbata karena nada bicara Tere meninggi.
"Dasar anak nakal." Tere bergumam, tetapi masih terdengar. "Gimana perasaanmu hari ini?"
Winnie menautkan alis dan menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"
"Iya."
Kenapa kamu menanyakannya, Tere? Winnie menggeleng dan mengusir keinginannya yang kurang tepat waktu. "Tentu senang."
Suasana canggung pun muncul. Mereka memang belum terbiasa menikmati sunyi tanpa huru-hara Peter. Maka saat suara jangkrik terlalu mengusik dan memusingkan kepala, Winnie mencoba membuka suara.
"Em--"
"Em--"
Bersamaan, Winnie lekas mempersilakan Tere untuk berbicara lebih dulu. "Ada apa?"
"Nggak apa-apa, aku cuma mau berpesan aja."
"Hem? Apa?"
"Meski kamu menyukainya, aku harap kamu nggak terjebak di dunia fana ini."
Winnie menelan ludah dan menghentikan langkahnya saat Tere berucap demikian. Ia belum paham. Kalimat itu belum tercerna. Namun, yang pasti, jantungnya berdegup cepat dan tangannya mulai gemetaran.
Apa ia kembali tidak diterima di sini?
🌻🌻🌻
~ to be continued ~
DAY 11
16 April 2022
(doyan utang)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top