Bab 8

***

Dua tahun yang lalu

"Sudah siapmi semua toh?" tanya Rianti pada Juan yang sedang kewalahan memasang spanduk di tenda miliknya. "Pameran teknologi ini harus jalan lancar, demi bawa nama baik kampus kita."

Juan menjawab sebisanya. ketika dirinya berada di puncak tenda, menaiki tangga besi buat membentangkan spanduk. "Iya, Bu. Siap semua, termasuk souvenir dan perlengkapan lainnya. Buatan mahasiswa semester akhir demi dapat nilai baik di matkul Rekayasa Web dan RPL memang bagus-bagus semua. Nggak heranka sama mereka, jenius semua."

Juan memuji kinerja para mahasiswa seraya menuruni tangga. Juan memang mengakui, semua karya mereka yang terpajang melalui komputer besar ini membuatnya jadi terkagum-kagum. Pasti, banyak pengunjung yang bakal datang ke tenant-nya dan mencoba memainkan aplikasi tersebut dengan perangkat lunak yang tersedia.

"Perlukah kita siapkan goodie bag yang isinya souvenir dan makanan ringan?" tanya Rianti ragu-ragu, ketika Juan tengah mempreteli beberapa laptop yang diatur berderet setiap meja.

"Bisa aja, kalau mau." Juan menjawab tanpa menoleh ke arah lawan bicara. Dia terus sibuk mengatur aplikasi setiap perangkat, sebelum nanti dua atau tiga perwakilan mahasiswa datang dan menunjukkan hasil karya mereka.

"Siapa ya mau kusuruh?" Rianti celingak-celinguk. Tampak beberapa tenant di sebelah kiri dan kanannya tengah sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Tentu, mereka semua adalah perwakilan beberapa kampus untuk mengikuti pameran teknologi. Rianti tidak mengenal mereka. Bahkan ketika datang ke CCC (Celebes Convention Center), Rianti enggan memberikan kesempatan buat dirinya terbuka pada yang lain. Maklum, mereka juga punya keinginan sama demi meraih yang terbaik setiap kampus dan jadi sorotan media.

Rianti perlahan ingat, bahwa Universitas Jayabhakti mengirimkan dua perwakilan untuk menunjukkan keahlian di bidang teknologi perangkat lunak. Maka sudah pasti, ada dua tenant di dalam gedung tersebut.

Rianti membalikkan tubuh, mencoba memanggil Juan yang posisinya berpindah ke pojok kanan tenant.

"Pak Ju. Ada satu lagi perwakilan yang datang, kan?" tanya Rianti mengkonfirmasi. "Siapa pembimbingnya?"

Juan mengangguk cepat. Tangannya tidak henti-henti mempreteli laptop. "Ada. Pembimbingnya itu teman kita juga kok. Siapa lagi? Pak Arfan."

Rianti terlalu asing dengan nama itu, padahal beberapa rekan dosen lainnya malah dia kenal. Hanya saja dia kurang tahu atau sekadar mendengar nama Arfan . Apa si Arfan tidak pernah mangkal di ruang dosen dan sering pulang dari kampus setelah selesai ngajar? Bahkan Rianti jarang melihat ataupun mendengar dosen tersebut.

"Aku mau pinjam mahasiswanya dulu buat kusuruh beli makanan ringan." Rianti menjelaskan niatnya. "Pak Ju tahu tenant-nya di mana?"

Juan menghentikan aktivitas kemudian berjalan menuju depan tenant miliknya. Tak lupa dia menyuruh Rianti mengikuti arahannya.

"Jalan terus sampai lewati dua tenant, itu tenant yang warnanya biru tua. Ke sana aja," pinta Juan kemudian beringsut menjauhi Rianti untuk balik melanjutkan aktivitasnya.

Rianti mulai berjalan sesuai arahan Juan barusan kemudian perlahan memandang keseluruhan tenant berwarna biru tua itu. Memang, banyak kesibukan yang dilakukan empat orang mahasiswa Jayabhakti. Termasuk memasang alat-alat di layar monitor besar untuk kegunaan pameran.

Tidak lama setelah itu, datanglah seorang pria berbadan atletis–mesomorph– dengan balutan pakaian kemeja lengan panjang warna hijau muda serta celana chino warna hijau gelap memperlengkap penampilan. Tak lupa, di sekitar wajahnya dihiasi brewok yang menutupi dagunya. Sekilas Rianti memandang lekat pria tersebut.

"Bagaimana progress?" tanya pria itu.

"Hampir berjalan 90%, pak," jawab satu orang mahasiswi berkacamata dengan lugas.

Rianti tak perlu menebak jauh siapa pria tersebut. Pastinya dia adalah Arfan, yang belum pernah dilihatnya sama sekali padahal mereka sering satu kampus.

"Jadi dia Pak Arfan?" celetuk Rianti menujuk ke arah pria yang sudah disebutkan namanya itu. "Serius. Aku belum pernah lihat Pak Arfan di kampus, dan ... seganteng ini?"

Rianti tidak berlebihan dalam memuji, dia mengakui bahwa Arfan memang memiliki karisma. Terlebih garis rahang wajahnya yang tajam dan side face yang menurutnya berbeda dari kebanyakan lelaki. Matanya agak membesar dan level ketampanannya setara dengan orang Timur Tengah.

"Ya sudah, biar Bapak yang handle semua. Kamu istirahat dulu." Arfan memerintah kemudian mengambil beberapa perlengkapan yang sekiranya menunjang untuk pemasangan layar monitor.

"Emm, maaf." Rianti mengalihkan perhatian semua orang di tenant itu dengan suaranya yang sopan.

Beberapa mahasiswa yang bertugas pun mengenali Rianti dan langsung membungkuk hormat.

Salah satunya berucap mewakilkan mereka. "Kenapaki' Bu Rianti? Ada sesuatu?"

"Ibu mau suruh kalian untuk beli makanan ringan. Apa boleh?" Rianti melayangkan permintaan seraya bersikap canggung. Dia justru merasa tidak enak karena meminta mereka melakukan tugas lain, padahal ada aktivitas yang harus diselesaikan sebelum pembukaan pameran.

"Oh, bisaji, Bu. Ini Kamal bisaji." Satu mahasiswa berperawakan tinggi kurus itu mendorong temannya yang menggunakan topi.

"Maaf Pak Arfan. Saya pinjam dulu mahasiswata' buat kusuruh beli makanan, karena belumpi datang mahasiswaku." Rianti mengalihkan interaksi pada pria berkemeja di hadapannya.

Arfan mengangguk spontan. "Tidak apa-apaji. Silakan." Tangannya terangkat buat mempersilakan Rianti menyuruh satu atau dua mahasiswanya jika diperlukan.

Barulah setelah itu, Rianti memberikan instruksi tentang membeli makanan ringan dan memesan nasi dos buat beberapa pengunjung yang terpilih. Dia pun mengeluarkan ponsel dan meminta nomor Kamal buat ditransferkan saldo dompet digital. Begitu selesai dengan urusan tersebut, Rianti niat ingin balik ke tenant buat memastikan mahasiwanya sudah datang atau belum.

Namun begitu satu langkah kaki maju, Rianti urung berjalan dan tiba-tiba menoleh ke arah tenant milik Arfan. Justru perhatiannya sangat teralihkan pada dosen itu. Arfan kini tengah membungkuk ke bawah sambil menumpu satu kaki untuk memasang kabel-kabel yang menghubungkan layar monitor. Memandang Arfan sangat lama membuat jantung Rianti berpacu kencang.

Bagaimana bisa ada pria setampan Arfan, bahkan karismanya lebih keluar di saat sedang bekerja seperti itu? Haruskah Rianti mulai menaruh perasaannya pada Arfan? Mungkin Rianti belum mengenal lebih jauh tentang Arfan, tapi mereka adalah dosen. Terlebih mereka satu kampus, jadi ada peluang besar buat Rianti untuk mendekati pria itu.

Aku sudah memantapkan hati buat mengejar dia. Hanya dia, Pak Arfan. Batin Rianti sambil mengulum senyum pelan.

***

Masa sekarang

Mengingat hal tersebut buat Rianti jadi terkesima dengan tindakannya. Kenapa wanita sepertinya langsung jatuh hati terhadap Arfan, yang saat itu cuma memasang kabel dan mengatur tenant? Kini situasinya berbeda. Arfan seolah tahu apa yang selama ini Rianti lakukan. Bahkan Rianti menduga, Arfan membaca semuanya. Termasuk bagaimana Rianti tersenyum jelas di dekat meja Arfan, yang mana Rianti mendalih mengagumi bunga tulip milik Arfan.

"Kamu tanya kenapa saya tahu?" Arfan bersuara begitu Rianti barusan melempar pertanyaan tentang 'bagaimana Arfan tahu tentang sikap aneh Rianti?' dan Arfan ingin memastikan pertanyaan tersebut di depan orangnya langsung.

"Ibu ngira saya ini bodoh, ya?" tuduh Arfan. "Wanita asing, atau wanita yang menjadi rekan kerja, tidak bakal melakukan hal itu. Tapi yang Ibu lakukan adalah, senyum-senyum di meja saya dan nyelonong duduk di meja saya. Apa Ibu pikir saya tidak tahu? Saya tahu dari awal.

"Terus tentang saya yang menawarkan ke Ibu tentang jalan bareng ke kelas masing-masing, serta saya yang dekat-dekat Ibu. Itu supaya Ibu sadar terhadap tindakan berlebihan Ibu."

"Loh, berarti tawaran Bapak yang itu ..." Rianti terbata-bata, mulai kehabisan kata-kata. "Jadi Bapak mau apa sekarang?" Rianti pun mulai meminta Arfan buat lebih menjelaskan tentang alasan mendekatinya.

Arfan memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana, kemudian menjawab dengan hati-hati. "Karena ... berita saya yang masalahnya udah menjalar ke mana-mana, dan saya nggak punya pilihan lain untuk mengatasinya. Saya pun nggak bisa klarifikasi lagi soal ucapan saya yang makin menyinggung beberapa pihak. Jadi ... saya mau minta sesuatu sama Ibu. Tapi janji, jangan kaget ya, Bu."

Rianti penasaran soal permintaan Arfan yang terkesan serius. Jadi dia memilih mengangguk dan mempersilakan Arfan melanjutkan kata-katanya.

"Saya mau Ibu ... jadi istri saya. Dalam artian, kita menikah."

Sekilas jantung Rianti berpacu hebat mendengar ujung kalimat yang tak ragu Arfan ucapkan. Menikah? Apa Rianti kini bermain dengan bunga tidurnya sampai dia harus mencerna perlahan-lahan tawaran Arfan barusan?

"Me–menikah?" tanya Rianti memastikan.

Arfan mengangguk cepat seraya menghela napas. "Tidak ada pilihan lain lagi, Bu. Ini cuma satu-satunya cara agar masalah saya mereda."

"Tapi, Bapak yakin dengan keputusan yang Bapak ambil?" Rianti berusaha mengkonfirmasi, bahkan dia tahu betul Arfan bukanlah orang yang gegabah. Arfan pasti melakukan berbagai cara dengan perlahan dan mulus. "Apa dengan kita menikah, mereka bakal diam dan tidak mengorek kesalahan Bapak lagi?"

"Ini adalah keputusan bulat yang sudah saya ambil," balas Arfan mantap. "Dan, setelah semua yang saya lakukan dan Ibu juga lakukan, saya merasa bahwa ... saya menyukai Ibu."

"Hah?" Rianti melongo perlahan. "Menyukai ... saya?"

Dua kata yang bikin Rianti nyaris tak berdaya. Menikah dan menyukai. Kenapa bisa tiba-tiba Arfan mengucap enteng tanpa berpikir panjang? Apa yang merasuki Arfan kini?

"Iya. Saya suka sama Ibu, dan jujur ... yang Pak Bani bilang itu benar. Ibu ramah senyum, sering bertutur lembut, juga cantik. Saya suka dengan senyuman Ibu."

Jika Rianti berkesempatan ingin pingsan, dia ingin pingsan sekarang juga. Rianti ingin menjatuhkan dirinya seraya tersenyum lebar. Rianti tak menyangka bakal secepat itu. Arfan tak ragu mengakui perasaannya, padahal harusnya dia lebih dulu melakukan.

"Jadi ... menikahlah dengan saya. Maka Ibu bisa kenal jauh saya," tawar Arfan sekali lagi, dengan matanya yang penuh permohonan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top