• rumah pohon •
Winnie memainkan renda dress-nya sambil menatap ke bawah. Setelah terdiam di jembatan hingga rintik hujan menjaili bumi, mereka berteduh di rumah pohon yang tak seberapa tinggi dan mudah dipanjat--juga cukup dekat dari sana. Kata Peter, hunian itu sudah ada sejak kali pertama ia menemukannya. Entah kapan dibangun dan siapa pembangunnya, tidak ada yang tahu. Setidaknya, mereka bisa terhindar dari air yang datang berbondong-bondong, meski kedatangannya hanya singgah sebentar lalu pergi lagi.
Dibanding menyambut terik matahari di atas kepala, Winnie bertahan di rumah pohon sendirian. Toh, ia masih mendengar percakapan Tere dan Peter karena jarak mereka tidaklah jauh. Sungguh, ia tak berniat menguping atau ingin tahu. Namun, ia tidak dapat menahan diri untuk memperhatikan permainan klasik dua sahabat kecil itu.
Senyum Peter tidak pernah luntur saat Tere memainkan ekspresinya. Walau berkali-kali dipukul pelan--karena tingkahnya yang kelewatan, lelaki itu tetap terbahak-bahak. Sesekali ia membalas Tere dengan melempar sekian kerikil yang ada di sekitar kaki, lalu membiarkan gadis itu mengejarnya hingga mengelilingi pohon. Winnie sempat tak berkedip ketika melihatnya.
"Di sini, aku nggak diterima juga, ya?" monolognya seraya memeluk lutut.
Kalimat Tere cukup membuat pikirannya berlarian ke mana-mana. Memang sudah berhari-hari ia di tempat ini, tetapi belum sedikit pun terlintas untuk kembali. Bukan karena belum puas atau masih ingin menghabiskan waktu dengan Peter, atau Tere, atau bahkan anak-anak abadi, melainkan belum siap menghadapi dunia lama yang masih sama.
Seharusnya, kabar tentangnya sudah mereda. Tidak ada orang yang mau terpaku dengan satu isu sampai berlarut-larut. Namun, bukan berarti ia tidak mendapat label yang menyakitkan saat pulang. Tidak dapat dipungkiri, Winnie lebih suka lari seperti ini.
"Sebenernya apa maumu, sih, Win?"
Winnie menjambak rambutnya sendiri. Lelah akan perbedaan pemikiran yang berkelahi dalam hati. Ia tidak bodoh. Perkataan Peter sejak di rumah sakit hingga di halaman rumah singgah kemarin tetap masuk ke telinganya, apalagi perkataan Tere yang baru saja mampir. Akan tetapi, ia masih ingin menolak semuanya dan membela diri dengan kata 'belum siap'.
"Cukup, cukup. Jangan lari-lari lagi. Aku nggak mau buang-buang uang buat beli obatmu."
Lamunan Winnie teralihkan saat suara Tere terdengar jelas dari atas. Ia lekas melongok ke bawah dan benar saja, mereka berdua sedang bersandar pada pohon sambil mengatur napas. Ingin lebih dekat--tetapi tidak ingin turun dan mengganggu, Winnie berbaring miring. Ia meringkuk dan menjadikan kedua punggung tangan sebagai bantal.
"Gimana tempat ini?" Peter bertanya dengan terbata-bata.
"Bagus. Kapan-kapan kita ke sini lagi buat pasang ring basket. Boleh?"
"Emang bisa?"
"Ada tangga di belakang rumah."
"Ringnya?"
"Beli, lah, kalau ke kota nanti."
"Iya juga."
Winnie menghela napas panjang. Sejak melihat Tere, ia memiliki firasat bahwa gadis itu tidaklah biasa. Auranya bagai 180 derajat berkebalikan darinya. Tere seakan bisa apa saja, sampai ke titik dapat mengolah bahan percakapan dengan Peter tanpa henti. Mungkin, kedekatan cukup lama yang membangun itu semua, tetapi Winnie tetaplah iri--dalam hal baik, sepertinya. Ia ingin sebebas dan seberani itu, secara tidak langsung.
"Kapan ke kota?" Tere kembali bertanya setelah Peter menenggak air. Winnie mengintip lewat lubang kecil di papan kayu.
"Kapan aja boleh, kalau kamu mau."
"Dengan gadis itu?"
"Siapa?"
"Jangan sok-sokan bodoh. Winnie yang kumaksud."
Sang pemilik nama langsung terhenyak, tetapi ia tetap diam dan memejamkan mata. Peter sempat mendongak, seperti mengecek apakah ia mendengarnya atau tidak. Winnie tak peduli, yang jelas sekarang ia ingin berpura-pura tuli. Sayang, percakapan itu tetaplah terdengar.
"Sampai semuanya baik-baik aja."
"Kapan, Pete?"
"Aku juga belum tau."
"Ini penculikan, kamu paham nggak, sih? Okelah kalau mau bodo amat sama hukum, tapi emang nggak capek gini terus?"
"Tere, jangan keras-keras."
"Dia tidur, nggak bakal denger."
Winnie menggeleng. Ia masih sadar seratus persen. Sebelumnya ia memang izin untuk itu, tetapi tidak benar-benar dilakukan. Ia hanya mengosongkan pikiran dan menatap langit-langit rumah pohon yang terbuat dari kayu dan anyaman daun kelapa.
"Aku belum banyak belajar soal kematian darinya. Dia juga belum banyak belajar soal kehidupan dariku."
"Oke, terserah kalian. Mau lanjut main atau nggak, terserah. Tapi, please, pikirin juga kalau sepintar-pintarnya kita menyimpan bangkai, baunya akan tetap tercium cepat atau lambat, Pete."
"Jangan samakan dia dengan bangkai, Re."
"Peter!"
"Iya, iya, paham. Bercanda dikit."
Winnie menelentangkan tubuhnya. Kedua tangan mengusap lengan dan memeluk leher. Segitu besarkah risiko yang mereka terima jika berlama-lama di tempat ini? Mengapa? Bukankah ia seharusnya tahu sejak awal? Untuk apa Peter susah payah menerbangkannya kalau saat menikmati masa bersenang-senang, ia harus dikembalikan?
Atau, hanya Tere yang tidak menyukai semua ini terjadi?
Gadis yang sampai sekarang mengenakan baju Tere lekas menggeleng dan menampar pipi. Betapa hinanya ia memikirkan hal buruk itu, padahal sedari awal telah diberi hati sebanyak ini. Ia lantas miring kembali dan memperhatikan Peter dari atas. Meski hanya kepalanya yang terlihat, lelaki itu tetap menarik dan membuat hatinya hangat tanpa alasan spesifik.
"Maaf, aku nggak bermaksud memaksanya, apalagi mengusirnya dari sini."
"Paham, kok. Kamu khawatir, seperti biasa. Kamu orang baik, Tere."
"Makasih, aku cuma menjalankan tugas, yang kebetulan lumayan menyenangkan. Lagian, aku nggak nyangka kamu bakal sepeduli itu sama Winnie."
"Semua orang memiliki nilai yang berbeda. Aku juga kurang tau kenapa dia semenarik itu. Mungkin karena dia pengin mati, sedangkan aku pengin hidup."
"Karena nyatanya kamu yang sebentar lagi mati dan dia yang masih bisa hidup."
"Iya, itu nilainya. Entahlah, yang jelas untuk sekarang jangan bertanya seperti itu dulu, Re."
"Iya, maaf. Aku nggak akan ikut campur urusan kalian lagi."
"Bukan begitu. Kamu boleh ikut campur. Harus malah karena aku nggak bisa sendirian tanpamu. Tapi, jangan menyinggung hal-hal semacam ini di depannya."
Winnie mulai berkaca-kaca dan menggigit bibir. Makin ia simak, makin runtuh pula pertahanannya. Ia lantas menutup wajah menggunakan lengan kanan dan menyilangkan kaki, mencoba mengganti suasana. Namun, kalimat demi kalimat dari dua orang di bawahnya itu terus mengusik, membuatnya ingin melompat turun dan lari dari sana sejauh mungkin.
"Perasaannya serapuh itu, ya?"
"Aku nggak tau, tapi nggak ada salahnya buat menjaga hati orang lain, kan?"
"Iya, nggak masalah, kok. Udah jadi kewajaran bagimu. Aku pergi dulu."
"Ke mana?"
"Jembatan. Kamu bangunkan saja tuan putrimu itu."
Winnie buru-buru menggeser tubuhnya ke sisi kiri--hingga menabrak dinding--dan memejamkan mata. Ia berulang kali mengatur napas senatural yang ia bisa agar Peter tidak curiga. Dalam pejamnya ia berdoa, semoga saat lelaki itu sampai di atas, matanya benar-benar membawa ke alam mimpi dan ia tidak perlu susah-payah berdrama lagi.
Ia cukup capai hari ini.
🌻🌻🌻
~ to be continued ~
DAY 16
20 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top