Bab 7
***
"Ju. Kamu merasa nggak Pak Arfan jadi beda beberapa hari belakangan?" tanya Rianti heran, ketika Juan tengah sibuk menyesap matcha panas. "Maksudku, dia sering-sering dekat dan mengajakku ngobrol. Aneh kan? Arfan pasti kalau mau bicara pasti nunggu kita bicara duluan. Ini toh, dia inisiatif sendiri."
"Memang terjadi sesuatu sama Pak Arfan." Juan menjawab dengan intonasi datar. "Lihat aja tuh beritanya Pak Arfan, malah menuai ke mana-mana. Hujatan juga nggak henti-henti di medsosnya. Mungkin nih, dia sengaja pengen buktiin pada media ataupun warganet, kalau dia juga bisa berbuat romantis. Makanya, dia terus-terus dekati kamu."
Rianti masih belum memahami sikap tidak biasa dari Arfan. Bahkan setelah diajak Juan ke kafe ruko wilayah CPI, tetap Rianti kebingungan. Pikirnya dengan minum sesuatu yang jadi kesukaannya, bakal lancar memikirkan alasan Arfan melakukan hal itu. Namun nyatanya belum ada jawaban satupun keluar dari kepalanya.
"Tapi aku yang sering melakukan itu," celetuk Rianti mengakui. "Dengan dalih bahwa aku adalah rekan dosen yang baik, supaya Arfan sadar bahwa dia juga punya teman. Apa alasan yang dia gunakan pun sama sepertiku?"
"Bisa jadi." Juan berusaha membenarkan. "Kan gini. Waktu kamu ke kantin, dan sengaja duduk di depan Pak Arfan, lalu tiba-tiba Pak Arfan minta kamu buat barengan ke kelas untuk ngajar. Nah, mungkin Pak Arfan udah peka dengan apa yang kamu perbuat padanya."
"Emmm, masa sih?" Rianti tampak ragu-ragu sambil memegang dagu dengan telunjuk. Dia memilih menyesap strawberry milkshake miliknya menggunakan sedotan plastik bengkok warna hitam. Lagi, dia memanfaatkan otaknya agar mampu menjawab hal-hal yang kurang dipahami.
"Memangnya Pak Arfan sudah peka?" tanya Rianti secara spontan, memastikan. "Padahal aku diam-diam melakukannya, masa Pak Arfan cepat sekali baca 'kode rahasiaku'?"
"Mungkin Pak Arfan diam-diamki juga tahu," jawab Juan menimpali.
"Ndak mungkin. Pak Arfan itu gila kerja, dan kita tahu sendiri, dia tidak peduli hal apa pun selain pekerjaan. Meskipun pada akhirnya dia terbuka kepada rekan dosen lain, termasuk kita." Rianti membalas seakan mengikuti lomba debat. Perkataannya yang lantang jadi salah satu bukti.
"Sudahmi. Pusing kepalaku kau pikir tentang Pak Arfan. Nantipi, Bu Rin," keluh Juan melayangkan protesnya. Dia memilih meluruhkan kepala yang nyaris berapi-api dengan meminum lagi matcha latte miliknya. Benar-benar menguras tenaga, akibat perdebatan Rianti soal perubahan sikap Arfan.
***
Pada petang hari, Arfan yang tengah memasukkan dokumen ke dalam tas briefcase-nya, tiba-tiba didatangi gadis cardigan biru muda dengan buku yang dipeluk menyentuh dada. Bunga, asisten dosennya, mengabarkan sesuatu pada Arfan yang membuat pria tersebut spontan menatap lurus gadis di hadapannya.
"Maaf pak, saya gangguki. Cuma mau memastikan saja, pak. Untuk kelas daring malam ini. Saya yang ngajar nanti kelas khusus karyawan, pak?" Bunga bertanya dengan hati-hati.
Arfan terdiam sebentar seraya menarik napas pelan, kemudian menjawab. "Iya. Kan di kelasmu tadi sudah Bapak bilang toh, kalau kamu handle kelas malam ini."
Bunga mengangguk sambil mematri senyuman ringan. "Yah, saya ke sini cuma konfirmasi. Kebetulan saya masih belum pulang, Pak."
"Rajinnya," puji Arfan nada biasa. "Kamu kan bukannya ikut himpunan jurusan? Apa nggak ada kegiatan hari ini?"
"Nggak ada, pak. Tadi saya ikut kelasnya Pak Miko, yang desain UI/UX itu, Pak. Cuma saya kepikiran Bapak yang kadang-kadang suka nunda kelas. Jadi saya kemari tanya kepastian kelasnya, nanti ujung-ujungnya Bapak kasih tahuka' kalau bisajeki (Anda bisa) ngajar."
Arfan memberikan kesempatan buat melempar tatapan pada asisten dosennya lamat-lamat. Penjelasan Bunga barusan jadi membuatnya tertampar oleh kenyataan bahwa dia juga suka ngaret soal jam mengajar.
"Bunga. Kamu tuh memang hafal betul kegiatan Bapak. Memang, terkadang Bapak suka menunda kelas yang mau Bapak ajar karena sesuatu hal. Tapi karena ada kamu yang jadi asisten dosen, what's wrong? Kamu kan hebat, IPK kamu 3,9 lebih. Bapak percayakan semuanya padamu." Tak ragu Arfan menepuk pundak Bunga beberapa kali, seakan memberikan kepercayaan penuh pada mahasiswi semester lima itu.
"Kamu nggak dicari orang tuamu kah?" Arfan mendadak bertanya khawatir, karena tahu ini jam sore menjelang malam. "Pulang aja. Kan kamu nggak ada jadwal kuliah lagi. Bapak juga mau pulang ini, ada kesibukan soalnya."
Bunga melenggut mengiyakan. "Iya, Pak. Saya juga mau pulang setelah memastikan. Saya duluan ya, Pak."
Arfan hanya mengangguk sekali kemudian melambaikan tangannya rendah pada Bunga yang perlahan menjauhi meja dan keluar dari ruang dosen.
Arfan merasa bangga masih ada yang loyal dengannya, meskipun berita tentang perkataan di podcast itu masihlah meradang. Walau Arfan telah mengeluarkan klarifikasi bahkan memasukkannya di highlight story, tetap saja masih ada yang denial. Entah dengan cara apalagi yang bisa Arfan lakukan. Meminta bantuan pada abangnya? Mustahil, abangnya seperti lepas tangan dan disuruh menyelesaikan masalah sendirian.
Ngomong-ngomong tentang Rianti. Keakrabannya dengan wanita itu terjalin perlahan-lahan. Mengingat Rianti yang sering mendekatinya, membuat Arfan sadar bahwa kesempatan untuk meredakan situasi sudah di depan mata. Tinggal menunggu Rianti sadar terhadap perbuatannya selama ini.
Arfan sering-sering inisiatif lebih dulu hingga bikin Rianti gelagapan terhadap sikapnya. Memang selama ini Arfan bersikap cuek bila berada di dekat Rianti, namun Arfan melakukan hal tersebut agar tak ragu jika mengajak Rianti menikah.
Lihatlah dulu, Bu Rianti sering-sering senyum, dan dia juga terus dekat kalau aku lagi jalan di koridor kampus. Kalau aku bisa tanya padanya, Apa Bu Rianti itu ada perasaan sama aku? Atau mungkin, dia terkesima karena aku mengantarnya ke tempat tinggalnya sampai buat dia jatuh hati?
Arfan membiarkan pertanyaan itu menggerogoti kepalanya, lalu mengangkut tas kantor miliknya dan keluar dari ruang dosen. Sadar bahwa lampu-lampu di lorong kampus mulai menyala, berarti sudah masuk waktu malam. Ketukan sepatu pantofel-nya pun mengalun, membawa Arfan melangkah keluar dari gedung kampus.
Parkiran berada di sebelah kanan gedung kampus dan Arfan berjalan mengarahnya. Lalu ketika mulai menyalakan mobil dengan alarm, Arfan menangkap seorang wanita yang tengah menunggu depan gedung. Wanita itu mengenakan gaun terusan warna merah muda terang.
Arfan mengenalnya, siapa lagi kalau bukan Rianti? Wanita yang menjadi peluangnya buat meredakan masalah.
"Bu Rianti? Ibu nungguin siapa?" tanya Arfan mulai menghampiri Rianti dengan pelan. "Ibu nungguin Pak Juan kah?"
Tahu bahwa Arfan berada di hadapannya meski dari jauh, membuat Rianti bersikap seakan tidak peduli situasi. Namun di dalam hati, justru berkecamuk. Rasa ingin tanya alasannya mendadak menggebu-gebu, padahal itu sudah hampir beberapa hari lalu. Belum sepekan lalu malahan.
"Pak Juan udah pulang duluan," jawab Rianti biasa. "Saya nungguin ojol."
Arfan mengangguk memahami. "Padahal saya mau nawarin buat antar Ibu. Daripada buang-buang uang, kan? Naik ojek?"
"Hah?" Rianti spontan melongo. Padahal dia tidak berharap demikian dan dia juga tidak tahu Arfan belum pulang.
Mungkinkah itu bisa dijadikan kesempatan untuknya? Secara, dia ingin bertanya alasan kenapa Arfan sering mendekatinya? Rianti justru heran. Meski Arfan adalah orang yang disukainya, tetapi dia enggan bersikap gegabah. Selama belum menyadari perasaan masing-masing.
"Ngomong-ngomong, kenapa Bapak melakukan itu?" Pertanyaan Rianti yang harusnya disimpan rapat-rapat dalam kepala, mendadak meluncur deras dari mulut hingga Rianti langsung menutup mulutnya dengan tangan kanan.
Mampus aku. Kenapa aku tanya begitu ke Pak Arfan? Harusnya aku tanyain itu nanti. Batin Rianti meracau dalam hati.
Arfan spontan kebingungan. "Hmm? Maksudnya apa?"
Merasa telanjur, Rianti langsung memperbaiki diri dan menghela napas terlebih dulu sebelum menjelaskan maksud pertanyaannya tadi. "Bapak kenapa dekati teruska?"
Arfan mengernyit kening, merasa aneh terhadap pertanyaan yang dilontarkan Rianti. Bukannya Rianti sendiri yang mendekatinya lebih dulu? Buat Arfan jadi curiga terhadap tingkah tidak biasa Rianti?
"Saya ... dekatiki'? tanya Arfan memastikan seraya menunjuk dirinya.
Rianti mengangguk seraya mendelik curiga. "Apa karena berita Bapak? Atau bagaimana?"
"Maksudnya apa sih nanya begitu?" Arfan tidak menerima, bahkan kini dia berkacak pinggang seolah berusaha menahan amarah. "Ibu sendiri yang dekati saya. Mulai dari Ibu yang tiba-tiba senyum di meja saya, terus juga Ibu yang nyelonong duduk di tempat saya waktu makan di kantin. Kenapa Ibu berlagak seperti korban? Padahal Ibu loh, yang dekat-dekat saya terus."
Rianti mencerna kata-kata Arfan barusan. Terlebih setelah tahu bahwa Arfan benar-benar sadar terhadap tindakannya pada pria itu. Meski berusaha menutupi alasannya dan memilih memposisikan diri sebagai teman, namun mendengar Arfan tadi justru bikin Rianti merasa kecolongan. Apakah melempar senyuman seperti yang biasa dia lakukan, sama seperti mengharapkan suatu perasaan?
Rianti tahu dirinya sering-sering mengulum senyuman lebar kala dirinya bersama Arfan di setiap tempat. Walau saat itu Rianti denial bahwa dia melakukannya sebagai sahabat, bukan bermaksud lain.
"Bapak ... tahu semuanya?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top