• cerita senja •

Peter merelakan tangan kanannya untuk dijadikan sebagai bantal Winnie. Keram yang mulai terasa terus diabaikan agar gadis itu tetap nyaman di dekatnya, padahal Ilalang yang menusuk punggung turut menyumbang rasa nyeri yang mengganggu. Namun, ia tahan sedemikian rupa karena Winnie pasti merasakan hal yang sama--ia tidak boleh merengek di depan seorang gadis.

"Aku merasa karierku udah mati."

Kalimat pertama yang Winnie katakan setelah memejamkan mata cukup lama membuat Peter menajamkan pendengaran. Ia tak berkutik, tak mengusik, apalagi menengahi cerita yang belum selesai. Sedikit melirik ke arah Winnie saja tak ia lakukan. Peter hanya menatap langit yang sedikit terhalang ilalang.

"Aku emang dipaksa terjun ke dunia ini, tapi sekarang satu-satunya yang kubisa hanya akting. Aku telanjur nyaman dan impianku di sini. Tapi karena masalah itu, rasanya aku harus memulai lagi dari nol. Bedanya, dulu image-ku masih bersih dan semua bisa ditata dengan mudah. Sekarang? Siapa yang mau membuka jalan untukku, Pete? Ibu aja capek dan terus menyalahkan aduanku yang katanya nggak masuk akal."

Helaan napas Winnie tak setegar getaran suaranya. Meski tidak terbata dan belum ada isakan, gadis itu sering berhenti untuk menarik napas dalam-dalam. Peter lantas meraih tangan Winnie--menggunakan tangan yang tidak dijadikan bantal--dan menggenggamnya erat. Ia hanya ingin menguat tanpa menyela dan bertanya.

"Aku udah berusaha hidup setelah kejadian kemarin, tapi yang kudapat cuma cacian dan cacian. Temanku di sekolah, tetangga di rumah, rekan di agensi, bahkan warga internet kompak menghinaku ini-itu."

Peter menoleh dan menatap Winnie yang mulai menitikkan air mata. Ia memiringkan tubuh dan makin mengeratkan genggamannya. Rona manis pada gadis itu perlahan memudar, berganti aura yang tak asing, persis seperti saat kali pertama bertemu di atap rumah sakit. Perlahan ia mengusap-usap punggung tangan Winnie menggunakan ibu jari, berharap dapat menenangkan.

"Wartawan mulai mencari dan mengikutiku ke mana-mana. Terlebih setelah lelaki yang melecehkanku itu dipanggil pengadilan. Aku mulai capek dan susah tidur. Tiap malam Ibu harus beli dan ngasih obat biar aku tenang. Lama-lama aku merasa gila dan berpikir kalau mati kayaknya lebih baik. Kamu nggak mikir gitu, Pete? Coba jadi aku."

Peter mengembuskan napas panjang dan tersenyum tipis. "Kalau kamu mati, kamu kalah, Win."

"Dari apa?"

"Semuanya, termasuk lelaki itu, juga ibumu."

"Apa salahnya kalah kalau emang itu yang terbaik, yang bisa melepaskanku dari ini semua?" Winnie sontak menghadap Peter dan menatap lelaki itu tanpa berkedip.

"Salah, Win. Seenggaknya kamu menang dulu sebelum meninggalkan dunia ini. Apa gunanya kabur kalau orang yang mematahkan kakimu masih bisa berlari? Dia yang makin merasakan enaknya dan kamu nggak dapat apa-apa."

"Nggak masalah, selama aku bisa waras lagi."

Peter berdecak dan melepaskan tangan Winnie. Ia beralih menyentuh lengan gadis itu dan menekan kuat. "Kewarasanmu juga bisa kembali dengan mematahkan kakinya, Win."

Winnie menghempaskan tangan Peter dan memalingkan muka. "Aku nggak akan pernah ngelakuin hal yang sama kayak dia."

"Aku nggak bilang gitu," Peter mengusap dada, "aku cuma ngasih pandangan, masih ada cara selain mati gitu aja. Kalau orang lain nggak ada yang peduli dan berdiri di sampingmu, masih ada dirimu sendiri, Win. Jangan jadi seperti mereka yang sama-sama ingin kamu menghilang dari sini."

"Ngomong doang emang gampang, Pete."

"Tanpa omongan nggak akan ada pergerakan, kan? Nggak ada yang mudah, bahkan mati juga bisa aja sulit, jadi nggak ada salahnya mencoba memulai lagi."

Winnie lekas berdiri dan lekas melirik Peter. "Terserahmu aja."

Gadis itu berjalan meninggalkan Peter yang baru duduk dan membersihkan ilalang yang menempel di sekitar punggung. Ia kembali ke gubuk dan mengemas barang-barang piknik tanpa berbicara terlebih dulu. Roti isi yang belum tersentuh dimasukkan ke kotak lagi dan diletakkan di dalam keranjang.

Peter membiarkan Winnie melakukan apa pun. Bayangannya dalam menikmati hidangan Tere sambil melihat ilalang yang bergoyang harus sedikit terpatahkan. Namun, tak masalah. Ia bergegas mengikuti gadis yang menenteng kotak bekal dan air minum, sedangkan alas lipat yang masih teronggok menjadi tugasnya.

Mereka pun kembali ke rumah singgah sebelum senja. Selain menghindari kedatangan paman menyebalkan yang tidak bisa diprediksi, juga karena niat yang tak berjalan sebagaimana mestinya. Winnie lekas turun dan bermain ayunan saat Peter memasukkan sepeda ke gudang.

"Kok udah pulang?" Tere menyapa dari ambang pintu.

"Ada sedikit kendala."

"Ada yang bisa kubantu?"

Peter menggeleng dan menyerahkan bawaannya pada Tere. "Nggak, kok, makasih. Maaf, ya, rotinya belum dimakan. Taruh di kamarku aja."

"Oke, mau kubuatin sesuatu?"

Peter menoleh ke arah Winnie yang bermain ayunan, lalu kembali menggeleng. "Nggak ada. Makasih, Tere."

Lelaki itu menghadiahkan senyum terbaiknya sebelum bergegas ke ayunan. Ia makin mempercepat langkah saat anak-anak abadi mendekati Winnie. Jantungnya seketika berdegup tak karuan. Bukan karena sakit, kambuh, atau semacamnya, melainkan takut trauma gadis itu muncul kembali. Namun, kakinya berhenti kala Winnie justru menyambut dengan baik.

"Sore, Kak Winnie. Kami boleh di sini?"

"Boleh, dong."

Sayup-sayup percakapan itu mampir ke telinga Peter. Ia lantas memelankan langkah agar Winnie tak menyadari keberadaannya. Ia mengambil jalan ke belakang gadis itu, lalu duduk bersandar pada pohon.

"Kakak dari mana?" tanya anak berambut putih.

"Piknik bareng Kak Peter."

"Wah, cerita-cerita apa?"

"Hem?" Winnie terlihat mengerutkan kening.

"Kami kalau piknik biasanya cerita macam-macam."

"Iya, Kakak cerita apa?" Anak yang paling tambun tak kalah antusias.

"Em, daripada cerita itu, gimana kalau Kakak mendongeng aja?"

"Dongeng?"

"Iya, tentang Anak yang Tidak Mau Dewasa. Pernah dengar?"

Seluruh anak kompak menggeleng, termasuk Peter. Ia refleks melakukannya.

"Kalau gitu, duduk yang manis. Kakak ceritakan."

Peter memperbaiki duduknya dan menyimak setiap kalimat yang Winnie lontarkan. Pembawaan narasi gadis itu enak didengar dan mudah dipahami. Terlebih ia sampai berdiri dan melakukan gerakan yang membuat anak-anak abadi ternganga dan terkagum-kagum. Peter tak dapat menahan senyumnya hingga pipi bersemu kemerahan.

Winnie bercerita bagaimana anak yang mencari bayangan kakinya membawa gadis kecil terbang menuju tempat asing. Ia juga menjelaskan bagaimana mereka menghabiskan waktu hingga lupa pulang. Sampai akhirnya si gadis harus kembali dan meminta anak yang tak mau dewasa itu untuk ikut serta.

"Anak itu bilang, dia ingin tetap kecil seperti sekarang. Jadi saat mengantar gadis kecil ke rumahnya semula, mereka pun berpisah selamanya," ucap Winnie mengakhiri cerita.

"Yaah, sedih."

"Iya, kenapa anak itu nggak dewasa aja biar bisa sama-sama terus?"

Peter menunggu jawaban Winnie. Gadis itu mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke kening, lalu berkata, "Dia nggak akan bisa terbang ke mana-mana lagi. Semua yang dapat dilakukannya saat kecil akan lenyap."

"Terus kenapa? Kan nggak harus terbang ke sana kemari buat bersenang-senang, apalagi ada gadis kecil itu." Anak yang paling tua membuka suaranya setelah sejak tadi terdiam.

"Mungkin karena dia masih ingin menghibur gadis atau anak kecil lain, jadi belum siap melepas masa kecilnya."

"Oo begitu."

Winnie mengangguk. Ia berbalik badan dan tak sengaja melihat Peter. Gadis itu refleks mundur sampai menginjak kaki salah satu anak abadi. Teriakan sakit pun muncul, membuat mereka segera berlari menuju rumah dan meninggalkan dua sosok yang saling tatap sendirian.

"Sejak kapan kamu di situ?"

"Sejak tadi. Aku mendengar semuanya."

"Ck, kenapa harus diam-diam begitu?"

Peter berdiri dan mendekati Winnie. "Kan aku fokus, jadi nggak berisik."

"Ya, ya, ya, terserah."

Winnie berbalik dan membenahi ikat rambutnya. Peter lekas berjalan mendahului gadis itu dan tersenyum tepat di depan wajahnya.

"Apa lagi, Pete?" Winnie bersungut-sungut.

"Makasih, ya."

"Buat?"

"Dongengnya."

"Nggak penting."

Peter menahan tangan Winnie yang hendak pergi. "Apa kamu mau waktu berhenti di sini aja?"

"Maksudnya?"

"Kamu berpikiran yang sama dengan anak di dongeng itu."

Winnie berdecak. "Nggak sama sekali. Mustahil buat nggak tumbuh dewasa. Mau nggak mau, kita pasti menua."

"Jadi kamu di pihak yang nggak mau?"

"Kamu pikir dewasa itu enak?"

Peter menggeleng. Ia masih tersenyum, meskipun Winnie menatapnya sinis. Ia lantas menarik tangan gadis itu agar makin dekat dengannya. Sontak Winnie menabrak tubuh Peter hingga mereka terbaring di rerumputan.

"Pete--"

"Aku tau kalau nggak enak. Jadi dewasa itu sulit, kita harus menyiapkannya dari sekarang. Iya, kan?"

Winnie menekan tanah agar bisa bangkit, tetapi Peter justru membalikkan tubuhnya. Kini ia berada di bawah lelaki itu.

"Pete--"

"Masalahmu ini termasuk ke kesiapan itu, bukan?"

"Enyah dari mukaku sekarang juga!"

Peter tertawa. "Kuanggap sebagai iya."

🌻🌻🌻

~ to be continued ~

DAY 14
18 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top