Bab 26

***

Perubahan besar terjadi padanya. Semenjak memutuskan untuk memecat Bunga, Arfan merasa harus ekstra hati-hati terhadap badai yang akan menimpanya. Tentu, badai yang dimaksud adalah kenekatan Bunga. Dia tahu, Bunga pasti tak bakal mengendalikan perasaannya. Karena sadar Bunga masih berusia dewasa muda, dan rentan terhadap hal yang berkaitan dengan perasaan.

Maka beberapa hari kemudian–tepat empat hari setelah Arfan memecat Bunga, itu saat dia baru saja sampai di apartemennya sekitar pukul 11 malam. Arfan menyelesaikan urusan pekerjaan sebagai influencer setelah jam pagi menuju siang adalah jadwal mengajarnya.

Begitu masuk dalam unit, Arfan menemukan Rianti tengah menonton televisi sambil menduduki karpet bulu warna cokelat. Dalam keadaan unitnya yang agak kacau, Arfan melangkah sembari melepas sepatunya. Rambutnya tak tertata rapi–dibiarkan bagian depan berantakan, serta kancing kemeja ketat yang terbuka tiga kancing di atasnya. Dia seperti ingin melepaskan beban dalam diri, sebab barusan berkutat dengan jadwal yang padat.

"Rin. Kamu kok ... ngemil tengah malam? Mana sambil nonton sinetron lagi," komentar Arfan pelan, mencoba menebak apa yang sedang dilakukan istrinya. Tentu, hal yang dia lakukan adalah untuk berbasa-basi dengan Rianti.

"Kenapa? Salah aku ngemil?" tanya Rianti dengan nada biasa. Tidak meninggikan nada bicara, dia seakan enggan mengambil pusing terhadap kata-kata Arfan tadi. "Aku nungguin kamu, daritadi. Kan kamu sempat ngabarin waktu siang atau sore tadi. Kamu ada acara pertemuan singkat di Mall Nipah. Jadinya aku ngemil."

Arfan menghela napas pelan. Dia sadar, harusnya dia tak perlu bertanya hal seperti itu. Berhubung mereka juga sedang dalam tahap berdamai. Walau bukan sepenuhnya, mereka memutuskan berbaikan seperti semula.

"Mau duduk? Ayo." Rianti menawarkan lalu menepuk karpet bulu halus di sampingnya yang kebetulan kosong. "Seru loh itu ceritanya."

"Kamu aja yang nonton. Aku mau ganti baju." Arfan menjawab dengan rasa malas kemudian berjalan pelan menuju kamar yang tinggal lurus dari ruang utama.

Masuk dalam kamar, Arfan melepas kemeja yang melekat di tubuhnya kemudian celana slimfit warna hitam dan menaruh tas punggung di dekat nakas. Barulah dia menggantinya dengan piyama biru muda.

Sekilas Arfan terdiam, ketika dirinya tengah berdiri depan lemarinya. Begitu selesai mengubah pakaian kerja ke pakaian tidurnya, dia termangu sejenak. Sekali lagi, dia sungguh menduga perasaan dalam dirinya benar-benar berubah. Mungkin saja, saat ini Arfan sedang menaruh rasa pada Rianti. Terlebih setelah memberikan peringatan pada Bunga untuk jangan ganggu rumah tangganya dengan Rianti, tiba-tiba saja jantungnya berpacu dengan kuat. Seakan dia menjadi pahlawan dalam menyelamatkan masalah rumah tangganya.

Semenjak berdamai dengan Rianti–meski masih bertahap, awalnya dia berniat menjaga formalitasnya sebagai sahabat Rianti. Dengan bersikap baik serta memberikan hiburan jika Rianti sedih. Intinya khas seorang sahabat. Namun ketika Rianti mengungkap bahwa Bunga berbuat nekat dengan menampar sang istri, Arfan justru merasa tidak enak. Arfan merasa bersalah, sebab telah membuat Bunga terbawa perasaan. Belum lagi Juan, yang memulai pertengkaran lebih dulu.

"Pusing mikirin semua ini," keluh Arfan lalu mengusap wajahnya dengan keras. "Sudahlah, Fan. Intinya aku sudah memecat Bunga. Toh gara-gara dia juga udah bikin Rianti marah besar."

Arfan mengucapkan hal itu, tentu masih dengan konteks sahabat Rianti. Dia berusaha untuk mencari perasaan yang sesungguhnya, dan dia masih ingin menemukan celah dalam hatinya. Sehingga jika itu sungguhlah benar–dalam hal perasaan, dia tak ragu buat mengungkap semuanya pada Rianti.

"Mas Arfan. Kamu nggak mau nonton film?" Rianti masuk dalam kamar dan menawarkan sesuatu. Membuat Arfan membalikkan tubuhnya.

Belum memberikan kesempatan Arfan menjawab, Rianti menyela. "Kebetulan aku habis beli langganan platform film. Lumayan ada diskon 50% untuk satu bulannya. Gimana, mau?"

Apa ini semacam netflix and chill? Istilah itu kadang terdengar dan tidak asing bagi Arfan. Bahkan kini, Arfan seakan mencium sesuatu dari Rianti.

Arfan melempar tatapan secara spontan, dan terfokus pada kecantikan Rianti yang menurutnya tidak ada tandingannya. Dibanding Bunga yang diam-diam menghanyutkan, Rianti punya ciri khas yang berbeda dari wanita pada umumnya. Terutama di bagian mata. Netra tersebut berbinar serta kedua pipi yang bisa dikatakan tak terlalu tirus–berisi sedikit. Rambut hitam terurai segarnya. Tidak bergelombang tapi lurus, beda dari Bunga yang jelas-jelas ada wavy sepanjang rambut.

Entah kenapa, Rianti bikin jantungku berdegup kencang. Padahal aku masih ingin menikmati waktu sebagai sahabat. Apa perlu ... aku tanggalin aja rasa egoku dan menerima dia sebagai istri seutuhnya, bukan sebagai sahabat biasa?

"Mas. Kok ngelamun?" Rianti bersuara, membuyarkan Arfan. "Mau nonton film nggak?"

Arfan dengan cepat mengiyakan. "Bo–boleh. Tapi, kamu masih ada stok camilan, kan? Aku ingin ngemil sama minum minuman dingin."

Rianti spontan menepuk tangannya sekali, seakan mengingat sesuatu. "Kebetulan! Aku stok camilan sama minuman dingin kesukaan kamu. Minuman teh rasa stroberi. Ada di kulkas kalau mau ambil."

Dengan antusias, Arfan langsung bergegas keluar dari kamar, sementara Rianti mematri senyum hangatnya. Rianti seakan tahu cara mengembalikan mood Arfan. Maka setelah itu, Rianti ikut keluar dan langsung menutup pintu kamar perlahan-lahan.

***

"Ron. Beneran kamu mau bantu abang ngembangno perusahaan?"

Ikram yang menggunakan kaos polo warna hitam garis merah serta celana denim tengah menikmati indahnya bintang di langit, tentu bersama sang adik yang menggunakan piyama kotak-kotak. Mereka menikmati sebatang rokok serta minuman kaleng di taman belakang rumah Ikram.

"Aku teko iki (ke sini) yo emang gelem bantu-bantu perusahaane abang, kok." Ronny menimpali. "Ah, si bungsu iku kan influencer ta? Mungkin lek aku iso ngembangno tim kreatif, terus kuajak Arfan ke perusahaan, pasti penjualane F&B perusahaan abang iso meningkat."

"Hmm, tergantung. Gini lho, Ron. Perusahaane abang sing iki, beda karo cabang perusahaan kamu sing nang Singapura. Memang ada kesamaan di antara perusahaan kita, tapi fokusmu kan nang makanan. Sementara abang, fokus neng minuman. Kita kudu njogo (tonjolkan) menu minuman yang tersedia nang beberapa mall. Walau ada menu makanan, tapi ya tetep menune minuman sing kudu ndominasi."

Ikram menjelaskan sekali lagi tujuan perusahaannya agar Ronny paham. Beruntung dengan satu kali paparan, Ronny membalas dengan anggukan.

"Hanya saja masalahnya ..." Ikram menambahkan. "Sak jane (Semenjak) Arfan blak-blakan ngomong ndak suka cewek, penjualan minuman tiba-tiba mudun (menurun) dan banyak foodvlogger sing sengaja njelekin brand yang udah abang bangun susah payah. Bahkan makanan juga ... mudun drastis."

"Tapi piye caranya bisa naik lagi, bang?" tanya Ronny penasaran.

"Arfan kudu nikah dengan Rianti. Tahu ndak, Ron? Orang tuanya Rianti iku seorang pengembang brand makanan beku. Sing kita mangan barusan, yang varian ayam katsu, itu brand punya orang tuanya Rianti. Bahkan, besannya abang nawarin untuk merge dengan brand minuman abang. Bisa kebayang kan, Ron?"

"Wah, hebat ya si bungsu," puji Ronny sambil memegang dagunya dengan telunjuk. "Berarti lek kita ajak Arfan ikut pembuatan konten brand-nya abang, dia bakal mau."

"Sekali lagi tergantung dari Arfan-nya. Dia mau atau tidak?" Ikram menegaskan ucapannya sambil menyesap minuman kalengnya. Kemudian tak lupa membuang abu rokok di asbak. "Semoga aja anak itu mau. Nanti Fikri bakal urus Arfan dengan baik."

"Si sulung bagus juga kinerjanya ya. Manajer umum lagi." Ronny sekali lagi memuji satu keponakannya yang berwibawa. "Fikri iku memang telaten banget anaknya."

"Ajaran mendiang mamanya," celetuk Ikram sambil tertawa pelan.

"Ah, soal kakak ipar." Ronny spontan mengungkit istri abangnya–yang juga barusan disinggung Ikram terkait Fikri turunan siapa. "Apa Rianti tidak akan tahu kalau Arfan sangat sayang sama mamanya sampai meninggal pun, Arfan tetap kekeuh ingin bersama mamanya terus menerus. Mungkin karena iku alasane, Arfan terang-terangan bilang tidak menyukai wanita."

"Arfan koyok gitu ta?" Ikram sekilas tidak ingat apa yang terjadi pada putra bungsunya. Lalu seketika dia membuka mulutnya lebar-lebar. "Oh, Arfan mengalami keguncangan. Dia memang anak mama, dia cedhak pol karo mamane (sangat dekat dengan mamanya). Memang saat itu, Arfan tidak mau makan dan tidak mau melakukan apa pun. Mungkin di situ ta? Abang malah ndak ingat apa-apa."

"Bisa jadi kali." Ronny memilih membenarkan kemudian menyeruput minumannya sampai habis. Lalu tak lama setelah itu dia menghisap rokok hingga menyembulkan asap dari mulutnya dan mengudara sampai atas kepalanya.

Mereka terdiam. Ikram memutuskan membuka ponselnya karena barusan ada pesan penting masuk.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top