• atap rumah sakit •

Satu pertanyaan yang terlintas di benak Winnie saat berdiri di langkan atap rumah sakit siang ini: bolehkah ia mati sekarang?

Awalnya, saat aroma obat berlalu-lalang di lorong depan kamar, ia hanya ingin keluar dan menyapa petrikor. Sayang, terik matahari lebih dulu menyambutnya. Kini tidak ada lagi yang tersisa. Semilir angin yang sedikit membawa tetesan hujan pun ikut enggan menyentuh kulit pucatnya. Mengapa? Apakah tiga hari terperangkap di ruang rawat membuatnya seburuk itu? Mungkin, iya.

Winnie menarik napas dalam-dalam. Ia kembali menoleh, memastikan pintu yang separuh terbuka tadi telah tertutup sempurna. Ia tidak menguncinya, mengingat memang tidak ada kunci dan ia tidak mau repot-repot mencari penghalang layaknya adegan film luar negeri. Ia hanya menatap lekat, sedetik berharap ada yang mencari, sedetik berikutnya berharap tidak ada yang menemukan.

Gadis yang bisa limbung kapan saja saking kurusnya itu mengikat rambutnya yang lumayan panjang. Ia kemudian memasukkan tangan ke kantong celana dan naik ke langkan dengan tenang. Tidak buruk-buruk amat, batinnya, yang lantas diralat secepat kilat saat melihat panorama di bawah.

"Butuh teman?"

Winnie tersentak dan lekas memegang pembatas yang masih menghalanginya dari hampa udara. Ia melirik ke sisi kiri, mendapati seorang lelaki cengar-cengir menatapnya sambil memakan lolipop. Jantung yang berdegup tiga kali lebih kencang membuatnya bingung harus menjawab apa. Ia hanya mematung, menyaksikan bagaimana orang asing di sampingnya ini ikut naik dan menatap gedung pencakar langit.

"Mau turun?"

"Jangan mikir macam-macam, aku berdiri di sini karena …." Winnie menelan ludah. Ia kemudian bertanya dalam hati, mengapa ia berdiri di sini? "Karena butuh udara segar."

Sosok yang bertanya hanya tersenyum. Bahkan, lolipop yang ia isap saja langsung menganggur. Winnie lantas menggeleng kecil, menatapnya dari bawah hingga atas. Kurang lebih serupalah dengannya, pikir gadis itu karena tidak mau terlalu pusing.

"Kamu baru, ya, di sini?" tanyanya lagi.

"Itu bukan urusanmu."

"Lama-lama nanti juga terbiasa dengan bau obat yang ada di troli. Tapi saranku jangan sampai terbiasa karena itu artinya … kamu akan tinggal lebih lama di sini," terangnya tanpa diminta seraya menatap Winnie di akhir kata.

"Jangan sok tau. Aku butuh udara segar bukan karena nggak suka dengan bau obat."

"Lalu?"

Winnie tak segera menjawab. Ia tertegun, menelan ludah susah payah. Benar juga, lantas apa yang membuatnya mual, membanting ponsel dan berlari kemari? Kalau memang itu alasannya, mengapa baru ini ia berniat menjelajahi rumah sakit? Padahal, pil-pil putih tersebut telah menjadi teman tidurnya selama beberapa minggu sebelum tiba di sini.

"I-itu bukan urusanmu."

"Lagi? Aku jadi penasaran, kira-kira urusan apa yang bisa kudengar alasannya."

"Nggak ada."

Tanpa rasa takut--mungkin karena pembatas yang memang kokoh dan lebih tinggi darinya, lelaki itu duduk dan memeluk lutut. Winnie pun kembali menggeser kakinya dan jarak mereka makin jauh. Ia belum berpikiran untuk lari dan berhenti meladeni lelaki asing ini.

"Cuaca lagi nggak menentu, ya. Tadi hujan, sekarang panas."

Tiba-tiba, Winnie mengerutkan kening. Ia masih mencerna pola kalimat yang kurang nyambung dari lelaki di sampingnya ini. Entah mengapa, dibanding enyah dan menghindar, ia justru menunggu dan ingin mendengarkan kalimat selanjutnya.

"Suasana hatimu juga begitu, ya?" Lelaki itu mendongak, menatap mata Winnie tanpa berkedip. Ia tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan telapak tangannya yang lembap dan merah. "Ayo!"

"Ke mana? Jangan sok tau," ucap Winnie lagi sambil memalingkan wajah. "Kalau nggak ada yang mau dibicarakan, pergi aja."

"Ini tempat tinggalku. Aku yang lebih dulu di sini. Agaknya kurang sopan mengusir tuan rumah dari rumahnya, Nona …."

"Jangan memanggilku 'Nona'." Winnie mengacungkan telunjuknya. Ia refleks menatap lelaki di depannya lagi dan memastikan benang merah antara pakaian putih polos dengan ucapannya. "Oke, kalau gitu aku yang pergi."

"Namaku Peter."

"Makasih, tapi aku nggak perlu informasi itu."

"Kamu akan memerlukannya nanti."

Gadis yang terlihat masa bodoh dengan pernyataan itu lantas berdecak dan memutar bola matanya. Ia lekas beranjak kembali ke kamar, meninggalkan Peter yang menatapnya sambil menggigit stik lolipop. Tak sedikit pun Winnie menoleh saat berjalan menuruni tangga, meski sebenarnya ia sempat berpikir: apakah Peter mengejarnya? Menanyakan nomor teleponnya? Atau minimal di mana ruang rawatnya? Atau jangan-jangan lelaki itu sudah tahu bahwa Winnie salah satu penyumbang berita terbesar di media saat ini?

"Buat apa aku memikirkan hal itu?" monolognya setelah sampai di depan kamar.

🌼

"Kalau sampai kamu lari lagi, aku akan mengikatmu di ranjang dan menghabiskan satu ton permen di depan mukamu langsung."

"Kamu tau kalau aku nggak bakal percaya itu, Re."

Peter melepas sandal awannya dan meletakkan di samping nakas. Ia kemudian naik ke kasur dan meraih boneka bunga matahari yang ia bawa dari hunian anak-anak abadi. Tere lekas berdecak. Gadis yang sedari tadi menyeduh teh sambil menunggunya itu hanya mendengkus dan menopang dagu. Tebak, apa yang lantas Peter lakukan saat mendapati teman kecilnya bersungut-sungut demikian?

"Lusa aku bisa pulang."

"Dokter belum bilang apa-apa."

"Aku bisa pulang semauku, Tere."

"Oh?" Tere menyilangkan kaki dan bersedekap. "Kalau gitu, ayo pulang sekarang."

Peter menggeleng cepat. Ia tersenyum lebar hingga ronanya memerah. "Aku masih punya misi."

"Siapa lagi yang kamu temui sekarang, hah?"

"Aku nggak tau."

"Maksudnya?"

"Aku belum tau namanya, Tere."

"Kamu gila."

"Memang, kan?" Peter tertawa. Ia buru-buru turun dan mendekati Tere yang terperanjat.

"Kamu mau apa?"

Peter berlutut dan hendak berbisik, "Kayaknya, gadis itu bersahabat dengan ketakutan terbesarku, Re."

"Terus?" Tere menelan ludah dan terus memundurkan wajahnya yang hanya berjarak sejengkal dengan Peter.

Namun, bukannya menjawab atau meneruskan cerita, lelaki yang semula antusias dengan kegilaannya itu berubah pikiran dan berdiri lagi. Ia berjalan mendekati jendela yang menampakkan taman samping rumah sakit. Tere yang sudah biasa dengan liarnya alam pikir Peter lekas menyusul di samping lelaki itu.

"Apa yang kamu pikirkan, Pete?"

"Kematian."

"Lagi?"

"Itu yang paling dekat denganku sekarang, Re."

"Kupikir aku yang sekarang paling dekat denganmu."

Peter menoleh dan memandangi sahabatnya. "Benar juga."

Keduanya pun tertawa, mengisi ruang yang hanya terdengar bunyi lalu-lalang orang dari luar kamar. Namun, gelak tersebut hanya berlangsung beberapa detik dan menyisakan kecanggungan yang tak bisa diisi apa pun. Bahan percakapan yang biasanya ada-ada saja seolah bersembunyi di tempat terpencil dan sulit dijangkau. Peter yang tidak tahan dengan situasi itu lekas memeluk Tere erat-erat.

Hangat yang menjalar dari pundak ke lengan membuat Tere ikut mendekap dan memejamkan mata. Pelan, ia menepuk-nepuk punggung Peter, seperti yang kerap dilakukannya. Lelaki itu pun berusaha tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca tanpa sebab.

"Kita cari dia lagi, ya, besok," tawar Tere lembut. Ekspresi menyeramkan saat mendapati ranjang kosong--karena Peter berkelana lagi--lekas hilang diterpa getar kalimat dari mulut sahabatnya.

Peter pun menggeleng. "Nggak perlu."

"Kenapa?" Tere melepas pelukannya.

"Aku akan menemuinya kalau dia benar-benar memerlukanku."

Lelaki yang seratus persen sudah merasa membaik itu mengambil bonekanya dan bergegas keluar kamar. Kali ini, ia melambaikan tangan pada Tere, seolah meminta izin untuk menghabiskan hari sebelum senja datang. Ia lantas berjalan cepat menuju kafetaria yang ada di lantai bawah dan memesan latte favorit gadis oriental berambut panjang itu. Tenang, ia tidak akan berlari lagi seperti sebelumnya karena dibanding mati karena itu, ia lebih takut mati karena amukan Tere.

🌻🌻🌻

~ to be continued ~

DAY 1
4 April 2022

Ketemu lagi 🥳

Note:
Peter (dibaca: piter)
Pete (dibaca: pit)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top