• amat lelah •

Winnie melebarkan jubahnya, lalu membawa Peter ke pangkuan yang terus bergetar. Ia lantas menutupi lelaki itu kemudian memeluk erat. Pengap berlindung di balik kain hitam menjadi nomor sekian yang ia perhitungkan, asal dua bedebah yang mengejar mereka dapat enyah tanpa mengetahui gerak-gerik apa pun. Suara langkah kaki yang makin mendekat membuatnya menggigit bibir dan menautkan tangan, meminta pada Tuhan agar bisa bernapas lega.

"Ke mana perginya anak itu?"

"Dia pasti bersembunyi di sekitar sini. Tubuhnya nggak mungkin kuat berlari sejauh itu."

Degup jantung Winnie makin tak karuan. Bergeser satu senti saja ia tidak berani. Percakapan itu sungguh dekat dengannya. Bahkan, asap rokok yang menggelitik tenggorokan mampu menembus perlindungannya dan sangat menggangu. Ia kian meringkuk dan mengembuskan napas di dekat tengkuk Peter, berharap lelaki itu segera sadar dan dapat mencari jalan keluar.

"Ngomong-ngomong, siapa gadis yang dibawanya tadi?"

"Yang jelas dia bukan Nona Tere, Bli. Apa kita perlu memberitau Tuan Hans?"

"Lebih baik begitu, daripada kita lontang-lantung di sini."

"Baiklah, ayo!"

Langkah yang semula seperti berjarak kurang dari lima kaki perlahan menjauh. Sekian detik Winnie mematung, memastikan apakah hening di sekitarnya benar-benar nyata atau hanya tipuan. Entah berapa menit telah terbentuk, ia baru memberanikan diri menyibak jubahnya dan mengedarkan pandangan. Untuk sementara waktu, ia dapat mengembuskan napas panjang dan mengusap dada, lalu menyandarkan tubuh pada pohon besar terdekat.

Berkat pergerakan itu, Peter terusik dan menggeliat. Winnie lekas menegapkan duduknya, bersiap menyambut lelaki yang raut pucatnya sedikit tampak berkat sinar bulan malam ini. Ia segera membantu Peter saat melihatnya kesusahan untuk bangun. Lelaki yang kini tersenyum tipis menghadapnya itu meraih tangannya dan menggenggam sebisa mungkin. Winnie dapat merasakan getaran lemah yang dipaksa kuat karena dirinya.

"Maaf, ya."

Winnie menggeleng. Mendengar suara Peter yang serak dan lirih saja tidak sanggup, apa yang harus ia maafkan?

"Kita pulang aja, ya?" tawar Winnie kedua kalinya.

Peter tersenyum. "Kamu tau, kita udah berjalan berkilo-kilo, lho. Perjalanan ke rumah dan ke kota bakal sama aja."

"Ta-tapi dua orang tadi bilang mau melaporkan ini ke si Hans itu. Aku nggak mau kamu kenapa-napa."

Setelah mendengkus, Peter mendekat dan memegang wajah Winnie. "Justru kalau Paman Hans tau keberadaanmu, kamu yang akan kenapa-napa, Win."

"A-aku nggak masalah."

"Aku yang keberatan." Peter tidak mau kalah. "Aku udah bilang, kan, kalau perjalanan sini ke rumah cukup jauh, jadi lebih baik kita pergi sekarang."

"Kamu udah nggak apa-apa?" Mata Winnie berkaca-kaca. Ia takut, sungguh takut.

"Denger, ya." Peter makin mendekatkan wajahnya hingga membentur kening Winnie. Kini keduanya saling memejamkan mata dan menikmati embusan napas yang membentur pipi masing-masing. "Aku nggak pernah baik-baik aja, jadi kamu nggak perlu khawatir. Ada atau nggaknya kamu di sini, aku akan tetap seperti ini. Bedanya, aku lebih banyak bersyukur, banyak tersenyum, banyak tertawa, dan banyak lainnya. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Oke?"

Winnie menitikkan air mata dan mengecup bibir Peter lembut. "Aku menyukaimu."

"Aku juga."

Mereka pun berpelukan. Tidak lama, mengingat waktu terus mengejar dan menekan momen yang ingin dinikmati. Peter lantas berpegangan pada Winnie dan berdiri, lalu menyalakan lampu pada sepatunya. Winnie juga membuka jubahnya agar kelap-kelip pada renda dapat membantu langkah mereka.

Tumbuhan liar setinggi bahu Peter terus dibabat menggunakan pisau lipat seukuran pergelangan tangan. Meski kecil, ketajamannya mampu memangkas ranting yang menusuk kulit dan menghalangi jalan. Kaki mereka terus menyusuri hutan hingga berhasil keluar dan menemukan jalan yang lebih besar.

Winnie mengeratkan genggamannya. Setelah terbebas dari tanaman yang mengelilingi tubuh, ia makin gemetaran. Sekarang, tidak ada lagi yang menutupi keberadaan mereka. Lebar jalan yang cukup leluasa membuat siapa pun dapat melihat dengan jelas. Ia tak berhenti menatap belakang dan samping. Kalut yang menggelut seakan tak terselamatkan karena mereka tidak bisa berlari.

Peter menyadari kekhawatiran Winnie lewat deru panas dan tingkah lakunya yang tak biasa. Namun, ia harus bersikap tenang hingga keadaan memihak mereka. Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah jarak tempuh yang diambil kini sangatlah jauh dari jalur sebelumnya. Sedikit saja lengah, ia dapat kehabisan daya dan waktu yang terbuang di tempat ini akan sia-sia.

"Pete!"

Tiba-tiba Winnie berbisik dan menguatkan genggamannya, sedangkan Peter terpaku menghentikan langkah. Sosok yang sedari tadi dihindari telah berdiri di depan mereka bersama tiga lelaki berbadan besar. Masih lumayan jauh, tetapi jelas mereka sudah saling pandang dan mengetahui kehadiran satu sama lain.

"Jadi benar, kan, kalau kamu membawa orang baru ke sini?"

Paman Hans memainkan senternya dan berjalan menghampiri mereka. Sontak Peter berdiri tepat di depan Winnie dan merentangkan tangan, berjaga agar gadis itu tak dilihat sama sekali. Ia dan Winnie juga kompak mundur perlahan ketika jarak makin dekat.

"Maaf, Paman. Tapi dia nggak pernah benar-benar mau ke sini. Aku yang mengajaknya."

"Tetap saja, kamu tau aturannya, Pete."

Peter menelan ludah. "Aku bersedia menggantikannya kalau itu yang Paman mau."

Paman Hans seketika terkekeh. "Kamu pikir aku mau membunuhnya? Jangan bodoh, Peter. Aku memang membuat tempat ini sebagai peristirahatan mereka yang menginginkan kematian dengan mudah, tapi bukan berarti main menghabisi nyawa orang gitu aja."

"Lalu, apa mau, Paman?"

Lagi, Paman Hans melangkah mendekat. "Aku nggak mungkin membiarkan orang asing keluar dari sini dengan informasi sebanyak itu. Kalau dia melaporkanku, gimana? Nasib kalian juga yang menjadi taruhannya."

"Itu nggak akan pernah terjadi. Dia nggak akan pernah melakukan itu."

Paman Hans menyeringai dan menggeleng. Sinar lampu dari senter yang ia bawa, juga dari anak buahnya, makin membuat bulu kuduk berdiri. Winnie terus menunduk dan memejamkan mata, bersandar pada punggung Peter dan tak henti merapalkan dia di dalam hati.

"Nggak ada yang bisa menjamin itu semua, Pete."

"Aku rela mati kalau hal itu terjadi. Kumohon, Paman, biarkan dia pulang. Tempatnya bukan di sini."

"Aku memang pantas berterima kasih padamu dan Tere karena mau mengurus rumah singgah, tapi ini lain ceritanya, Pete. Serahkan dia dan ayo pulang."

Peter menolak. Ia tahu, ketika menyerahkan Winnie, Paman Hans akan menghapus identitas gadis itu sedemikian rupa agar bisa menetap bersama mereka, seperti yang dilakukannya pada anak-anak terlantar berpenyakit yang ia bawa dari kota. Tanpa jejak, tanpa beban, tanpa huru-hara pencarian apa pun. Selagi lelaki itu bereksperimen membuat obat dari hasil hutan, ia dan anak-anak abadi lainnya harus berbahagia dengan kehidupan yang ada.

Seolah memang terlihat indah jika dapat melakukannya dengan Winnie. Namun, gadis yang ia sukai sejak di atap rumah sakit itu memiliki masa depan yang berbeda jauh darinya. Peter tidak bisa egois.

"Maafkan aku, Paman. Tapi--"

"Lari, Pete!"

Seruan dari sisi kanan mengejutkan siapa pun yang ada di sini. Gadis berpakaian hitam-hijau muncul dari belukar di dekat Paman Hans dan melempar kembang api yang meledak tak karuan ketika mengenai bebatuan. Seketika asap dan bau menyengat pun mengerubungi mereka.

"Sialan! Apa ini?"

"Ayo, cepat lari!"

Tere menarik tangan Peter dan membawanya menjauh dari Paman Hans, sebelum penghalang yang membuat mereka kesusahan perlahan sirna. Ia terus berlari hingga menemui hamparan ilalang yang dapat menyembunyikan mereka. Gadis itu segera berhenti, lalu mendudukkan Peter dan Winnie. Ia kemudian kembali ke arah sebelumnya dan membakar area tersebut menggunakan korek api batangan.

"Apa yang kamu lakukan, Re?" tanya Peter setelah sahabatnya muncul lagi.

"Biar mereka nggak bisa ke sini. Kita masih punya jalan lain. Mereka belum tentu tau itu."

Tere menyerahkan dua pil putih pada Peter untuk segera diminum. Lelaki itu lekas menurut, lalu memeluknya setelah selesai. Winnie yang melihatnya hanya terdiam dan menggigit bibir.

"Makasih, kamu selalu punya cara buat menolongku."

Tere tersenyum. "Risiko ini tanggung jawabku, jadi kamu nggak perlu berterima kasih."

"Tapi, tetap aja--"

"Pete," Tere melepaskan pelukan sahabatnya, "suka nggak suka, Paman Hans itu paman yang membesarkanku. Aku yang membawamu kemari setelah tau keinginanmu dulu. Apa yang terjadi sekarang kita hadapi bersama. Kan?"

"Sekali lagi terima kasih."

Winnie ikut tersenyum dan menatap Tere sendu. "Makasih, Re."

"Ayo, pergi dari sini. Apinya makin dekat."

🌻🌻🌻

~ to be continued ~

DAY 23
28 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top