Raja dan Penyihir

Seseorang mengetuk kamarku beberapa kali lalu masuk sebelum aku memperkenankan. Meskipun biasanya seperti itu, aku masih merasa tidak nyaman, padahal aku sudah mengatakannya beberapa kali bahwa jangan masuk ke kamarku sebelum aku mengizinkan. "Hari ini Anda memiliki jadwal pertemuan dengan Putri Casia dari Kerajaan Timur, setelah itu ...." Aku tak mau mendengarnya lagi, jadi aku langsung turun dari ranjangku dan pergi ke kamar mandi untuk bersiap.

Putri Casia dari Timur, calon tunanganku yang kedua setelah pertunanganku yang sebelumnya batal. Aku sebenarnya tidak masalah dengan siapapun aku akan menikah karena pernikahan ini tidak dilandaskan oleh cinta melainkan untuk mempererat hubungan diplomatik di antara kedua kerajaan. Setelah aku bertemu dengannya dan berbincang sesaat, aku akan kembali pada rutinitasku yang membosankan, tidak akan ada yang berubah, jadi sebaiknya cepat aku selesaikan agar waktuku tidak banyak terbuang.

Di ruang pertemuan, aku duduk di samping Yang Mulia Ratu sembari menunggu pihak Kerajaan Timur datang. Setelah ini, aku harus membantu menyelesaikan persoalan mengenai meningkatnya kasus perampokan di wilayah barat. Kekeringan yang terjadi belakangan ini menjadi penyebab utama orang-orang nekat untuk mencuri, namun aku juga belum menemukan solusi untuk mengatasinya, apa untuk sementara—

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Tidak lama kemudian, tiga orang dengan model pakaian yang terlihat asing datang. Aku langsung tahu mereka dari Kerajaan Timur. Kami lalu berdiri untuk menyambutnya datang hingga ketiganya berdiri di depan kursi dan kami semua duduk bersamaan.

*

"Putri Casia akan tinggal di istana selama beberapa waktu untuk mengenal tempat yang akan menjadi rumah barunya."

Di sini aku, di ruang kerja yang biasa diisi olehku dan para orang tua sekarang berisikan aku dan seorang gadis yang sedang sibuk dengan bukunya. Sebenarnya ibu meminta kami untuk mengobrol, namun sejak tadi masih banyak tugas yang menumpuk, Putri Casia pun sepertinya tidak ingin aku merasa terganggu saat sedang bekerja.

"Buku apa yang sedang kamu baca belakangan ini?" aku berinisiatif untuk bertanya lebih dulu.

"Saya sedang membaca buku Penyihir dan Raja Bijaksana."

"Tentang penyihir yang menghancurkan desa untuk membangun wilayahnya sendiri, ya."

"Benar."

"Sudah sampai mana Anda membacanya?"

"Tinggal sedikit lagi. Akan segera saya selesaikan," balas Putri Casia segera mengangkat buku yang dipegangnya.

"Bacalah dengan nyaman, tidak usah terburu-buru," jawabku lalu kembali menyalin dokumen di atas meja.

Cerita penyihir dan raja yang bijaksana adalah salah satu cerita populer di kerajaan ini, di ambil dari sebuah syair lama yang mengisahkan tentang penyihir-penyihir jahat yang ingin merebut kekayaan milik penduduk desa. Setelah mereka mencuri hampir semua hal yang dimiliki oleh tuan tanah, mereka memperlakukan pemilik sebelumnya dengan semena-mena hingga kejadian ini terdengar ke telinga raja dan membuatnya turun tangan secara langsung pada para penyihir. Raja itu mendengarkan segala keinginan para penyihir dan memberikan salah satu wilayah kerajaan pada mereka. Namun, masih ada penyihir yang merasa tidak puas dan kembali memperbudak penduduk. Raja yang mendengar itu menjadi sangat murka dan memerintahkan semua kestarianya untuk mengasingkan penyihir yang menyakiti rakyatnya. Sayangnya, ada seorang penyihir yang berhasil kabur dan kembali ke tanah baru para penyihir untuk mengadu. Akhirnya, penyihir-penyihir itu bekerjasama untuk membunuh raja. Rencana mereka berhasil, namun belum sempat para penyihir pembunuh itu pergi, pasukan kesatria telah mengepung mereka dan membunuh semua penyihir yang ada di sana. Dikisahkan saat itu, malam kehilangan bintangnya selama beberapa hari karena langit pun sedang berduka.

Setelah beberapa hari tinggal di sini, aku jadi tahu Putri Casia sangat suka membaca. Ibu bilang, Putri Casia suka menemaninya minum teh dan membaca buku. Terkadang, ia juga menceritakan buku-buku yang pernah ia baca. Mungkin sebab itu, ibu jadi mengganti teh yang biasa ia minum dan mengganti beberapa bunga yang ada di dalam istana.

Suara pintu yang tertutup membuyarkan lamunanku. Di depan, kulihat Putri Casia membawa sebuah nampan berisi satu set cangkir teh dan sepiring kudapan. "Belakangan ini saya melihat Anda terlalu banyak bekerja. Jadi, saya membawakan teh. Mungkin ini terdengar tidak sopan, tapi tolong beristirahatlah sebentar."

"Tidak apa. Duduklah di sini." Aku menggeser kursi yang terletak tak jauh dari meja kerjaku.

"Kapan tugas ini selesai?" tanpa sadar aku bermonolog, melihat tumpukan kertas yang kontras dengan cangkir teh yang biasa kunikmati di waktu senggang dulu.

Aku lupa tidak hanya aku yang berada di ruangan ini. Memalukan sekali. Tanpa sadar aku menoleh pada Putri Casia, melihatnya sedang tersenyum, "Ditakdirkan menjadi seorang raja artinya Anda dianugerahi kekuatan yang besar. Di antara ribuan orang di kerajaan ini, Anda yang paling mampu untuk memimpin banyak orang."

"Saya paham bahwa menjadi seorang pemimpin bukan hal yang mudah, namun saya harap saya bisa lebih banyak membantu di masa depan nanti." Putri Casia lalu mengangkat cangkirnya, meminum teh sembari melihat orang-orang yang berlalu lalang dari jendela.

"Anda benar. Terima kasih sudah mengingatkan saya."

Putri Casia tersenyum lagi dengan wajah yang tersinari matahari senja, mata sayunya melihatku hangat. "Anda bisa memanggil saya Casia saja jika sedang berdua." untuk sesaat, rasanya aku seperti tersihir, tanganku seakan ditusuk ratusan jarum tumpul selama beberapa detik.

"Sepertinya Anda demam. Saya akan keluar untuk memanggil tabib."

*

Pesta pengangkatan raja baru berjalan dengan baik. Semua orang bersorak dan bertepuk tangan dengan meriah. Semua orang menatapku penuh harap, mengerumuniku sambil mengatakan ucapan selamat. Sungguh, ini hari paling mendebarkan dalam hidupku. Sekarang tangan ini bertanggung jawab atas ribuan orang yang mempercayaiku.

Dulu aku berpikir bahwa aku tidak akan mampu sampai di titik ini jika saja Casia tidak berada di sisiku. Tanpanya, aku masih berpikir bahwa tanggung jawab ini sangat membebaniku dan mungkin aku tidak akan bisa menjadi raja yang baik.

"Bilang pada ibu untuk jangan lama-lama." Aku mengusap kepala Casia sebelum ia masuk ke dalam ruangan.

Casia tersenyum, "Aku masuk dulu."

Sementara Casia dipanggil oleh ibu, aku kembali ke kamar. Namun, entah mengapa aku merasa aura di sini lebih mencekam daripada biasanya. Apa mungkin perasaanku saja? Belakangan ini aku bertemu banyak orang, wajar jika merasa sepi setelahnya.

Kecurigaanku benar. Di jendela kamar, kulihat seorang wanita sedang duduk memunggungi cahaya bulan. Hanya bayangan hitam yang terlihat.

"Jujur saja, aku masih sakit hati karena pembatalan pertunangan kita waktu itu. Padahal, jika aku berhasil menjadi ratu, para penyihir pasti bisa mendapatkan kejayaannya kembali." aku tahu suara ini, suara mantan tunanganku dulu yang dibatalkan karena memiliki latar belakang palsu.

"Kau sendiri juga tahu apa yang sebenarnya terjadi kan?"

"Aku tahu tapi sedari awal pun, kami sudah menipu raja terdahulu karena sebenarnya penyihir membutuhkan energi manusia untuk bertahan hidup. Karena wujud kami berbeda dengan manusia biasa, kami harus mengubah wujud kami dengan sihir dan itu tidak sebanding dengan energi yang kami serap dari manusia. Percuma saja."

Aku berjalan mendekat. "Apa yang kau inginkan sekarang?"

"Meskipun sudah terlambat untuk mengubah takdir sekarang, aku akan tetap membalaskan dendam para penyihir. Dengan energi yang sudah kami kumpulkan bertahun-tahun, aku akan menyebarkan wabah pada penduduk besok."

"Apa kau sudah tidak waras? Jangan libatkan orang tak bersalah dalam rencana jahatmu."

"Aku masih punya opsi lain. Opsi yang hanya diberikan olehku." Penyihir itu terdiam sebentar. "Kau bisa menukar nyawa rakyatmu dengan salah satu orang yang paling berharga bagimu." Penyihir itu lalu memunggungiku. "Wabahnya akan membuat seseorang mati dalam tiga hari, maka cepat putuskanlah," ucap penyihir itu.

"Panggil namaku tiga kali jika kau sudah memutuskan." lalu, penyihir itu menghilang sebelum aku mendengar pintu kamar dibuka.

"Apa yang baru saja kudengar?"

*

"Masih ada satu buku lagi. Buku pertama dari Raja dan Kutukan Para Penyihir, tapi aku tidak pernah menemukannya di toko buku paling besar sekalipun."

"Di mana toko buku tertua di sini?"

"Ada di kota seberang, sekitar setengah hari dari sini."

"Kita berangkat sekarang." Casia segera mengambil tasnya dan memasukan baju dengan cepat.

"Aku akan membawa persediaan makanan," ucapku berjalan cepat menuju dapur.

Jika cerita tentang penyihir dan raja itu dijadikan petunjuk, bisa kusimpulkan bahwa para penyihir bisa dikalahkan oleh manusia biasa, tapi para kesatria tidak bisa diturunkan untuk memusnahkan para penyihir jika banyak dari mereka yang terkena wabah. Apa aku harus mengerahkan sisanya? Namun jika mereka ketahuan, kami benar-benar akan kalah.

"Mau ke mana buru-buru begitu?"

"Ibu?"

"Apa ada sesuatu yang terjadi?"

"Tidak ada. Ibu jangan khawatir."

"Jangan berbohong, katakan saja."

Aku khawatir jika ibu akan terlalu kaget, namun bagaimana pun wabah akan terjadi besok. Tidak akan ada yang berubah jika aku mengatakannya sekarang.

"Panggil Casia ke kamarku."

*

"Buku itu tidak akan kamu temukan di manapun. Ibu sudah pernah mencarinya dulu. Namun, ibu pernah mendengar cerita dari nenekmu bahwa penyihir bisa kalah dengan batu anti sihir."

"Batu anti sihir?" tanya Casia.

"Benar. Namun karena Demian tidak suka mendengar dongeng, ibu tidak pernah menceritakannya pada siapapun." Ibu menjeda kalimatnya, "Kamu masih membawa kalung yang ibu beri?" tanya ibu yang dibalas anggukan oleh Casia.

"Dari cerita keluarga raja secara turun temurun, dikatakan bahwa batu dari kalung itu dapat menangkal sihir. Mungkin sebab itu ibu bisa mengetahui keanehan pada tunanganmu yang pertama."

"Tapi, akan butuh waktu untuk membuat pedang yang baru," ucapku membalas.

"Benar, namun kita masih menyimpan pedang yang digunakan para kesatria dulu. Carilah di gudang, pedang dengan bilah berwarna hijau."

*

Aku memanggil penyihir yang datang padaku kemarin. Seperti yang ia bilang, dia benar-benar datang saat aku menyebut namanya sebanyak tiga kali.

"Wah wah, cepat sekali, seperti sedang menjebakku saja."

"Benar." Casia mendekatinya dan memasangkan gelang dengan batu anti sihir dari kalungnya sehingga si penyihir tidak bisa kabur.

"Aku sudah tahu, maka dari itu, para penyihir sudah membuat diri mereka sekarat dan mati untuk membuat waktu kematian wabahnya menjadi hari ini."

"Sialan." aku mendorong penyihir itu dengan pedang anti-sihir yang telah kuperbaiki sebelumnya.

"Kau tidak bisa menyembuhkan semua penduduk dengan batu anti sihir yang terbatas itu, pun dengan membunuh penyihir yang tersisa karena kau sendiri tidak tahu di mana mereka sekarang, jadi cepat putuskan siapa yang akan kau korbankan?"

"Ambil saja nyawaku."

"Jangan bercanda!"

"Ini sudah malam, kita tidak punya waktu lagi untuk berdebat. Lagipula aku ini 'abadi'. Aku akan tetap hidup selama seseorang mengingatku."

"Lalu sang raja menjadi gila dan kerajaannya hancur bersama musnahnya kaum penyihir."

Jangan terpancing, pasti masih ada jalan keluar.

"Pukul berapa ya sekarang? Apa hampir tengah malam?"

"Lalu apa yang akan kau lakukan Demian? Menunggu sampai tengah malam dan membuat rakyatmu mati, begitu?!" bentak Casia.

"Seratus dua puluh, seratus sembilan belas, seratus delapan belas ...."

"Biar aku saja yang mati."

"Tidak bisa, kau pemilihnya di sini."

Casia mengambil kembali gelang yang ia pasangkan pada penyihir. "Buat dia bicara untuk memilihku."

Belum sempat aku bicara, kesadaranku seolah hilang, namun masih bisa kulihat Casia perlahan menghilang bersama penyihir itu dan lenyap bersama dengan suara lonceng jam yang menandakan hari telah berganti.

Aku benar-benar menjadi raja yang kutakutkan dari dulu sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top