Bab 4

***

"Saya antar ya, Bu. Daripada kita di sini makin malam, kasihan pegawainya angkat-angkat kursi, mau tutup soalnya."

Arfan lagi-lagi berusaha membujuk Rianti agar mau menerima tawarannya. Sebab barusan Rianti cuma menutup mulut begitu Arfan berinisiatif ingin mengantar Rianti sampai ke tempat tinggal wanita tersebut.

Rianti menghela napas pelan sebelum menjawab. "Iya deh, Pak Arfan. Antarma saja."

"Nah daritadi kek jawab. Masa diam kayak orang gagu?" Arfan tak butuh waktu lama buat melangsungkan niatnya dan lekas membenahi barang-barang miliknya berupa ponsel serta makanan bungkus yang sempat dia minta ke pihak kafe karena ternyata masih sisa banyak di meja.

Pria yang mengenakan kemeja polos warna hijau muda lengan panjang itu menyuruh Rianti agar mengikutinya. Dan benar saja, langkah kaki yang mengalun pelan terdengar jelas di telinga Arfan begitu keluar dari kafe. Angin malam mulai menusuknya begitu sampai di parkiran depan kafe. Wilayah CPI masih ramai dengan beberapa orang yang sekadar jalan-jalan atau memenuhi janji tamu di sebuah tempat.

Seusai membuka mobilnya dan memasuki area pengemudi, Arfan melihat Rianti melangkah sangat lambat menuju kendaraannya. Arfan berpikir, apakah Rianti merasa ragu-ragu atau kurang percaya terhadap perilaku baiknya? Sekali lagi, Arfan punya niat baik agar Rianti tidak mengalami sesuatu hal di jalan. Daripada rekan dosennya itu mendapat kejahatan di luar sana, dan terlebih Rianti suka sendirian bila pulang dari kampus. Memanfaatkan mobil miliknya adalah jalan satu-satunya.

"Di mana rumahta'?" tanya Arfan masih dengan logat yang dia gunakan, begitu tahu Rianti masuk dalam mobil seraya menggunakan sabuk pengaman.

"Di Talasalapang. Yah kelihatannya agak jauh kalau berangkat dari CPI, mesti lewati jalan Sudirman terus Ratulangi dan belok kiri ke Alauddin. Memangnya Bapak mau mengemudi jauh-jauh?" Rianti tanya balik justru mengungkapkan rasa khawatirnya.

"Ndak apa. Yang penting Bu Rianti aman dari orang jahat. Sudah, paling saya bisa isi bensin lagi kalau misalnya memboros. Terlebih ini sudah jam 10 malam loh. Dan kemungkinan nggak ada macet hari ini."

Arfan memercayakan dirinya bahwa dia bisa membantu Rianti kali ini, meskipun awalnya dia tidak peduli dan berencana untuk pulang sendiri. Namun mengingat Rianti adalah seorang wanita yang bisa dikatakan polos dan tidak memiliki keberanian –begitu yang Arfan pandang– maka sudah seharusnya dia mengantar Rianti. Tentu tidak bermaksud apa pun, hanya sebagai rekan dosen yang bahu membahu menolong.

"Ibu arahkan saja rumahnya di mana. Biar saya tinggal belok-belok saja," pinta Arfan diikuti kekehan kecil. Kemudian setelah menyalakan mesin mobil, Arfan pun mulai melajukan mobilnya meninggalkan kafe yang barusan ditempati sebagai acara ramah-tamah antar rekan dosen.

Di perjalanan, Arfan mencoba menyalakan musik dengan playlist-nya sendiri. Tentu kumpulan lagunya hanya aliran pop dan dinyanyikan oleh penyanyi lokal yang hangat di tahun sekarang. Sesekali pandangan Arfan terlempar ke Rianti, di mana wanita itu cuma memandang luar jendela seraya menopang dagu.

Mengingat tentang dirinya yang ceplas-ceplos di podcast membuatnya jadi berpikir, apakah Rianti tidak membencinya atau sekadar mengutarakan uneg-uneg sebagai seorang wanita? Tentu, berkata jujur bahwa dia tidak menyukai wanita adalah hal yang paling menyakitkan kaum hawa. Rianti bahkan sama sekali tidak pernah bersikap sinis padanya, justru lunak. Ataukah sifat alamiah Rianti yang bikin dia seperti itu?

Sudahlah, buat apa memikirkan hal omong kosong? Lebih baik cepat mengantar rekan dosennya daripada buang-buang waktu. Toh, besok adalah hal yang paling menakutkannya. Interogasi kedua orang tua di acara makan malam. Semoga saja papa dan mamanya tidak membuat situasi jadi merinding dan pikirannya dapat tenang untuk menceritakan semuanya pada mereka.

"Pak Arfan. Mauka tanya sesuatu. Boleh?" Rianti tiba-tiba bersuara, membuat Arfan hanya membalas dengan dehaman kecil seakan mengizinkan Rianti buat melempar pertanyaan.

"Tentang perkataan Bapak di podcast. Memang sebelumnya Bapak nggak briefing dulu dengan pertanyaan host-nya? Atau mungkin host-nya yang sengaja menjebak pertanyaan yang nggak bisa Bapak jawab?"

Pikir Arfan, pasti Rianti tidak bakal membahas hal itu. Tapi ternyata tetap diungkit. Wajar saja, pasti rasa penasaran Rianti menggebu-gebu. Terlebih dia belum mengklarifikasi apa pun, baik secara tatap muka ataupun merekam dirinya melalui video. Nasib berbincang dengan podcaster terkenal membuat dia ikut kena dampaknya.

"Bu Rianti pikir, saya nggak suka sama wanita, artinya saya anti deket-deketan dengan cewek gitu?" tanya Arfan seakan enggan menerima anggapan dari orang-orang luar sana. "Saya jelasin nih ya, Bu. Saya tuh bukannya anti dengan wanita, cewek, gadis, atau apa pun lah. Saya memang punya ambisi buat jadi yang terbaik. Tapi nggak yang ngambis mengarah ke hal buruk, bukan itu, Bu. Cuma mau memberikan yang terbaik dengan lanjut S3, terus mempermantap karir dan lain-lainnya. Makanya saya berucap itu pada cewek-cewek tidak tahu diri yang cuma sekadar cuci mata lihat cowok ganteng. Istilahnya adalah, saya nggak suka cewek gatel."

Rianti tampak mengangguk-angguk, lalu melanjutkan pertanyaannya. "Terus, kalau misalnya Bapak punya gebetan yang Bapak sangat suka, gimana tuh? Maksudnya, Bapak ada rasa gitu ke gebetan Bapak." Pertanyaan barusan cuma sebagai pancingan agar mendapatkan hal yang menurutnya jelas.

"Eumm ... kalau itu wanita yang terbaik buat saya, apa salahnya buat dekat?" jawab Arfan sebisanya.

"Tapi kan Bapak bilang, Bapak nolak wanita atau cewek yang naksir duluan sama Bapak. Terus nggak punya waktu buat duduk dan pacaran di kafe. Itu Bapak sendiri yang bilang loh."

Arfan menarik napas frustrasi, padahal dia sempat mengucapkan alasannya di jawaban pertama. Pasti Rianti tidak menyimak betul omongannya, dia cuma mengangguk tanpa menyerap kata-kata yang dia tuturkan tadi.

"Saya sudah bilang, saya mengucapkan itu pada cewek tidak tahu diri. Maksudnya, cewek yang 'gatel'. Paham maksudnya kan, Bu? Kalau itu saya nggak mau." Arfan menjawab dengan tegas. "Padahal saya bilang itu lantang banget di podcast loh. Mereka malah cut nggak jelas. Ini harus saya tanyakan ke mereka. Apa alasannya mereka cut yang mengatakan saya tidak suka cewek gatal?"

Arfan menghela napas berat, kemudian melanjutkan ucapannya agar nyambung dengan topik.

"Tapi ya, Bu. Meski saya bilang hal kurang mengenakkan di podcast, saya tetap punya loh tipe cewek. Saya menginginkan cewek yang ..." Arfan sempat menahan ucapannya ketika mencengkram kemudi di kedua tangan. "Saya maunya tuh ceweknya yang elegan, ramah, tidak banyak omong, lembut, baik hati."

Rianti mendengar seksama tipe yang disukai Arfan. Entah kenapa semua hal-hal yang disebutkan pria tersebut barusan, justru mengarah ke dirinya.

Bagian yang tidak banyak omong, lembut, baik hati, adalah tipe yang dimiliki Rianti. Sekilas senyumannya terbit namun tidak diperlihatkan ke Arfan langsung. Spontan kepalanya tertoleh ke arah jendela demi menyembunyikan lengkungan yang terpatri di bibirnya.

"Bu Rianti sekarang paham kan? Kenapa saya ngomong begitu?" Arfan bersuara setelah sempat hening. "Yah, meskipun saya tetap harus klarifikasi dan memohon maaf terhadap siapapun yang tersinggung atas jawaban saya. Apa pun yang terjadi, saya perlu mengevaluasi diri saya, sebab saya adalah influencer."

"Iya, pak. Jelas. Memang Bapak harus klarifikasi biar mereka nggak salah paham," tutup Rianti kemudian menghela napas seolah lega telah mendapatkan jawaban yang membuatnya penasaran.

Tak terasa, mobil yang Arfan kendarai sudah melewati Mall Ratu Indah dan berencana akan lurus sampai berbelok ke arah jalan Veteran Selatan. Sebelumnya, Arfan berinteraksi lagi dengan Rianti, hanya sekadar menanyakan arahan ke rumah rekan dosennya itu.

"Benar jalannya, kan? Kita mau ke Talasalapang loh. Di bagian mananya?" tanya Arfan meminta Rianti menjelaskan alamat rumah.

"Di jalan Talasalapang 2. Itu kalau masukki' jalan utamanya sebelum Unismuh, di sebelah kiri," jawab Rianti.

"Baiklah. Kalau nanti udah dekat, arahkan saja ya."

Rianti mengiyakan lalu membiarkan mobil yang ditumpanginya melaju sesuai arahan menuju tempat tinggalnya. Rianti merasa ada untungnya dia diantar Arfan, selain mendapatkan hal yang membuat dirinya jadi salah tingkah, dia juga menghemat ongkos transportasi yang mana menurutnya makin mencekik bila memasuki malam hari. Apalagi ojek motor. Sudah pasti Rianti enggan naik transportasi kendaraan roda dua, terlebih di jam malam. Kesibukan kedua orang tuanya serta kakaknya lah yang buat dia jadi harus lebih mandiri.

Arfan mengemudikan mobilnya dari CPI menuju tujuan selama kurang lebih 30 menitan. Arfan mendengarkan baik-baik arahan Rianti begitu membelokkan mobilnya ke jalan Talasalapang 2.

"Wih, banyak ya kafe-kafe berjejeran di sini. Mana banyak juga nongkrong jam segini," komentar Arfan mengagumi beberapa kedai kopi yang dia lihat di pinggir jalan. Terlebih ada beberapa motor serta satu mobil yang terparkir tiap kafe.

"Di dekat rumah saya memang banyak kafe, Pak. Pastinya juga, ada banyak pelanggan di sana. Mungkin cuma mau melepas penat setelah pulang dari kantornya." Rianti menjawab komentar Arfan sedikit antusias. Kemudian saat Arfan nyaris kelewatan lorongnya, Rianti tiba-tiba berseru. "Pak, lorong saya kelewatan! Itu tadi ada lorong belok kiri loh."

Spontan Arfan terkejut dengan teriakan Rianti. Tidak biasanya Rianti menjerit seperti itu, macam memarahi si sopir. Sikap yang belum pernah diperlihatkan wanita itu padanya, bahkan kepada rekan-rekan lain. Apa mungkin Rianti sedang menjaga citranya di kampus? Sampai dia menyangka Rianti adalah wanita polos yang lemah lembut.

Sadar bahwa dirinya terlewat dan membuatnya harus memundurkan mobilnya, Arfan pun belok kiri. Baru setelah itu, Arfan diminta lebih menepi ke sebelah kanan dan tertujulah rumah dua lantai besar. Sekilas Arfan melempar pandangan pada rumah tempat tinggal Rianti. Besar juga, dan tentu di dalamnya pasti lebih luas.

Tetapi, rumahnya jauh lebih besar dan mewah dibanding rumah Rianti. Ah, kenapa jadi membanding-bandingkan? Terlebih dia juga tinggal di kawasan perkotaan dekat tempat wisata pantai? Sudahlah, yang penting urusan mengantar Rianti beres.

"Terima kasih banyak ya pak. Sudah nganterin saya," ucap Rianti semangat kemudian melepas sabuk pengaman mobil.

"Sama-sama. Intinya Ibu sampai di rumah dengan selamat tanpa bahaya di jalan." Arfan mematri senyum pelan. "Oh iya, besok Ibu ngajar nggak?"

"Hmm?" Rianti berdeham, sedikit membelalakkan mata terkejut dengan pertanyaan rekan dosennya itu.

"Yah, nggakji. Cuma nanya." Arfan memperjelas agar tak menjadi salah paham.

"Besok saya nggak masuk pagi. Paling masuk siang, pun hanya dua kelas. Kalau Pak Arfan gimana?"

Rianti justru balik tanya dan untungnya Arfan menjawab tanpa diam terlebih dulu.

"Saya kebetulan masuk pagi. Saya yang paling padat kelasnya, Bu. Dibandingkan Ibu, cuma dua kelas."

Ada alasan kenapa Arfan sampai menanyakan hal yang menurutnya membuang-buang waktu dan jatuhnya basa-basi. Dia cuma ingin Rianti tidak terlalu kaku, dan berusaha lebih mengenal Rianti sebagai rekan dosen. Tentu Arfan punya banyak rekan dosen yang friendly, tapi cuma Rianti yang sepertinya enggan untuk bicara atau sekadar membuka mulut bila mereka berhadapan. Pun kalau ngomong, seadanya saja. Mungkinkah lagi-lagi efek Arfan yang lebih suka balik duluan dari kampus? Padahal jika dipikir-pikir, Arfan tidak sesering itu, dia juga menjaga komunikasinya pada yang lain.

Setelah obrolan panjang di mobil, Arfan merasa bersyukur ternyata Rianti tahu juga caranya bersosialisasi.

"Saya langsung ... balik aja, daripada Bapak kelamaan di sini," kata Rianti merasa tidak enak, kemudian cepat-cepat membuka pintu mobil untuk keluar dari kendaraan yang dia tebeng.

Arfan membuka kaca mobil, setelah barusan menyalakan mesin. "Saya duluan ya, Bu."

"Iya, Pak. Hati-hati." Rianti tak ragu melambaikan tangannya dan melihat kendaraan tersebut pun menjauh dari depan rumahnya.

Gumaman rasa syukur Rianti tak terhindarkan begitu matanya terus mengarah kepada mobil yang mulai lenyap dari pandangannya. Rianti merasa sangat senang karena Arfan begitu peka terhadap dirinya, padahal di kafe CPI barusan, dia cuma berpura-pura enggan agar Arfan mau menawarkan tumpangan. Dan berhasil.

Ingin sekali Rianti berjingkrak-jingkrak sekarang, tapi enggan dilakukannya di depan rumah. Lebih baik di kamar, asyik sendirian. Kedua orang tuanya di luar kota, bahkan kakaknya. Kini dia bebas berbuat apa pun, dan nalurinya sebagai anak bungsu jadi menggelora karena tidak mendapat tekanan dari siapapun.

***

Esok hari

"Kamu harus menikah, secepatnya." Ikram memerintah dengan lantang, membuat seluruh keluarga di meja makan langsung membuat tatapan mengejutkan.

Arfan yang tengah menyantap hidangan pembuka, spontan melongo. Perintah tersebut diucapkan sangat nyaring dan hampir memekakan telinganya –kebetulan Arfan duduk di dekat Ikram. Arfan tersadar, mulai saat orang tuanya datang dengan ramah terus Arfan yang disuruh santai di depan mereka, ternyata bukan cuma nasihat per nasihat yang harus didengarkan oleh Arfan. Melainkan sebuah permintaan yang mana mungkin dia tolak. Mendengar hal itu cukup meresahkan Arfan, serta memikirkan nasib karirnya ke depan.

"Benar, ndhuk. Awak dewe wes nanggung isin karo omongan para relasine mama sing ngomong nek anak e Pak Ikram seneng sesama jenis. Mama gak seneng ngrungokne iku," ucap Gina lembut.

(Kita sudah menanggung malu dengan omongan para relasinya mama yang bilang anaknya Pak Ikram suka sesama jenis. Mama nggak suka dengar itu.)

"Mau nikah sama siapa? Calonnya aja nggak punya." Arfan berani membalas sampai Fikri harus turun tangan mendisiplinkan sang adik, dengan menginjak kaki Arfan yang terbalut sepatu pantofel cokelat muda.

"Carilah. Intinya biar mereda situasi. Daripada perusahaan papa yang kena imbasnya," ujar Ikram ketus. "Jangan sampai kamu cuma diam aja terus nggak ada aksi, papa nggak akan ragu buat tarik fasilitas kartu kredit yang papa kasihkan buat kamu."

"Nggak masalah, kan aku punya penghasilan dari buat konten." Lagi dan lagi keberanian Arfan menutupi rasa takutnya. Kali ini Fikri menggunakan teknik cubit, namun Arfan tidak merasa sakit, malahan menghindar dari cubitannya. Entah apa yang membuat Arfan demikian sehingga Fikri mulai capek menghadapi adiknya yang terkadang keras kepala.

"Tolong perhatiin situasi dek." Fikri pun mendesis, berusaha agar amarahnya tidak memuncak. "Mau papa jantungan karo sikapmu sing ngono tadi? (dengan sikap kamu yang tadi?)"

Arfan memutar bola matanya dan memilih menyerah, lebih terfokus pada makanannya yang belum habis. Padahal belum masuk ke hidangan utama, Ikram justru membuat situasi jadi lebih menegang. Terlebih menyuruh dirinya buat mencari wanita secepat mungkin.

"Kalau kamu bersikeras kejar impian kamu buat ke jenjang lebih tinggi lagi, silakan. Papa nggak ngelarang, tapi kamu yang bilang nggak suka sama wanita, semua jadi berakibat fatal. Gara-gara kamu!" Pria paruh baya dengan kacamata bifokal itu menunjuk intens ke arah Arfan yang berada di arah jam lima, persis di samping kanannya.

"Aku nggak suka cewek gatel, pa. Kan aku sudah singgung di podcast, tapi mereka malah men-cut seolah-olah bilang aku anti dengan wanita. Soal cewek gatel, aku trust issue, pa. Nanti jatohnya mereka cuma mau main-mainin perasaan aku." Arfan berpendapat dengan percaya diri.

"Alasan aja kamu!" teriak Ikram lagi-lagi nyaris memekik. "Pokoknya papa nggak mau tahu, kamu kudu menikah nang (dalam) waktu dekat. Sopo ae ceweke, sing penting situasi mereda. (Siapapun ceweknya, asal situasi mereda.)" Ikram enggan menuturkan kata-kata lagi. Beliau lelah menghadapi sikap anaknya yang tidak mau patuh. Pantas, waktu Ikram melarang Arfan untuk terjun ke dunia kreator, Arfan masih sama saja seperti sekarang. Keras kepala dan berbuat semaunya. Manja juga kadang-kadang. Makanya semua urusan Arfan dilimpahkan ke Fikri sebab si sulung yang bisa jaga si bungsu dengan baik.

"Biar abang carikan calon yang bagus buat kamu," tutur Fikri menawarkan solusi. Seenggaknya, situasi acara makan malam di rumah keluarganya yang megah ini tidak terlalu kacau.

"Buat apa, bang? Mending kon ndak usah cariin, wedi ora gemes karo ekspektasiku (takutnya tidak sesuai ekspekatasi aku)," balas Arfan merasa sungkan.

"Abangmu bantuin iki. Ojo nolak ngono ae! (Jangan nolak gitu aja!)" seru Ikram pada Arfan dengan suaranya yang kencang. "Mending serahno kabeh neng abangmu. (Mending serahkan semuanya ke abang kamu.) Gak usah ngomong 'gak!' 'gak!', papa gumoh kamu ngomong begitu."

Arfan kali ini mengalah, dia hanya mengiyakan apa yang diucapkan papanya. Lebih baik, daripada makin keras kepala, makin rumit juga situasi karena mana tahu papanya tiba-tiba jantungan. Mungkin sekarang belum kejadian, tapi takut saja nantinya benar-benar bikin papanya drop. Terlebih usianya yang menjelang kepala enam, harusnya dia lebih memperhatikan sikap daripada menjadi kekanak-kanakan.

Menjadi anak bontot adalah hal yang disukai Arfan, pada saat kecil sering dimanjakan kedua orang tua, minta dibeliin apa pun terpenuhi, dan lainnya. Arfan merasa diistimewakan oleh papa mamanya, terutama Ikram. Makanya sikap manjanya terkadang masih terbawa hingga dirinya mencapai umur 30-an.

Harapnya Arfan bisa menjaga atau mengontrol diri, namun dipikir-pikir apa salahnya buat mengiyakan tawaran sang papa? Kalau saja ada wanita yang buat dia jatuh hati, dia bisa langsung menikahi wanita itu. Situasi jadi mereda setelahnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top