• kotak nama •
Setiap memejamkan mata, Peter selalu bertanya: apakah ia boleh membukanya lagi? Saat sadar telah menghirup udara pertama kali, ia juga bertanya: apakah ia boleh memulai hari seperti kemarin? Kemudian ketika cahaya menembus jendela kayu dan membuatnya mengernyit tak karuan, ia kembali bertanya: apakah ia boleh menemui malam tanpa halangan?
Boleh, bukan bisa. Ia meminta, bukan memaksa. Nyatanya, Tuhan memang Maha-Baik, bukan?
Hal selanjutnya yang ia cek adalah pergerakan jantung yang makin hari makin mengenaskan. Sudah lemah, nyeri pula. Kadang ia bingung, mengapa lubang di sana tetap menyusahkan meski telah ditutup berulang kali? Badannya saja sudah seperti kain rombeng yang penuh perca sana-sini. Namun, keluh kesahnya itu ia tutup sempurna setelah mengunjungi Unknownland. Tempat yang menyambung hidupnya ini memang tak menjawab apa pun, tetapi sejenak bisa mengalihkan perhatiannya.
"Peter!"
Belum berhasil duduk sempurna, tubuh Peter sudah dihadiahi sebuah pelukan. Dengan suara bergetar, Winnie yang berkaca-kaca sontak mengalungkan tangannya pada leher Peter. Gadis itu juga membantunya bangkit. Walau didekap erat, Peter tak merasa sesak napas. Justru, dadanya kini kian lapang dam gemuruh di perutnya turut mereda. Ia lekas membalas, mengusap punggung Winnie dan tak lupa menepuk-nepuknya.
"Akhirnya kamu bangun juga. Aku takut kamu kenapa-napa."
"Ini masih pagi, Win."
Winnie menggeleng. "Kayaknya udah siang. Aku nggak tau. Nggak ada jam di sini, aku nggak tau apa-apa. Aku …."
Peter mendengarkan seluruh ocehan Winnie tanpa menginterupsi. Gadis itu belum ingin melepaskan pelukannya, meski mereka telah benar-benar sadar bahwa hari masih bisa berjalan layaknya biasa. Tere yang masuk membawa bubur dan segelas susu pun tak dipedulikan. Seperti angin lalu, gadis yang kini menghias rambutnya dengan jepit bermotif kupu-kupu lekas keluar kamar, tak berniat menunggu. Ia hanya memberi syarat pada Peter untuk segera turun.
Lelaki yang berkaus tipis karena sempat demam semalaman itu sedikit mendorong Winnie agar menghentikan isakannya. Ia mengusap air mata di sekitar pipi, lalu mencubit gemas. Sontak Winnie mengernyit dan memukul lengan kanan Peter.
"Aku serius!"
"Serius kenapa?" Peter justru menggoda Winnie.
"Aku cuma tau, kenal, dan dekat denganmu di sini. Jangan kenapa-napa sebelum aku kenapa-napa, Pete."
Peter mendengkus dan menatap Winnie tajam. "Aku nggak suka kamu ngomong gitu."
"Terserah, yang penting kamu harus baik-baik aja."
Menjawab pernyataan itu sama halnya memberikan janji palsu. Peter hanya mengangkat bahu dan menyibak selimutnya. Ia kemudian mengambil kaus hitam yang digantung pada kapstok, lalu memakainya tanpa melepas pakaian sebelumnya. Winnie yang semula melihat itu buru-buru memalingkan wajah dan berdiri.
"Mau ke mana? Emang udah enakan?" tanyanya tanpa menatap Peter.
"Ke bawah, ayo!"
"Ke mana?"
Peter meraih tangan Winnie. "Kenalan sama anak-anak abadi."
"Hah? Ngapain?"
"Biar kamu nggak cuma tau, kenal, dan dekat denganku aja."
"Ya, tapi, kan--"
"Udah, ayo!"
Peter lekas menuruni tangga terlebih dulu. Kali ini ia tidak harus sungkan karena Winnie mengenakan celana. Setelah sampai, ia melepaskan tangan Winnie dan beralih menghampiri lemari di sudut rumah--dekat pintu dapur, meninggalkan gadis yang bertanya-tanya di ruang tengah sendirian. Ia mencari sebuah kotak kayu di laci nomor tiga dan membawanya setelah ketemu.
"Itu apa?" tanya Winnie penasaran.
"Nanti kamu tau sendiri."
Tidak ada yang tidak kesal jika dipermainkan demikian, Peter tahu itu. Namun, ia justru tersenyum lebar saat Winnie bersungut-sungut seakan ingin menelannya hidup-hidup. Tidak masalah, menurutnya itu sangat menggemaskan. Ia makin tidak sabar untuk mengenalkan Winnie--yang harusnya sudah dilakukan sejak hari pertama--pada adik-adik kesayangannya di rumah singgah.
"Mana mangkuknya?"
Peter menepuk jidatnya saat ditemui Tere di depan pintu menuju taman samping. "Masih di atas."
"Belum dimakan?"
"Aku buru-buru ke sini."
Tere menghela napas panjang. "Akan kuambilkan."
"Makasih, ya."
Tere hanya tersenyum dan mengangguk. Ia berlalu begitu saja tanpa menyapa Winnie. Bukan hal aneh, batin Peter. Lelaki itu lekas menggeleng dan menarik tangan Winnie untuk melanjutkan perjalanan. Mereka menemui anak-anak abadi yang masih bergulat dengan menu sarapan yang itu-itu saja.
"Duduk di sini dulu."
Tidak ada protes dari Winnie. Peter beranjak mengambil kertas dan bolpoin yang disimpan di atas pintu. Sambil berjinjit, ia meraba seluruh bagiannya hingga mendapatkan apa yang dicari. Winnie yang tak tahu-menahu hanya menggeleng kecil.
"Ini, tulis namamu di sini." Petter memberikan sobekan kertas pada Winnie.
"Buat apa?"
"Disimpan."
"Iya, buat apa?"
"Tanda kalau kamu bagian dari kami."
Winnie mengangkat sudut kanan bibirnya. "Bisa dijelasin dulu, anak abadi itu apa? Kamu utang satu itu juga."
"Bukan apa-apa," Peter duduk dan meluruskan kaki, "itu hanya penamaan berisi doa aja."
"Maksudnya?"
"Menurutmu, abadi itu apa, Win?"
"Tiba-tiba?"
Peter tertawa kecil. "Sebelum kujawab, aku mau tau pendapatmu dulu."
Winnie menatap langit dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan di belakang. "Entahlah, mungkin semacam nggak bisa mati sampai kapan pun?"
"Kalau doa?"
"Em, sesuatu yang diharapkan."
"Kurang lebih begitu."
Bingung, Winnie pun menoleh ke arah Peter. "Maksudnya?"
"Sederhananya, karena semua yang di sini akan mati, nama abadi kami pilih sebagai doa. Kami, terutama aku, belum mau meninggalkan tempat ini secepat itu."
"Kenapa? Di dunia ini nggak ada yang abadi, Pete."
"Emang, tapi bukan berarti aku harus mati lebih dulu, kan?"
"Iya, tapi--"
"Begitu pula denganmu, Win."
"Aku?"
Peter mendekatkan tubuhnya pada Winnie hingga jarak wajah mereka tak lebih dar sejengkal. "Kenapa di saat aku nggak mau mati, kamu malah menginginkannya?"
Hening, kedua manusia itu hanya saling tatap dalam waktu yang cukup lama. Bahkan saat mata Peter berkaca-kaca pun, Winnie belum mau membuka suara. Gadis itu baru mengusap wajah Peter setelah setetes air jatuh ke lantai tanpa permisi.
"Karena Tuhan menciptakan perbedaan, Pete."
"Dia juga menciptakan pertukaran, kan?"
"Maksudmu?"
Peter menatap Winnie lekat. Ia ingin menjelaskan alasan membawa gadis itu jauh-jauh kemari. Sekadar menyebutkan bahwa ia berniat menghadapi kematian seperti bagaimana gadis itu menginginkannya. Atau minimal menyatakan kalau ia bersemangat membagikan indahnya hidup agar Winnie menjauhi mati sedini ini. Namun, sayangnya yang ia lakukan hanya menjauh dan kembali menghadap depan.
"Aku berutang apa lagi padamu?" tanya Peter mengalihkan pembicaraan.
"Soal semalam."
"Paman itu?"
Winnie mengangguk. Peter lekas duduk bersila dan meminta secarik kertas yang telah berisi nama gadis itu. Ia kemudian memasukkannya ke kotak dan mengunci rapat.
"Paman Hans. Tetua yang tinggal di rumah besar sana," tunjuk Peter ke arah utara, yang sebenarnya tak menampakkan apa-apa--saking jauhnya dengan tempat yang dituju.
"Dia siapa?"
"Orang berpengaruh di Unknownland ini."
"Jadi yang tinggal di sana nggak cuma kalian?"
Peter menggeleng. Winnie makin mengerutkan kening.
"Terus, kenapa kamu menghindarinya?"
"Karena ada kamu, Win. Aku nggak boleh membawa orang asing kemari tanpa sepengetahuannya."
"Jadi selain tanpa izin ibuku, kamu nggak izin juga sama paman itu?"
Peter mengangguk. Apa boleh buat, pikirnya. "Izin padanya sama dengan mengurungmu di sini."
"Jangan bikin aku terus-terusan tanya 'kenapa', Pete. Yang niat sedikit kalau cerita."
Peter menelan ludah. Ia juga menggaruk tengkuk. Bingung, merasa belum saatnya bercerita. Ia lantas meraih tangan Winnie dan menggenggamnya. Namun, gadis itu buru-buru menariknya dan berkacak pinggang.
"Ngomong aja!" pintanya kesal.
"Jelasnya, kamu sekarang harus diam-diam dulu sampai waktunya datang."
"Nggak masalah Pete, tapi …." Tere datang dari belakang dan membuat Peter--juga Winnie--menoleh ke arahnya. "Kita nggak bisa selamanya sembunyi, sewajarnya saja."
🌻🌻🌻
~ to be continued ~
DAY 12
16 April 2022
(doyan utang)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top