• ikut kehilangan •

Hujan yang tiba-tiba datang seolah ikut menangisi kepergian sosok yang berhasil melewati sakitnya. Langit mendung yang berkabung seakan menjadi atap para lelah yang meringkuk. Tiada yang menahan tangis. Mereka saling peluk, menguatkan diri yang memikirkan giliran selanjutnya. Setiap masa seperti ini, tidak ada yang hal penting yang teringat, selain kematian itu sendiri.

Peter semula menitikkan air matanya. Entah karena sudah habis atau dayanya telah terkuras, ia kini tak dapat berkutik. Kaki tegapnya sudah runtuh menyentuh lantai sejak beberapa waktu lalu. Pandangannya kosong, menatap pembaringan yang masih diratapi anak-anak lain.

Berulang kali Tere mengingatkan untuk segera mengambil tindakan. Namun, ia masih belum percaya kalau hari ini ia akan kehilangan. Meski bukan kali pertama, Peter tetap kepayahan dalam menerimanya. Terlebih, Dua adalah anak abadi yang cukup lama tinggal di rumah singgah. Ia memberi nama demikian berdasarkan urutan tiga di tempat ini. Mereka memutuskan merahasiakan latar belakang masing-masing demi kedamaian hari.

Hanya Winnie yang mematung di sudut kamar. Sebelumnya, ia sempat memeluk Peter dan berniat menenangkan lelaki itu. Namun, setelahnya dihempas hingga membentur dinding, ia menyingkir dan memberi ruang agar penghuni utama rumah singgah menikmati waktu terakhir mereka.

Awalnya pula, Winnie baik-baik saja dan merasa belum larut dalam suasana, mengingat ia tidak mengenal siapa-siapa sedekat ia mengenal Peter. Namun, makin berjalannya waktu, ia makin gemetaran. Luka, pedih, keluh, dan tangis yang tergambar di depannya seakan mengoyak hati, menampar pemikirannya yang hendak memainkan kematian. Ia sesekali menggeleng dan menggigit bibir, memikirkan apakah hal yang sama akan terjadi jika ia yang menghilang dari bumi. Apakah hal yang sama benar-benar akan terjadi jika ia mengakhiri semuanya? Akankah ada yang merasa kehilangan?

Ibunya?

Agensinya?

Penggemarnya?

Siapa? Ia bahkan tidak memiliki teman.

Winnie lantas menatap Peter dan bergeming, apa lelaki itu akan termasuk di dalamnya?

Detik demi detik berjalan, gadis itu lekas mengusap wajah dan mengacak rambut. Ia kembali berlari menghampiri Peter dan memeluknya. Kali ini, ia mendekap erat agar tak ditolak lagi. Ia sungguh enggan melepaskan, meski tatapan gadis di seberang kasur seakan ingin menceramahinya hingga petang.

"Bawa dia ke tempat yang tenang, Pete."

Mendengar itu, air mata Peter kembali hadir dan menetes. "Aku belum siap."

"Dia udah tenang. Udah saatnya kamu antar dia ke tempatnya."

"Aku butuh waktu buat baik-baik aja."

"Kamu nggak harus baik-baik aja dalam hal ini. Kita boleh sedih, kan? Kamu sendiri yang bilang."

"Aku butuh bersiap bukan untuk berpisah aja."

Winnie melepas pelukan dan menghadapkan tubuh Peter ke arahnya. "Terus?"

"Aku harus menguburnya, Winnie. Kamu tau maksudnya?"

Jujur, Winnie selalu bertanya-tanya dengan kalimat Peter yang putus-nyambung. Ia ingin menjawab terang-terangan, tetapi sekali ini saja ia mau berlagak memahami lelaki itu luar-dalam. Sayangnya, ia belum dapat mencerna dengan mudah dan selalu menggeleng atau tersenyum tipis.

"Seorang pendeta pernah kemari dan bilang, tidak ada yang tahu kapan waktumu akan berakhir. Aku paham itu. Karena aku paham, setiap mengantar mereka yang menemui Tuhan-nya, aku selalu merasa kalau waktuku sedekat itu. Bisa aja besok aku yang diantar, kan?"

Winnie buru-buru memeluk Peter dan menenggelamkan wajahnya di bahu lelaki itu. Ia benar-benar merasa bersalah. Usapan lembut di punggung tentu kurang untuk membayarnya. Namun, hanya itu yang terpikir olehnya detik ini.

"Jadi ini yang membuatmu setakut itu?"

"Iya. Orang sakit selalu lebih dekat dengan kematiannya, meski ada orang lain yang lebih dulu dijemput karena kecelakaan dan sebagainya. Tapi, seenggaknya, mereka nggak dihantui malaikat maut setiap hari. Mereka nggak dihantui perasaan 'berapa lama lagi sisa waktu yang dipunya'. Mereka nggak dihantui kesiapan amal atau apalah itu yang masih ecek-ecek. Mereka--"

Peter tak melanjutkan kalimatnya saat merasakan kecupan di area tengkuk. Embusan napas hangat yang menjalar hingga perut membuatnya terpaku dan melemas. Ia lantas membiarkan Winnie menanggung seluruh beban tubuhnya dan melanjutkan tangis.

"Setelah tau sudut pandangku, apa kamu udah siap, Pete?"

"Nggak ada orang yang benar-benar siap menghadapi kematian."

Winnie mengangguk. "Aku minta maaf, ya."

Peter menggeleng. "Jangan mati sebelum aku mati, Win."

"Aku akan berusaha."

Pelukan itu melonggar seiring dengan tangis yang mereda. Tere menghampiri dan berjongkok di samping Peter, mengabarkan kalau seluruh persiapan telah selesai. Lelaki itu pun berdiri dan berjalan gontai. Sesekali Tere berjaga menangkap tubuhnya yang oleng, tetapi Peter langsung menepisnya dan berpura-pura paling tegar di antara semua orang.

Anak-anak abadi telah berbaris menunggu Peter. Lelaki itu masih tertatih dalam membawa jenazah kawan kecilnya. Ia menggendongnya dari rumah singgah hingga ke pemakaman yang ada di utara taman belakang. Tere dan Winnie pun menyusul setelah mengganti pakaian yang sama dengan lainnya--serbahitam dan bertudung yang menutup sebagian muka.

Tanah becek akibat hujan seringkali menyusahkan, tetapi tidak bagi Peter. Cipratan lumpur yang mengenai celananya akan menjadi saksi. Bahkan langit pun bersedih dan turut menghadiri prosesi ini. Meski jaraknya cukup jauh dan jantungnya mulai lelah, ia terus berjalan dan tidak ingin digantikan.

Winnie yang berjalan di samping Tere--di depan sebagian anak abadi--mulai menutup mulut. Ia tidak menyangka jika hamparan luas di sekitar rumah singgah tidak hanya ada di halaman dan taman belakang, tetapi juga area pemakaman ini. Bahkan sepertinya jauh lebih luas, mengingat pagar dari ujung ke ujung yang mengelilingi itu sangatlah panjang dan mengerikan--di beberapa sisi. Ia makin menggigit bibir saat mengetahui banyaknya nisan yang menetap di sana. Ada yang terlihat baru, ada pula yang dipenuhi rumput liar.

"Kamu pasti bertanya-tanya kenapa di tempat seterpencil ini ada banyak makam." Tere seolah dapat membaca pikiran Winnie.

"Kok kamu tau?"

"Bukan hal aneh. Malah nggak wajar kalau kamu merasa pemandangan ini suatu hal yang lumrah."

"Ini semua makam siapa, Re? Di sini, kan, cuma ada beberapa rumah. Lima aja nggak ada, kayaknya. Bukannya ini terlalu banyak buat ukuran daerah yang jarang dihuni?"

"Sebenarnya makam ini khusus milik rumah singgah. Orang-orang yang tinggal di sekitar bukan asli sini. Mereka cuma kemari kalau ada perlu."

"Hah? Jadi?"

Tere mengangguk dan menatap Peter yang turun ke liang lahat. "Ini semua makam anak-anak abadi yang udah meninggal."

"Sebanyak ini?" Winnie menelan ludah dan mulai menghitung. Namun, ia tidak dapat melanjutkannya setelah kesepuluh jari sudah dua kali dipakai.

"Tempat ini udah lama beroperasi, Win."

Winnie makin pening. Ia lelah mengerutkan kening dan merangkai seluruh pembahasan yang Tere ucapkan. Gadis itu lantas menarik tangan Tere dan membawanya menjauh. Ia butuh berbicara empat mata.

"Ada apa?"

"Jujur, sebenarnya ini tempat apa? Peter nggak pernah jelasin ke aku."

"Kamu ini bodoh atau bagaimana? Peter udah pernah bilang, ini tempat bagi mereka yang mengharapkan keabadian."

Napas Winnie tiba-tiba berubah cepat. "Ja-jadi?"

"Jadi, mereka yang di sini memang anak yang akan dan siap mati. Kamu paham?"

"Ta-tapi--"

"Itulah kenapa aku nggak suka kamu di sini. Kamu nggak sekarat dan nggak siap mati. Bahkan kamu masih punya identitas, nggak seperti mereka. Jadi, pergilah dari sini."

Winnie terhenyak. Ia bergeming. Setelah mengucapkan itu, Tere pergi begitu saja. Ia lantas berpikir dan merenung, mungkin memang sudah waktunya.

🌻🌻🌻

~ to be continued ~

DAY 20
23 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top