Bab 27

***

"Gelisah mulu. Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Rianti di tengah-tengah menonton film. Dia bahkan harus menjeda televisinya dulu untuk memastikan kondisi Arfan yang makin tidak karuan.

"Kamu sakit? Atau apa?" Rianti sekali lagi bertanya seraya mematri rasa khawatir. Bukan tidak mungkin, saat ditawari menonton film kemudian menerimanya, lalu duduk bareng di atas karpet bulu sambil memerhatikan layar televisi, dan tiba-tiba Arfan menghela napas terus menerus, membuat Rianti sangat penasaran terkait kondisi sang suami. Padahal Arfan sebelumnya baik-baik saja, bahkan setelah pulang dari aktivitas luar.

Yang Rianti pandang sekarang adalah, Arfan bersikap aneh.

"Mau aku telepon papa? Daripada kamu makin sakit." Rianti tak ingin menunggu balasan, segera meraih ponsel miliknya di atas sofa, niat untuk menelepon mertuanya. Kemudian spontan saja Arfan menahan tangan Rianti dan memperbaiki diri seperti semula.

"Nggak, jangan." Arfan memohon sedikit manja. "Aku nggak apa-apa, sungguh."

"Yakin?" Rianti tidak percaya. Kedua matanya membesar kala ingin menunggu jawaban dari Arfan.

"I–Iya. Aku nggak apa-apa. Palingan tadi, aku berdebar lihat adegan romantis kedua tokoh utama," ungkap Arfan namun agak menambahkan bumbu kebohongan agar Rianti tak lagi bertanya hal macam-macam.

Padahal sejujurnya, Arfan lagi-lagi tak dapat mengontrol jantungnya. Bisa-bisanya seorang Arfan, yang cuma duduk di samping Rianti, tapi dalam jantung sudah tak karuan? Seakan-akan jantung ingin copot rasanya dan membuat Arfan jadi tak terkendali.

Apakah orang yang jatuh cinta merasakan hal seperti itu? Arfan mungkin tak bisa menyangkal lagi. Sudah terbius akan kecantikan alami Rianti, ditambah rasa kasihannya terhadap Rianti, membuat Arfan makin yakin bahwa dia sedang ada perasaan dengan Rianti. Sungguh. Arfan berhasil menyembuhkan traumanya tanpa obat sama sekali.

"Kamu perlu usaha, Mas." Rianti memberi saran dengan semangat. "Mungkin, dengan kita melakukan 'itu'. Pasti bisa meredakan trauma kamu."

"Tidak sekarang, Rin."

"Tapi nggak sekarang juga, kok." Rianti melarat ucapannya. "Kita bisa melakukannya jika kamu siap. Kapanpun itu, aku siap nunggu."

Arfan ingin membuktikan, apa dengan melakukan kewajibannya sebagai suami, bakal terlihat jelas apa Arfan sungguh menaruh rasa cintanya pada Rianti? Jika mereka melakukannya tidak tulus, maka sudah jelas. Penyebabnya adalah Arfan.

"Lanjut nonton filmnya ya." Rianti menepuk punggung tangan Arfan, lalu Arfan membalas dengan mengiyakan. Barulah Rianti memencet tombol 'play' untuk meneruskan tontonan mereka.

Mungkin sebaiknya Arfan perlu mengendalikan diri. Dia benar-benar menduga, bahwa dia sudah menaruh perasaan pada Rianti, namun takut juga dirinya bereaksi berlebihan. Simpan saja rasa cinta itu dalam hati–sekali lagi, dan menikmati waktu bersama Rianti sampai larut malam.

***

Esok hari, jam mengajar Arfan tepat pukul 2 siang. Dan kebetulan pula, Arfan dikabari oleh abangnya bahwa ada janji temu di sebuah kafe dekat apartemen tempat tinggalnya. Lekas saja, Arfan melajukan mobilnya menuju palang parkir, keluar dari lingkungan apartemen. Dia perlu bergegas memenuhi pertemuan dengan Fikri.

Tidak butuh waktu lama, Arfan memutar jalan dan membelokkan mobil ke sebelah kiri. Dia memarkirkan serong mobilnya kemudian turun dari mobil. Segera Arfan menelepon abangnya lalu mengabarkan dirinya sudah sampai di depan kafe nuansa putih tersebut. Fikri merespon dan meminta Arfan naik ke lantai dua, sebab di situlah dia duduk.

Lagi-lagi, Arfan mengiyakan kemudian melangkah masuk dalam kafe dan suasana yang didapatkan pertama kali adalah ketenangan dan kesejukan dari pendingin ruangan yang berhembus.

Begitu berada di depan, Arfan langsung memesan pastry serta minuman dan meminta untuk antar ke lantai dua. Beruntung pula Fikri menyebut nomor meja, biar Arfan mudah menemukan abangnya.

Arfan mulai menaiki lantai dua dan menemukan abangnya yang tengah mengotak-atik tablet. Arfan pun menyapa abangnya agak semangat. Fikri yang melihat itu, mengangkat satu tangan dan menunjuk kursi kosong di depannya.

"Beruntung kamu datang di waktu yang tepat." Fikri memberikan high-five pada sang adik, seakan bertemu dengan teman sebaya. "Bagaimana kabar, dek? Baik-baik aja sama Rianti?"

"Baik dong, bang. Abang ngira terjadi sesuatu antara aku sama Rianti ya?" tebak Arfan disertai mata yang memicing agar terkesan lucu. Tak lupa telunjuknya mengacung langsung pada Fikri.

"Aduh, kamu berpikir abang, papa serta mama berpikir aneh-aneh?" balas Fikri. "Sekalian abang ingin bicara, tentang strategi perusahaan."

"Strategi perusahaan?" Arfan tidak memahami. Wajar dia saja tidak pernah mengikuti perkembangan perusahaan papanya. "Apa itu, bang?"

"Tahu nggak paklek yang awalnya datang ke Makassar cuma untuk istirahat?" Fikri memberikan intermezzo pada Arfan. "Nah, paklek ini rupanya pengen bantu-bantu perusahaan. Katanya, paklek mau buat tim kreatif di perusahaan kita. Tahu sendiri kan, tim marketing tidak becus kerjanya. Mana konten yang mereka buat monoton lagi. Tidak variatif, dan tidak evaluasi lagi hasil konten buatan mereka. Itulah kita bikin tim kreatif, dan mungkin ... kamu juga harus terlibat."

Sembari mengangkat satu kakinya serta Fikri yang mengacungkan telunjuk ke arah Arfan, membuat Arfan makin kebingungan. Apa yang dimaksud terlibat?

"Terlibat ... apa, bang?" Arfan seperti orang bodoh, menunggu Fikri mencerahkan jawaban.

"Kamu harus jadi model konten yang akan dibuat sama tim kreatif. Mereka sedang buat brief untuk kamu baca. Jadi anggap, kamu sedang terima job. Tapi dari perusahaan papa."

Arfan termangu sejenak. Dia belum pernah bertemu paklek-nya sama sekali. Kini dia ditawari pekerjaan yang digagaskan oleh adik papanya itu? Padahal sejatinya, dia punya jadwal lain. Endorse masih diterimanya. Belum lagi ada puluhan brand yang bekerja sama dengannya.

"Itu sebabnya pula paklek menunda kepulangannya ke Singapura," tambah Fikri dengan semangat. "Paklek lihat potensi kamu, karena kamu udah naikkan penjualan minuman di perusahaan kita."

Arfan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia bahkan tidak ingat momen apa yang paling membekas bersama paklek-nya, tapi kenapa paklek seakan membutuhkannya untuk menaikkan penjualan? Arfan juga tidak pernah minta atau menawarkan diri untuk membantu perusahaan milik papanya.

"Paklek mau bayar kamu." Fikri berbisik agar tidak menjadi konsumsi publik. Hanya Arfan saja yang bisa dengar. "Jadi gimana? Mau nggak?"

Arfan memegang dagunya sebentar, memberi kesempatan untuk berpikir. Namun ketika akan menjawab tawaran tersebut, salah satu pelayan laki-laki datang membawakan pesanannya. Lengkap dengan nampan bundar.

"Ini tiramisu dan lemon tea." Pelayan tersebut langsung menaruh gelas kaca serta piring saji di atas meja berukuran persegi.

"Terima kasih, mas."

Pelayan itu pergi lalu Arfan membuka sedotan yang terbungkus plastik, untuk mencicipi lemon tea yang dia pesan.

"Jadi gimana? Kamu mau?" tanya Fikri sekali lagi, malah sibuk memandang Arfan yang tengah menyedot minuman.

"Sabtu & Minggu gimana?" Arfan menawarkan opsi. "Soalnya di hari lain jadwalku padat loh. Mana harus ada pertemuan lagi di Bikin Bikin-nya Nipah?"

Arfan lanjut menjelaskan bahwa tim agensi yang merekrutnya datang jauh-jauh dari Surabaya untuk berdiskusi mengenai agenda yang akan datang. Termasuk Arfan yang harus ke luar kota–Jakarta dan Surabaya buat memenuhi jadwal tersebut. Selain itu, Arfan juga turut berniat mengembangkan brand UMKM agar penjualan mereka meningkat drastis setelah Arfan membuat konten tentang brand tersebut. Intinya Arfan jadi orang yang sibuk sekarang.

"Mengingat padatnya jadwal, bisa aja aku nggak mau terima tawarannya paklek," tambah Arfan merasa pesimis.

"Hmm." Fikri berdeham, memikirkan keputusan Arfan barusan. "Kalau Minggu gimana? Kamu ada kesibukan ndak di situ?"

"Aku ada jadwal ngajar cuma satu. Pun khusus kelas karyawan. Selain itu, nggak ada pertemuan kuliah lagi. Pun tim agensiku nggak setiap hari kok mengadakan pertemuan."

Fikri spontan menjentikkan jarinya. "Bagus itu. Abang sek langsung bilang ke paklek. Pasti mereka setuju."

Seakan mendapatkan kesempatan emas, Fikri segera merogoh ponselnya dari balik saku blazer miliknya. Barulah mencari kontak Ronny untuk dia telepon segera.

Sembari demikian, Arfan berpikir sesuatu. Bukan tentang pekerjaan, melainkan Rianti. Jantungnya terus saja memacu kala Rianti menyiapkan sarapan untuknya. Mana sarapannya barusanya spesial lagi. Nasi goreng beserta toping sosis dan bakso. Itu menjadi kesukaannya bila orang tuanya serta abangnya sibuk di luar, Arfan memasak hidangan tersebut seorang diri.

Aish. Mikirin Rianti, bahkan saat nggak ada Rianti di sekitarku pun, tetap aja jantung ini tidak bisa diajak kerja sama. Selalu aja berdetak tanpa diminta.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top