Dongeng Nenek sudah tercecer; tidak lagi utuh. Hanya tersisa beberapa keping dalam ingatan: kancil dan buaya yang bisa berbicara, cermin penyihir, saudagar kaya, dua saudari tiri, sesajen, Gunung Barat, dan seseorang yang memakai topeng.
Sangat berantakan. Jadi, bisakah kalian menyatukan keping-keping itu menjadi utuh? Nenek tidak minta serupa, cukup satu kisah utuh.
~~
"Nduk, ingat cerita dongeng Eyang, ndak?" tanya Nenek Kamala sambil menyandarkan punggung di kursi goyang.
"Ingkang pundi, Eyang Uti?" tanya Kamala menghentikan gerakannya bermain masak-masakan dengan adiknya.
"Ci kancil bantu buaya? Bawang melah cama bawang putih? Putli calju? Cindelela?" tanya Binaya, adik Kamala, ikut menoleh bersemangat.
"Sedaya, Nduk, ingkang utuh."
"Ceingatnya Adek yo Eyang Uti!" pekik Binaya sambil berdiri lalu mendekat ke kursi Nenek.
~
Alkisah seorang pemuda jatuh cinta pada anak saudagar kaya. Namanya Loka, pemuda kurus, paras biasa saja, keuangan yang penting cukup. Sedangkan, sang rembulan yang dicinta, yaitu Asmara, begitu ayu, keuangan sangat berkecukupan, setiap langkahnya selalu mengundang para pujangga untuk sejenak memandang keindahannya. Sang pemuda memiliki kakak tiri yang suka bersemedi di Gunung Barat selalu ditemani sesajen.
~~
"Binaya, jangan ngarang cerita aneh-aneh, Dek," sela Kamala. "Eyang nggak pernah cerita itu!"
Binaya menoleh memandang Nenek yang kini mengelus kepala Binaya.
"Ndak pelnah ya Eyang?" tanya Binaya dengan wajah panik.
"Dereng, Nduk, ndak papa cerita, mungkin Romo yang cerita."
Binaya tersenyum kembali. Kamala kini yang cemberut.
~
Sang kakak tiri, Laka, lebih disegani oleh orang-orang, dia memiliki aura memikat yang sangat tinggi. Banyak gadis belia terpikat padanya. Namun, bagi Loka, kakaknya malah memiliki aroma campuran sayur dan bunga busuk, disertai wangi tanah.
Pada suatu hari yang cerah, Laka berkoar di desa tentang dia akan meminang Asmara saban hari dari sekarang. Gemuruh petir langsung menyerang hati Loka. Wajahnya makin tertekuk kesal tiap memandang kakak tirinya.
"Kita punya apa, Kak?" tanya Loka sinis.
"Dalam waktu dekat, aku juga akan jadi saudagar kaya," ledek Laka. Loka mengernyitkan dahi. Menurut Loka, Laka terlalu percaya pada hikmah Gunung Barat-nya.
"Mana mungkin Asmara mau sama Kakak," ujar Loka.
"Aku sudah menyimpan tanggal lahirnya, serta untaian rambutnya, tinggal tunggu waktu."
Loka terbelalak. Hatinya makin sakit. Dia tahu dia sangat jauh untuk memiliki Asmara, tetapi dia sangat sakit hati kalau Asmara bersama Laka, terlebih apabila bukan karena Asmara mencintai Laka.
~
"Adek, ceritanya kenapa cinta-cintaan gini!" seru Kamala kesal. "Santet-santetan lagi, belajar dari mana kamu?"
"Ndak papa, Nduk, dengerin sampai tamat dulu," kata Nenek.
~~
Benar saja beberapa hari kemudian kabar Laka hendak menikah dengan Asmara sudah sampai ke berbagai penjuru. Kemudian Loka menangis di tepi sungai. Meratapi nasib Asmara yang akan menikah dengan kakak tiri Loka yang Loka tahu sendiri kerjaannya hanya bersemedi di Gunung Barat.
"Mengapa Engkau menangis?" tanya sebuah suara sayup-sayup. Loka segera menghapus air matanya. Loka menoleh mencari sumber suara.
Tidak ada siapa-siapa. Loka menganggap dirinya berhalusinasi.
"Mengapa Engkau menangis?" Ulangan tanya itu bergaung di udara.
Loka menoleh dengan panik kembali, masih tidak ada orang.
"Mengapa Engkau menangis?" Tiga kali sudah pertanyaan itu.
"Siapa Engkau?!" tanya Loka tegas. Seorang pria berbadan tegap muncul dari balik pohon. Pria tersebut mengenakan topeng merah. Loka langsung berdiri dan menyiapkan kuda-kudanya.
"Saya adalah penunggu hutan," ujarnya. Loka masih tetap di posisi siap menyerang. Pria itu duduk bersila di tanah. "Saya dengar Engkau menyebut-nyebut Asmara dan Laka. Saya tahu mereka hendak menikah, jadi ada apa? Engkau mencintai Asmara?"
Loka tertegun. Dia memandang topeng pria itu dengan curiga lalu akhirnya menjawab setelah beberapa menit menimbang-nimbang. "Ya, saya teramat sangat mencintainya."
"Mengapa tidak meminangnya?"
"Saya ingin dia bahagia, punya apa saya hingga berani meminangnya yang selalu menjadi putri istimewa ayahnya," ujar Loka lesu.
"Lantas mengapa Engkau menangis kalau dia bahagia menikah dengan Laka?"
"Laka adalah kakak tiri saya, saya mengerti semua seluk-beluk dia. Asmara pantas mendapat yang jauh lebih baik."
"Siapa?"
"Mungkin saudagar kaya seperti ayahnya," keluh Loka.
"Jadi Laka tidak cukup baik?"
Loka diam, dia selama ini selalu menyembunyikan kegiatan kakak tirinya pada orang lain. Kemudian Loka tertawa.
"Kalau Engkau benar-benar penunggu hutan, Engkau pasti tahu jawabannya."
Pria itu tidak menimpali.
"Saya tahu Engkau hanya berkelakar mengenai penjaga hutan, Engkau manusia biasa."
"Dan Laka?"
"Jika Engkau benar-benar penasaran, pergi lah ke Gunung Barat."
Tangan pria bertopeng mendadak seperti mengepal.
"Apa yang dia lakukan pada Asmara?"
Loka menggeleng, tidak menjawab.
"Maka beritahu ayah Asmara."
"Terakhir saya ke sana, saya diusir penjaga pintu depan." Loka menghela napas. "Saya bahkan pernah mengirim surat, entah sampai atau tidak."
"Hanya itu?"
"Saya selalu menunggu Asmara atau ayahnya keluar, tetapi Asmara setiap keluar selalu dikelilingi dayang-dayang, sedangkan ayahnya selalu naik kereta kuda. Saya tidak bisa berbicara dengan mereka."
"Saya tahu jalan masuk ke sana," ujar pria bertopeng merendahkan suaranya. "Masuklah ke sana tengah malam hari ini, ayahnya pasti berada di menara utara sedang menghitung uang. Ceritakan sejujurnya tentang Laka."
~~
Malamnya, Loka masuk ke rumah Asmara melalui jalan yang diberitahu oleh pria bertopeng. Loka sekelebat membatin bahwa mungkin pria itu mantan maling. Benar saja, mudah bagi Loka untuk masuk tanpa bertemu penjaga. Bahkan di sepanjang lorong yang dia lalui, banyak sekali peti harta dan perhiasan terbuka. Loka makin suudzon pada pria bertopeng tersebut. Kemudian, dia tertegun ketika melewati depan sebuah kamar yang gordennya terbuka sedikit, menampilkan Asmara yang sedang terlelap. Loka dengan segera memalingkan pandangannya agar tidak menatap Asmara.
Tujuannya malam ini adalah menemui ayah Asmara, bukan mengganggu Asmara. Dia kemudian meneruskan langkahnya ke ruangan yang diberitahu pria bertopeng. Mulutnya melongo menatap ruangan tersebut dipenuhi panji-panji emas. Ayah Asmara tidak ada di sana. Loka menghela napas kemudian segera keluar ruangan. Dia bimbang, dia ingin menulis surat, tetapi dia lupa tidak membawa kertas dan pena. Dia tidak mau memakai barang orang tanpa izin. Oleh karenanya, Loka memilih untuk kembali keluar melalui jalan yang tadi dia lewati.
Naas, baru beberapa langkah keluar dari ruangan, dia langsung diserbu beberapa penjaga. Di belakang mereka, ayah Asmara melipat tangan menatapnya tajam. Loka digeledah, Loka hanya membawa sekantong kecil sesuatu diikat di pinggangnya.
"Media guna-guna, Tuan," jelas Loka gugup. "Saya ingin menceritakan tentang Laka. Ini demi masa depan Asmara, Tuan."
Ayah Asmara menghela napas, membuka kantong tersebut. Dia kemudian mengajak Loka masuk ke salah satu ruangan, dan mempersilahkan penjaganya untuk pergi.
"Saya merasa aneh, Asmara mendadak menerima pinangan orang yang tidak dia kenal dan terlalu tergesa. Saya tahu ada yang tidak beres. Ceritakanlah, Nak!"
~~
Seperempat jam Loka menceritakan semuanya tentang Laka. Ayah Asmara dengan sabar mendengarkan sambil menendang-nendang meja.
"Lantas bagaimana cara melepaskan diri dari kekuatan itu?" tanya ayah Asmara. Loka tertegun, bukan karena bingung cara menjawab pertanyaannya, tetapi terkejut mendengar bahasa yang sepertinya pernah dia dengar.
"Mandi kembang tujuh rupa," jawab Loka. "Saya bisa mengantarnya, Anda tidak perlu khawatir pada saya, Tuan. Utus saja dayangnya membersamainya."
"Kalau guna-gunanya benar-benar lepas, Nak, kamu akan saya pekerjakan berjualan bersama saya. Saya sudah mengujimu dengan harta benda, dan kamu bahkan tidak menyentuhnya sama sekali."
Loka terdiam.
"Sayalah yang menuntun jalan masuk ini padamu, Nak Loka, saya pria bertopeng penjaga hutan."
Loka menatapnya dengan terkejut, walau tadi dia memang sempat curiga mendengar kata 'lantas'.
"Kemudian untuk Laka, saya akan melaporkannya pada tetua desa, Gunung Barat akan lebih ketat pengawasannya. Tenang, kakak tirimu tidak akan kenapa-kenapa."
Wajah Loka yang tadinya takut langsung lebih rileks atas kalimat terakhir ayah Asmara.
"Kemudian untuk Asmara, saya juga menguji kamu melewati kamar Asmara, tetapi kamu sama sekali tidak mengusiknya, saya izinkan kamu berteman dengan Asmara setelah dia sembuh dari guna-guna. Saya tahu kamu tulus padanya sampai kamu menangis sendu di tepi sungai, tetapi untuk hati Asmara, biar Asmara sendiri yang menentukan, tetapi saya akan membuka gerbang untukmu agar bisa berteman dengan Asmara."
Mata Loka membulat sempurna. Kakinya gemetaran, dia bahkan tidak sanggup mengucapkan apa pun.
"Jikalau dalam waktu sebulan kamu memang bakat berdagang, saya akan bantu kamu bagaimana cara mendekati Asmara. Nah, Nak Loka, malam ini istirahatlah dulu di kamar depan, besok pagi Asmara dan dayangnya akan ikut kamu melepas guna-guna itu. Setelah itu ikut saya berdagang di kota."
"Saya ... saya .... Terima kasih, Tuan."
Ayah Asmara mengantarkan Loka ke kamar yang dia sebut. Sempurnalah kebahagiaannya malam itu.
~
"Aneh sekaliii!!!" seru Kamala.
"Ndak aneh, Mbak!" seru Binaya.
"Sini, Nduk!" panggil Nenek. Kamala segera menuju samping kanan Nenek karena samping kiri Nenek adalah Binaya.
"Jadi apa pelajaran yang bisa dipetik dari cerita Adek Binaya, Nduk?"
"Janan semedi di Gunung Balat!" pekik Binaya.
"Nangis di tepi sungai bisa membawa kebahagiaan," ujar Kamala. "Nggak ada Eyang, orang ceritanya aja ngawur."
"Kejujuran, kemurnian hati, dan ketulusan bisa mengalahkan semuanya," ujar Nenek sambil mengelus kepala Kamala dan Binaya. "Mbak Kamala, Adek Binaya, jangan ke sungai ya kecuali sama Romo, serem, ada penunggu hutan."
"Inggih, Eyang!" ujar Kamala dan Binaya bersamaan.
"Buat Mbak Kamala, tiap cerita ada pesan yang bisa dipetik, cerita Binaya mungkin aneh buat Kamala, tapi ambil pesannya aja yo, Nduk."
"Inggih, Eyang!"
"Buat Adek Binaya, pilih cerita anak-anak yang nggak terlalu cinta-cintaan yo, Nduk."
"Inggih, Eyang!"
"Nah, sekarang giliran Mbak Kamala yang cerita ..."
~~
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top