• jerit diam •

Peter menepati janjinya. Tepat di pagi buta, ia membangunkan Tere dan Winnie, suatu kebiasaan yang tak lazim. Lelaki itu telah mempersiapkan segala hal yang perlu dibawa menuju bukit. Ia memikirkan rencana ini sepanjang malam. Tidur tak tenang, makan tak kenyang, semua lantas baik-baik saja setelah hari berganti dengan sempurna. Ia lekas memakai tudung jaket dan menaikkan ritsletingnya hingga mencapai leher. Dua gadis yang melihat itu hanya menganga dan menggaruk tengkuk.

"Kamu yakin aku ikut, Pete?" Tere menunduk dan memainkan sweater hijaunya.

"Aku takut tersesat kalau sendirian."

"Anak-anak gimana?"

Peter mengembuskan napas panjang. "Aku janji nggak akan lama. Kita pulang sebelum tengah hari."

Winnie tersentak saat Peter tiba-tiba mendekatinya dan memakaikan hoodie hitam bermotif tengkorak. Lelaki itu juga merapikan pita rambut Winnie dan sedikit mengusap kepalanya. Ia kemudian beranjak mengambil ransel dan keluar rumah.

"Nggak naik sepeda?" Winnie menautkan alisnya.

"Kita nggak bakal bisa bawa itu ke atas."

"Ya, taruh di bawah aja."

Peter menggeleng. "Takut ada yang lewat dan curiga."

"Kalau kamu takut, mending nggak usah--"

"Ayo, Tere!" potong Peter, "jangan buang-buang waktu."

Tere hanya bisa pasrah. Tidak ada gunanya melawan Peter. Meski sebenarnya tak selalu salah, ia malas mencari topik yang bisa menyanggah. Kadang mengalah menjadi pilihan yang tepat untuknya.

Tiga remaja-dewasa itu lekas berjalan menuju selatan. Melewati hutan, hanya satu jalur yang memiliki tapak kaki. Bantuan cahaya dari senter sedikit membantu penampakan bebatuan sebab matahari belum muncul. Peter memimpin dengan parang di tangan kanannya. Sesekali ia memangkas ranting yang menghalangi langkah. Jalan yang cukup sempit mengharuskan mereka untuk menjaga jarak--berurutan ke belakang. Winnie-lah yang berada di tengah dengan tampang celingak-celinguknya.

"Kamu tau, Win? Tempat ini jadi penemuan yang paling melelahkan waktu itu."

"Iya?" Winnie sedikit melirik Tere yang ada di belakangnya. "Kenapa?"

Peter tersenyum. "Aku dan Tere niatnya cari jalan pintas dari danau ke rumah singgah, tapi malah kesasar ke mana-mana karena wilayah di sini luas banget. Nanti setelah sampai ujung sana, akan ada banyak jalur yang sering dilewati orang. Jalan yang ini, kami yang buat."

"Orang-orang ke sini mau ngapain?"

"Menurutmu?" Peter menoleh ke arah Winnie. "Apa yang mereka cari di hutan?"

"Pohon? Hewan? Apa?" Winnie menebak asal.

"Nggak sepenuhnya salah, kok."

Winnie berbalik, hendak bertanya pada Tere karena ucapan Peter lumayan ambigu--seperti biasa. Namun, gadis yang juga memegang pisau itu hanya menatap dan memutar bola matanya. Winnie lantas menelan ludah dan kembali fokus ke depan.

Setelah menyelesaikan rute sempit yang menggelitik lengan hingga betis--efek ranting dan dedaunan yang amat lebat, mereka tiba di persimpangan menuju bukit. Peter duduk sebentar guna meminum obat yang disodorkan oleh Tere. Winnie hanya mematung, menunggu langkah selanjutnya sambil mengedarkan pandangan.

"Ini, kan?" tanya Peter pada Tere.

"Iya, mau sampai atas?"

Peter mengangguk. "Harus. Ada satu hal yang mau kulakuin."

"Kuat?" Tere tampak khawatir.

"Ada kamu, aku baik-baik aja. Ayo!"

Peter menarik Tere menggunakan tangan kanannya, sedangkan Winnie dengan tangan kirinya. Lebar jalur yang dijajaki kini cukup memudahkan mereka untuk berjalan beriringan. Tanjakan demi tanjakan pun dilewati dengan susah payah. Peluh yang membanjiri tubuh membuat kaki berhenti untuk beristirahat sejenak. Keputusan yang bodoh, memang, mengingat rasa lelah justru makin menjadi-jadi berkat itu.

Tere mengambil alih ransel Peter dan membebaskan lelaki itu dari beban yang tak seberapa. Ia juga menawarkan sebotol minuman yang dibawa dari rumah. Namun, baik Peter maupun Winnie menolaknya. Mungkin berniat menghemat persediaan, yang jelas hanya Tere yang menikmati kesegaran air di tengah pertikaian udara dingin dan keringat panas.

"Akhirnya sampai juga."

Tanpa memedulikan hal lain, Peter merebahkan tubuhnya di rerumputan yang berkerikil. Ia memejamkan mata dan mengatur napas agar masih bisa bertahan hidup. Winnie lekas duduk dan meluruskan kaki, begitu pula dengan Tere. Ketiganya beristirahat beberapa waktu sebelum kembali berdiri dan melihat pemandangan hutan dari atas.

"Wah!" Winnie terus melangkah hingga ke ujung bukit.

"Kamu suka?"

"Pasti."

Gadis itu tentu menikmati pemandangan ini, terlebih beberapa awan tampak seperti di bawahnya. Tebing lain yang juga terlihat dari kejauhan makin memanjakan mata. Tak lupa dengan banyaknya burung yang berterbangan di atasnya.

"Lelahmu terbayar, kan?"

Lagi, Winnie mengangguk. "Lumayan."

"Apa dia boleh teriak-teriak di sini, Re?"

Tere yang duduk bersandar pada batu besar lekas menegapkan tubuh. "Jangan, takut kedengaran dari bawah."

"Tapi, kan, jauh."

"Pete!" Tere menggeleng. "Terlalu berisiko."

"Okelah."

Peter memilih untuk meraih tangan Winnie dan menggenggamnya. Sontak gadis itu mengerutkan kening dan menatap Peter-Tere bergantian. Ia bingung dan ingin melepaskan diri, tetapi genggaman Peter lebih erat dari sebelumnya.

"Mau apa, Pete?"

Tidak ada jawaban. Peter justru mengarahkan tubuh Winnie tepat di depannya. Ia kemudian maju perlahan hingga mendekati gadis itu. Tentu, Winnie terus mundur karena jarak mereka tak lebih dari sejengkal. Sampai akhirnya, ia tersandung angin karena tak memiliki pijakan lagi.

"Argh!"

Winnie terpleset dan menggantung di ujung bukit. Peter lekas memegangi tangan gadis itu agar malaikat maut tidak buru-buru menjemputnya. Tere yang cukup kaget di belakang langsung mendekat dan berniat membantu Peter. Namun, sahabatnya itu malah menggeleng dan memintanya untuk duduk kembali.

"Apa yang kamu lakukan, Peter? Cepat tarik aku!"

Peter tersenyum. "Gimana rasanya, Win? Akhirnya kamu bisa dekat dengan kematian, kan?"

"Jangan bercanda! Cepat tarik aku!"

"Aku serius. Ini, kan, yang kamu mau?"

Winnie terdiam. Ia menggigit bibir. Peter memang tersenyum, tetapi matanya berkaca-kaca. Winnie tahu itu. Ia bisa merasakannya.

"Argh!"

Gadis yang kakinya telah melemas itu kembali menjerit saat Peter kehilangan keseimbangan dan tangan mereka mulai licin. Degup jantungnya kian tak karuan dan ia pun merutuk. Perutnya bergemuruh hingga pening yang datang makin meronta-ronta. Tubuhnya bergetar, ia takut semilir angin bisa menggoyahkan pegangannya dan ia terjatuh dari ketinggian.

"Selamatkan aku, Peter," ucap Winnie gemetaran.

Hanya mendengarnya, Peter tersenyum. Namun, air matanya menetes hingga membasahi wajah Winnie. Tere lekas berjaga-jaga di belakang. Ia turut panik melihat sahabatnya tak gentar menolak bantuan. Peter terus menggeleng dan membiarkan daya minimalisnya memperjuangkan itu semua.

"Win, tau kalau mati sedekat itu nggak enak, kan? Udah capek-capek ke sini, eh taunya cuma buat lihat pemandangan sebentar terus mati."

"Peter--"

"Sama seperti hidup. Banyak yang kamu korbankan buat mencapai titik ini, apa gunanya kalau tersandung sedikit langsung jatuh?"

"Pete--"

"Kamu mau kulepaskan gitu aja?"

Winnie menangis. Ia mengeratkan pegangannya pada tangan Peter. Ia menggeleng kuat, terus menggeleng hingga Peter menyaksikan bahwa ia benar-benar ingin hidup. Ia tidak ingin mati konyol seperti ini. Ia tidak ingin mengakhiri segalanya di tempat tanpa noda seperti ini. Atau jika digali lebih dalam, ia tidak ingin melakukan hal-hal seperti ini, lagi.

"Aku nggak ingin mengadu nasib, tapi kalau kamu ingin tau, aku bisa berbagi rasanya 'mati' tanpa kamu merasakannya, Win. Sebagai bayaran karena kamu membuatku paham kalau kematian bukan sesuatu yang bisa diinginkan. Sebesar apa pun kamu ingin mati, sebenarnya kamu ingin hidup, kan?"

"A-aku cuma mau lembaran baru. Aku cuma mau meniadakan masalah-masalah ini. Aku cuma mau hidup layaknya orang normal."

Peter menghela napas dan tersenyum. "Makasih udah mau jujur. Aku bertahan karena sadar diri, nyawa seseorang bukanlah urusanku. Biarkan Tuhan dan malaikatnya yang menjalankan tugas. Kamu mau, kan, bertahan sepertiku?"

Winnie terdiam sejenak. Ia menatap Tere yang terlihat gemas dengan keraguannya. Ia menunduk dan kembali memikirkan duri yang harus ia pijak jika menerima permintaan Peter. Ia terus menutup mulut hingga tiba-tiba genggaman mereka melonggar. Bayangan hitam yang mengerikan lantas memenuhi pikiran Winnie dan ia pun mengangguk.

"Aku mau hidup."

Tanpa izin sama sekali, Tere menarik tangan Winnie dengan sekuat tenaga. Begitu pula dengan Peter yang hampir kehabisan napas. Gadis yang sebenarnya cukup ringan itu lekas memeluk Peter saat kakinya tak menggantung lagi. Ia memeluk erat dan menumpahkan tangis yang tersisa.

Peter lekas membalas pelukan tersebut dan memejamkan mata. "Maaf, ya. Maaf karena melakukan ini semua."

Winnie memukuli punggung Peter. Ia terisak kencang, meluapkan seluruh emosi yang terpendam. Ia juga menjerit, meski tanpa teriakan karena melakukannya di bahu Peter. Melihat itu, Tere lekas berbalik dan menjauh.

"Maafkan aku, Winnie," ucap Peter lagi.

"Aku nggak akan pernah memaafkanmu."

"Aku tau kalau itu cuma bercanda."

Winnie berdecak dan melanjutkan tangisnya. Ia mengatur napas dan membiarkan lengannya diusap lembut. Lelah, gadis itu pun tertidur di dada Peter. Raut pucatnya kembali merona dan tubuh yang gemetaran mulai tenang. Peter dapat mengembuskan napas lega.

"Ini keterlaluan, Pete." Tere berseru dari batu besar--tempatnya semula.

"Aku tau, tapi dia perlu merasakan sensasinya agar berubah pikiran."

"Bagaimana kalau ternyata dia benar-benar mau mati?"

Peter tersenyum tipis. "Aku nggak akan melakukannya sejak awal kalau hal seperti itu mungkin terjadi."

"Maksudmu?"

"Aku melakukannya karena tau, dia nggak ingin mati seperti ini."

🌻🌻🌻

~ to be continued ~

DAY 18
23 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top