Bab 24
***
"Bunga nampar kamu? Kok bisa?" Arfan bertanya heran ketika Rianti mulai berani mengungkap apa yang dialami beberapa saat lalu.
"Entah kenapa, dia malah kurang ajar." Rianti menghela napas berat sambil menutupi satu mata dengan telapak tangan. "Aku nggak mau nyalahin kamu atas sikap dia. Aku yakin, anak itu cuma baper aja, sebab kamu perhatian padanya."
Rianti memang sebelumnya mendengar Arfan yang bersikap peduli ke Bunga, bahkan membelikan sop saudara untuk Bunga. Pun Arfan berinisiatif sendiri menceritakannya. Jadi Rianti bisa menyimpulkan kalau Bunga terbawa perasaan dan membuat Bunga jadi hilang akal dan mendedikasikan diri sebagai seorang 'pelakor'.
"Padahal Bunga itu baik loh. Kenapa bisa?" Arfan sendiri tidak menyangka akan sikap Bunga yang dia ketahui dari ungkapan sang istri. Arfan sangat percaya Rianti tidak bakal mengada-ada. Dari nada bicaranya yang meninggi serta tiap ucapan yang ditekan membuat Arfan membaca raut wajah Rianti yang tidak memanipulasi fakta.
Meskipun begitu, Arfan tetap akan bicara serius pada Bunga. Terlebih Rianti selanjutnya mengungkap bahwa Jenny dan kawan-kawan berniat membantu Rianti memberi pelajaran pada Bunga.
"Nggak habis pikir. Aku nggak bisa terima dengan sikap Bunga. Mana dia terang-terangan suka sama kamu lagi." Rianti dan ketegasannya mendominasi. Walau sejatinya Arfan belum memiliki perasaan padanya, Rianti tetap menunjukkan jati diri sebagai pasangan Arfan. Pun mereka masih sah di mata hukum dan agama.
"Aku nggak akan biarin Bunga berbuat nekat," kata Rianti menurunkan raut wajah, kini memperlihatkan ekspresi sebalnya. Satu tangan sebelah kanan terus menyendok kuah sop menggunakan sendok bebek besi.
Tidak salah dengan tawaran Arfan untuk makan siang di warung coto dekat kantor balaikota, namun rasanya mengingat Bunga barusan justru makin membuat tubuh Rianti berkeringat. Kipas yang menggantung juga tidak meredakan panas yang menjalar sekujur badan.
"Tambah semangkuk lagi." Rianti melempar pelan mangkuk bertadah piring kecil tepat di hadapan Arfan. "Dagingnya sebagian paru. Aku mau isi amunisi buat ngajar dua kelas siang ini."
Tumben Rianti begitu bersemangat, pikir Arfan setelah melihat sikap Rianti barusan. Setelah memutuskan berbaikan, Arfan melihat antusias Rianti dalam melakukan tugas masing-masing. Meskipun Arfan belum merasakan cinta, tetapi Arfan percaya suatu saat rasa cinta tersebut akan datang. Namun harus menyertakan alasan kuat. Kini Arfan masih menganggap Rianti sahabat. Sahabat terbaik lebih tepatnya.
"Mas. Pesan satu mangkuk lagi." Arfan menyahut ke arah jam 1 tempatnya duduk. Meja yang ditempatinya panjang diikuti ukuran kursi. Dan kebetulan pula jarak Arfan dengan penjual yang membuatkan pesanannya sangat dekat, jadi memungkinkan untuk memanggil tanpa harus berdiri.
"Jadi rencana kamu apa? Mau marahi Bunga?" tanya Arfan memastikan. Pandangannya tidak salah lihat barusan Rianti menarik napas seakan ingin menumpahkan amarah. "Nggak usah repot-repot. Biar aku saja yang marahi. Toh dia asisten dosenku."
"Aku yang alami, aku yang harusnya kasih pelajaran," tegas Rianti, kemudian matanya menengok Arfan yang mulai berkacak pinggang dengan kedua tangannya mengepal. Seperti sedang ngambek namun konsistensi lucu.
"Meskipun begitu, Rin. Aku 'atasannya' dan akulah yang harus mengaudit sikapnya."
"Audit? Memangnya kamu 'kantor', yang biasanya suka lakuin audit?" Rianti bertanya tercengang sambil tertawa gelak. Jangan lupakan Rianti yang leluasa menepuk paha Arfan beberapa kali karena duduk bersebelahan, tepatnya Arfan di samping kirinya.
"Why? Memang salah aku sebut audit?" Arfan tampak tidak terima dengan Rianti yang menganggap kata-katanya adalah lelucon. "Ada matkul Audit juga kok di jurusan Sistem Informasi. Dan aku sempat kasih Bunga gaji dan keistimewaan lainnya. Aku juga sempat menaruh iba karena Bunga adalah anak rantauan dari Bandung."
"Tujuan kamu mau audit Bunga apa? Evaluasi kan secara bahasa kasarnya?" tanya Rianti penasaran, bukan sekadar rasa ingin tahu sebab dia pun baru tahu kata audit. Padahal ranah jurusannya di Sistem Informasi saat berkuliah dulu belum mendapat mata kuliah Audit. Atau mungkin ada namun Rianti lupa?
"Yah, Bunga kan menjual kesedihan ke aku. Yang katanya transferan orang tuanya telat kirimnya dan tabungan uangnya untuk digunakan bayar semester berikutnya. Jangan sampai Bunga cuma bohong. Biasanya sifat kasar itu pasti punya sifat-sifat lain yang tidak aku ketahui."
Citra Bunga ke Arfan adalah gadis polos baik hati, sering melempar senyum, dan pastinya adalah cantik berkulit putih dan memiliki mata cat eye. Jangan lupakan Bunga dengan rambut hitam bergelombang yang segar setiap hari. Meskipun rambutnya tidak sering dikibas-kibas layaknya iklan shampoo, namun terlihat cocok untuk ukuran Bunga.
"Dia sering banget bawa buku, peluk-peluk layaknya barang berharga." Arfan berceletuk mengingat-ingat awal pertemuannya dengan Bunga sampai permohonan Bunga untuk jadi asisten dosen. "Dia saat itu semester empat. Bunga bahkan berlutut seraya menggosok-gosok telapak tangan, ingin bantu aku ngajar. Tentu, dia juga minta bayaran. Karena merasa kasihan, ya aku terima si Bunga itu."
"Fix. Bunga itu anaknya udah berada di level baper maksimal," cibir Rianti lalu mulai menyendok kuah coto beserta daging paru ke mulutnya. Barusan pesanannya datang dan langsung memberikan sambal tauco serta perasan jeruk nipis sehingga menaikkan nafsu makannya.
"Atau bisa jadi, karena Pak Ju?" Arfan menanyakan faktor lain yang menyebabkan Bunga jadi bersikap buruk pada Rianti.
"Pak Ju? Pak Juan maksud kamu?" Rianti memastikan. Padahal panggilan Pak Ju cuma buat dirinya untuk Juan. Biasanya Arfan juga manggil dengan sebutan nama, bukan disingkat seperti dirinya.
Arfan mengangguk membenarkan. "Aku bertengkar dengannya dan Juan berani menyatakan perasaan sama kamu. Mungkin Bunga muak karena tahu kamu punya dua cowok."
"Betul sih. Bunga sendiri juga bilang begitu, kok. Katanya aku nggak boleh maruk. Padahal lihat dulu kenyataannya. Yang marah duluan siapa? Pak Ju, kan? Toh kamu nggak ngajak Pak Ju bertengkar. Paling Pak Ju juga terbawa perasaan karena aku nggak sengaja bilang rumah tangga kita sempat kacau."
Selanjutnya yang didengar Rianti adalah helaan napas pasrah dari Arfan. "Aku maklumi kamu berkata kayak gitu. Aku harusnya nggak perlu marah saat kamu mendesakku. Aku biarin aja, mending aku abai atau lari. Lebih baik begitu."
Apa kini Arfan merasa bersalah? Rianti bahkan lihat dari samping, kegelisahan menggerogoti.
"Aku yang salah. Aku yang terus maksa kamu. Bahkan nggak tahu kamu mengalami trauma." Rianti tak ragu memegang lengan suaminya, sekadar menenangkan. "Gara-gara Bunga, obrolan jadi ke mana-mana begini."
Arfan mendecih seraya melenggut. "Iya. Aku ingin buat Bunga minta maaf sama kamu. Toh Bunga mahasiswa dan dia harusnya jaga sikap ke dosen. Bunga juga mahasiswi kamu, kan? Dia ngambil kelas RPL, kan?"
"Iya. Itulah yang kusayangkan, Bunga kelewat baper dan mitnta aku buat menjauh dari kamu. Padahal kita bukan pacaran loh, kita suami-istri."
Rianti mengelus pipi kanannya yang ditampar Bunga. Sakit tentu masih dirasakan. Karena tamparan Bunga sangat keras, mungkin melebihi seorang pemain sinetron yang melakukan adegan tampar cuma menghempas angin. Bunga bahkan nyata berbuat itu.
Arfan menuangkan air putih yang tersedia melalui cerek plastik, lalu meneguk lewat mulut gelas bulat kecil langsung masuk ke kerongkongannya. Berulang terus sampai Arfan menaruh gelasnya dengan nyaring sambil menarik napas keras.
Rianti sampai terkejut. Mengingat Arfan tidak semarah sebelumnya. Kini giliran Arfan yang berusaha menumpahkan seluruh emosi dalam diri.
"Kamu ... nggak apa-apa, kan?" tanya Rianti memegang bahu Arfan.
"Besok aku akan–bukan lagi, benar-benar memberi pelajaran pada Bunga," celetuk Arfan bertekad. "Aku suruh dia jujur kalau bisa. Aku hafal wajah orang-orang yang jujur atau bohong."
***
"Heh, mau ke mana kamu?" Jenny merentangkan satu tangan menempel tembok, berusaha menghalangi jalan Bunga. "Aku mau bicara empat mata sama kamu. Jangan pergi dulu."
Jenny, Junita, serta Karin menghadang Bunga yang tengah melangkah di koridor kampus. Seperti biasa, Bunga membawa satu buku besar yang diduga sebagai binder ukuran B5 dieratkan ke dadanya. Bunga yang mengenakan cardigan biru muda tentu terkejut dengan kedatangan ketiganya.
"Minggir. Aku mau masuk kelasnya Pak Arfan." Bunga berusaha berbelok arah namun Karin menghalangi, membuat langkahnya terhenti secara spontan.
"Kalian mau apa sih? Kenapa kamu menghalangiku begitu?" Bunga tidak terima dan berseru pada Junita yang berada di tengah-tengah.
"We (Hei), pelakor tidak tahu diri." Junita mendapat giliran untuk berinteraksi. "Jangko mentang-mentang berani sama Bu Rianti, kamu bisa seenaknya tamparki Bu Rianti. Apa salahnya Bu Rianti? Sampai kamu tampar Bu Rianti, hah?"
"Bodoh kalian semua." Bunga tak ragu meledek ketiga gadis di depannya, seakan mengerti maksud mereka bertiga. "Bu Rianti maruk punya Pak Arfan sama Pak Ju. Bu Rianti tidak sadar diri. Masa dosen seperti dia bisa maruk mau memiliki dua cowok?"
"Ndak usah bicara tidak masuk akal deh!" Junita–si gadis rambut model bob itu berteriak lalu menjambak rambut gelombang Bunga meski tidak terlalu keras. "We, sekali lagi aku ingatkan kamu nah. Kalau masih mau macam-macam sama Bu Rianti, habis kamu."
Junita bak perundung, dia bahkan mengode Jenny untuk menghempaskan buku yang dipeluk Bunga ke lantai. Junita belum mau melepaskan jambakan pada rambut gelombang Bunga. Dia seakan puas menginjak-injak orang yang berusaha menyusahkan Rianti. Memang, mereka seperti bodyguard Rianti yang memiliki tugas melindungi kliennya dari gangguan manapun.
"Kenapa dengan kalian, hah?!!" Bunga berseru dengan tindakan Jenny barusan. "Ilmu semua itu isinya, tolo."
"Alah, tolo tolo," balas Jenny sewot. "Kamu sendiri juga tolo, sampai kurang ajar sama Bu Rianti."
"Mentong (memang) ini Bunga," sela Junita sambil tersenyum miring. "Ndak akan tenang hidupmu kalau kau sendiri masih kurang ajar sama Bu Rianti nah. Mentang-mentang situ asisten dosennya Pak Arfan sampai bisa kurang ajar begitu sama istrinya Pak Arfan."
Karin tak ragu menendang kaki Bunga sampai tersungkur. Lalu Junita melanjutkan jambakannya sampai menurunkan tubuhnya.
"Awas sampai macam-macam lagi, Bunga," ancam Junita sambil melempar tatapan tajam dan mengarahkan telunjuknya tepat di depan mata Bunga.
"Sudah. Biarkanmi itu tersungkur Bunga." Karin mengingatkan dengan nada biasa. "Ada kelasta', ayo daripada telat."
Junita akhirnya melepaskan jambakan pada rambut Bunga dengan keras. Sampai dahi Bunga terantuk di atas lantai. Kemudian mereka meninggalkan Bunga yang masih belum bangkit juga, lalu tak lupa Jenny menginjak buku binder Bunga meski tak terlalu keras.
Beberapa menit kemudian, Bunga berusaha bangun dari tengkurapnya barusan dan menyapu bagian cardigan yang kotor oleh ulah ketiga orang tadi. Sambil mendesis kesal akibat tindakan mereka.
"Mereka itu pada tolol semua. Mereka pada dasarnya membela Bu Rianti. Memang, Bu Rianti sialan itu punya banyak penggemar. Apa hebatnya?" gerutu Bunga lalu mengambil tasnya yang ikut jatuh.
"Bunga?" panggil Arfan dengan nada agak kencang, langkahnya tergesa-gesa menghampiri Bunga yang mulai menegakkan tubuh.
Bunga langsung memperbaiki rambut gelombangnya agar tidak terlalu kusut. Tentu kebiasan Bunga ketika berhadapan dengan Arfan ialah harus baik di mata dosen tersebut. Baik di fisik ataupun suasana hati.
"Ya, pak? Mau bicara apa?" tanya Bunga berusaha lembut di hadapan dosennya.
"Ini sangat penting, jadi kita bicara di pohon dekat parkiran kampus." Arfan meminta dengan nada terburu-buru lalu pergi lagi mengitari koridor kampus untuk keluar dari wilayah gedung fakultas. Bunga pun terlihat mengikuti langkah Arfan dengan pelan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top