My Oliver Sykes

Aku menyukainya, tidak sama seperti orang lain menyukainya.

Bukan karena dia sangat sempurna seperti tokoh utama di setiap novel fiksi yang kubaca, tetapi karena satu hal yang tidak pernah kutemukan di sosok lain. Memang, dia sesempurna itu, sih, Ketua OSIS, social butterfly, ganteng, pintar, dan jago hampir di segala bidang. Tapi aku tidak akan menggilainya jika dia sama saja seperti sosok sempurna yang biasa kubaca di novel. Kalau dia sama saja, lebih baik aku bercinta dengan karakter yang tidak pernah ada, daripada mengejar-ngejarnya seperti orang gila.

"Orang jatuh cinta tuh ternyata bukan cuma buta, tapi juga tuli, ya?" Sabrina memasang wajah masam saat ikut menonton video yang sudah kulihat ratusan kali di bulan Juli ini. "Suara Panji tuh jelek banget, Chel, sadar!"

Aku cengengesan mendengar itu. "Ya bagus, suaranya cuma ganteng di telingaku. Kalo ganteng di telingamu juga, nanti kamu naksir!"

Panji memang punya satu kekurangan, tidak bisa bernyanyi. Di video itu juga dia bukannya menyanyi, tapi lagi screaming a la Oliver Sykes. Tidak banyak yang menyukai penampilannya sewaktu acara pensi sekolah bulan lalu, tapi karena aku pecinta berat Bring Me The Horizon, aku langsung cinta mati padanya.

Sabrina bergidik, memasang tampang jijik yang dibuat-buat. "Panji tuh cuma cowok mainstream yang suka tebar pesona." Lantas gadis itu berlalu dari hadapanku, kembali ke lapangan untuk melatih adik tingkat yang tengah latihan upacara.

Sejak hari itu, hari-hariku dipenuhi tentangnya. Aku senang bisa melihatnya di mana-mana, ada untungnya juga menyukai sosok yang sangat aktif sepertinya. Dia akan berada di sekolah setiap hari, dengan jaket hitamnya yang digulung hingga setengah lengan, dengan senyum manis yang tersungging ramah di wajahnya, matanya yang ikut tersenyum kala dia menyapa orang yang dilaluinya. Barangkali, aku beruntung karena bertemu sosok sesempurna itu di tengah dunia yang cacat ini.

Sabtu siang sekolah selalu ramai. Semua ekstrakurikuler berbagi lapangan dan ruang kelas untuk melakukan latihan atau sekadar pertemuan rutin. Sabtu adalah hari yang paling menyenangkan, karena biasanya Panji akan berkeliling mengontrol kegiatan ekstrakurikuler yang berlangsung, karena dia adalah ketua OSIS. Aku akan dengan senang hati pulang maghrib, atau duduk di tengah lapangan di podium upacara, hanya untuk melihat mobilitasnya seharian.

***

Aku kira, perasaanku terhadap Panji hanya akan bertahan satu dua bulan, salah. Semakin banyak kebodohan yang kulakukan, semakin aku jatuh cinta padanya. Aku akan datang terlambat ke sekolah asalkan bisa menyapanya di depan gerbang sekolah, aku pernah menulis namanya besar-besar di papan tulis kelasnya, sering pura-pura salah kirim agar bisa berbincang dengannya walaupun balasannya selalu singkat dan padat, meskipun hal-hal yang kulakukan itu mempermalukan diriku sendiri, anehnya, aku malah merasa semakin dekat kepadanya, walaupun yang terjadi sebenarnya kami tidak pernah menjadi sedekat itu.

Suatu hari, sepulang sekolah entah setan apa yang merasukiku, aku menelpon nomornya. Saat itu, seperti biasa, aku tidak langsung pulang ke rumah, aku duduk di pinggir lapangan bersama teman-teman satu ekskul, sementara mereka berbincang, ide gila itu muncul dengan kurang ajar di kepalaku.

Pada dering ketiga dia mengangkat telepon itu, "Halo, Assalamualaikum?"

Jantungku berdentam-dentam mendengar suaranya. Aku tidak menjawabnya karena takut ketahuan, lantas dia ulangi salamnya berkali-kali, "Halo, Assalamualaikum? Halo, Assalamualaikum?"

Hening, tapi aku takut dari seberang sana dia mendengar suara detak jantungku. Aku menoleh ke kana kiriku, kalau-kalau temanku sedang memergokiku mematung seperti malin kundang yang tiba-tiba terkena kutukan.

"Neng, kalo orang ngucap salam itu dijawab."

Seketika itu, jantungku seakan keluar dari tempatnya, saat mendengar suara itu di seberang telepon, dan di belakang punggungku. Sambil menutup mata, kumatikan telepon, berbalik penuh ke asal suara.

Benar saja, Panji di sana. Satu tangannya menggenggam helm, sementara tangannya yang lain masih menggenggam ponsel yang tertempel di telinga. Aroma tubuhnya yang khas menusuk indera penciumanku. "Kenapa nelpon?"

Aku tergugu.

Sumpah mati aku ingin bumi menelanku saat itu juga. Rasanya kedua pipiku sudah terbakar oleh malu. Kupaksa otakku yang bodoh ini mencari alasan yang masuk akal. "A- aku salah pencet, ta-tadi mau nelpon Abang, mau minta dijemput."

Bohong. Aku anak pertama, aku juga tidak tahu abang mana yang kumaksud. Namun, hanya alasan itu saja yang bisa muncul dalam hitungan detik di otakku yang kecil ini.

"Mau pulang bareng nggak?" Perkataan Panji sungguh di luar nalar.

Kakiku rasanya lemas sekali. Begitu melihat ke sekitar, aku sadar semua orang tengah melihat ke arah kami berdua.

"Bohong, Ji. Itu Rachel nelpon mau bilang I love You katanya." Salah satu dari teman ekskulku berbicara, memperkeruh suasana.

"Dia nggak punya abang, Ji. Jangan percaya."

Habis sudah mukaku di hadapannya.

"Ayo, kalo mau pulang bareng,"ujarnya, mengabaikan ucapan-ucapan kompor dari teman-temanku. Suasana langsung riuh, sementara aku sudah berkeringat dingin. Tidak mungkin aku iyakan ajakan itu, aku bisa mati di jalan karena deg degan. Sekarang saja aku sudah hampir mati karena menanggung malu.

"Nggak usah, Ji, ini aku mau nelpon abangku aja."

Selepas itu, entah bagaimana, seisi sekolah tau aku mengejar-ngejarnya. Kami tidak bisa berada di satu ruangan yang sama, karena semua orang pasti akan meledekku. Entah berapa lama aku bertahan menjadi perempuan tidak tahu diri, sampai suatu hari aku melihatnya pulang sekolah sembari menggandeng tangan perempuan lain.

Sabrina benar. Dia hanya laki-laki mainstream yang memiliki segalanya, dan terlalu sopan untuk menolak ngengat-ngengat yang berputar di sekitarnya. Aku salah satunya. Bahkan setelah menyaksikan sendiri kejadian itu, aku hanya patah sebentar, kemudian terus bertahan mencintainya hingga bertahun-tahun sesudahnya, seperti orang bodoh. Sebab, belum kutemukan Oliver Sykes sebaik dirinya, dan mungkin memang tidak akan kutemukan lagi manusia yang sesempurna dirinya.

Masa SMA itu sudah lama berlalu, jika kupikir berkali-kali, aku sudah benar-benar kehilangan muka di hadapannya, mengingat betapa seringnya aku mempermalukan diri sendiri demi menunjukkan eksistensiku di hadapannya, demi melihat responsnya. Namun, meski begitu, dia tidak pernah sekalipun menyakitiku. Bahkan setelah aku memutuskan untuk tidak menunjukkan diri di hadapannya, dia tetap tersenyum dan membalas status-status yang kutulis di media sosial.

Kulakukan itu bertahun-tahun, hingga ada masa di mana kami kehilangan kontak. Bahkan setelah tahun-tahun yang kulalui tanpanya, aku tetap memikirkannya. Tetap menuliskan namanya di buku-buku catatanku, hingga semua teman kampusku tahu cerita tentang dirinya.

Lalu, suatu malam seorang teman berkata, "Chel, Panji minta nomor kamu, katanya mau cerita."

Kau tahu, semua yang ditakdirkan untukmu, akan selalu kembali kepadamu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top