Bab 23
***
"Bu Rianti." Gadis rambut bergelombang itu seketika merentangkan tangannya ke arah kiri, demi menghadang Rianti yang tergesa-gesa mengitari lorong wilayah dosen.
Rianti spontan terkejut. Ada apa sampai asisten dosen suaminya membuat wajah serius? Bahkan tatapan mata Bunga terlihat tajam, meski intensitas ringan. Apa yang terjadi?
"Bu–Bunga? Kamu – ngapain, hadang Ibu?" tanya Rianti perlahan dikuasai rasa gugup.
"Saya cuma mau ngingetin, Bu. Apa Ibu tidak sadar kalau Ibu punya dua orang, di saat Ibu ada Pak Arfan?"
"Punya dua orang, apa maksud kamu, Bunga?" Rianti makin tidak memahami ucapan gadis di hadapannya, terlebih Bunga yang berani menaikkan nada bicaranya pada Rianti.
"Ibu nggak boleh maruk," gerutu Bunga sambil melipat kedua tangannya. "Emang boleh Bu, menjadikan Pak Juan lelaki cadangan di saat Ibu bakal bosan dengan Pak Arfan?"
Rianti sungguh bingung. Mulutnya sedikit melongo kemudian menggaruk telinganya, memastikan kata-kata tersirat yang dilontarkan Bunga padanya.
"Bu. Saya mau ingatkan ke Ibu, kalau Ibu sebaiknya pikirkan baik-baik tindakan Ibu yang kelewatan. Ibu sudah punya suami loh. Harusnya Ibu tuh jaga sikap, dan tidak sembarangan deketin Pak Juan. Kasihan Pak Juan, Bu. Ibu malah mempermainkan Pak Juan seperti itu."
Bunga tak ragu-ragu menunjukkan rasa kesalnya ke Rianti. Bahkan kini Bunga masih konsisten melipat kedua tangannya, bersikap ketus pada istri dosennya.
Tak mau kalah, Rianti mulai berkacak pinggang dan memperlihatkan amarah yang selama ini tidak pernah dia keluarkan.
"Bunga. Kamu bicara kayak gini, sebab pertengkaran antara Mas Arfan dan Pak Juan di koridor kampus, kan?" tanya Rianti menduga maksud Bunga. "Jangan bilang karena kamu adalah asisten dosennya Mas Arfan, kamu bisa bertindak kelewatan begini? Bahkan ke Ibu?"
"Saya juga merasa kasihan sama Pak Arfan sih, Bu," tambah Bunga spontan membuang muka. "Pokoknya, Ibu udah permainkan mereka. Terlebih Pak Arfan."
"Tunggu, apa jangan-jangan ... kamu suka sama Mas Arfan?" Bukan tidak mungkin Rianti menebak seperti itu. Dari kedatangannya saja, malah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Rianti. Bahkan mengingatkan untuk jaga sikap, alasannya karena Bunga denial. Lebih tepatnya seperti yang disinggung, merasa kasihan. Padahal sejatinya, Bunga pasti ada rasa pada Arfan.
Rianti memang melihat Arfan dan Bunga berduaan. Bunga yang mencoba untuk mengobati luka di bibir Arfan, namun Arfan urung dan meminta Bunga untuk menjauh. Mungkinkah saat itu, Bunga sedang berusaha keras untuk mendekati Arfan, cuma karena statusnya sebagai asisten dosen?
"Asal kamu tahu ya, Bunga. Ibu udah lihat kalian berdua di taman dekat parkiran. Kamu pikir Ibu bodoh? Ibu tidak tahu dengan kelakuan kamu yang malah ingin mencium suami Ibu. Hah?"
Rianti menggerutu kemudian tak ragu mengacungkan telunjuknya ke Bunga. "Mending sejak awal kamu nggak usah deh jadi asisten dosennya Mas Arfan. Mahasiswi kayak kamu memang sejatinya nggak punya otak, nggak punya hati. Dengan dalih kasihan ke Mas Arfan sama Pak Ju, kamu nggak boleh dong seenaknya–"
PLAK!!!
Tiba-tiba saja, Bunga melayangkan satu tangan kanannya dan menampar pipi dosennya sendiri. Sungguh, Bunga telah menutup hati dan memilih meladeni bisikan setan yang mempengaruhi diri.
"Ibu sebaiknya jangan dekat-dekat Pak Arfan. Meski Ibu ini istrinya, tapi saya nggak suka. Ibu juga udah nyakitin hatinya Pak Arfan."
Bunga sungguh pemberani, melarang-larang Rianti–yang notabene adalah istri sah Arfan secara hukum. Rianti tak dapat menyangka kelakuan Bunga padanya.
Meskipun diancam seperti itu, hati Rianti tidaklah goyah. Pun kalau Bunga mendekati Arfan secara ugal-ugalan, toh Arfan juga tidak merasakan cinta. Bunga tidak akan tahu trauma yang dialami dosennya.
"Dasar ... kamu benar-benar kayak pelakor tahu nggak?" Rianti tak ragu bicara informal pada Bunga. Dia tak memandang Bunga seperti mahasiswinya lagi, walah sejatinya Bunga ikut satu matkulnya.
"Ibu nggak tahu diri. Ibu tuh harusnya ngaca. Kalau Ibu memang nggak pantas buat Pak Arfan." Suara Bunga meninggi, lantas hal itu dimanfaatkan Bunga untuk mendorong tubuh Rianti menggunakan telunjuknya. "Saya nggak mau Ibu dekati Pak Arfan lagi, karena mungkin Pak Arfan udah nyaman sama saya. Ibu harusnya ..."
"Heh!!! Ngapain lo marah-marah di depan Ibu Rianti?" Jenny berteriak hingga menggema. Rianti tahu asal suara itu. Suaranya berada di belakang Bunga, radiusnya berpuluh-puluh meter.
"Itu kan Bunga. Yang sempat ikut kelas kita, yang ngulang kelas Statistika itu nggak sih?" Ulfa menebak-nebak.
Kemudian Jenny, Ulfa, serta kedua lainnya lantas berlari menghampiri Bunga serta Rianti. Hingga mendadak, Bunga mencoba untuk menghindari mereka dan menjauhi Rianti, memutuskan untuk berlari sekencang mungkin.
"Heh, Bunga, jangko lari!" seru Junita. "Bunga, siniko!"
"Ibu. Ibu kenapa? Kenapa Ibu tadi dihadang sama Bunga?" Karin bertanya, mulai peduli.
"Keterlaluan sekali Bunga itu, marah-marah lagi di depannya Bu Rianti." Jenny menyayangkan sikap Bunga yang memilih untuk lari dari masalah. Harusnya Jenny bisa menangkap Bunga dan meminta gadis setahun lebih tua darinya itu agar bicara sebenarnya tentang alasan memarahi Rianti.
"Ibu nggak apa-apa, kan?" Kali ini Junita yang peduli. "Saya lihatki tadi ditampar sama Bunga. Nggak sakitji, Bu?"
"Emm nggak kok. Nggak, tamparannya Bunga tadi pelan-pelan." Rianti menutupi rasa sakitnya dengan senyuman. Rianti seakan enggan merepotkan keempat mahasiswi yang terus peduli kepadanya. Padahal Rianti tidak meminta mereka buat bersikap perhatian. Justru yang ada, dia akan bersikap lemah. Tidak, kali ini Rianti tidak mau 'mengemis' atensi mereka, kecuali mereka sendiri yang minta. Pun kalau sekadar bertanya kondisi, Rianti akan menjawab seadanya.
"Bu. Kalau misalnya terjadi sesuatu sama Ibu, kami malah kasihan loh, Bu," jelas Junita sambil memegang lengan RIanti. "Bu, pokoknya baik Pak Arfan atau Bunga, saya sama teman-teman kasih mereka pelajaran."
Tunggu, apa mereka berempat belum tahu bahwa Rianti juga Arfan telah sepakat berdamai? Itu terjadi sehari lalu, dan esoknya justru dihadang Bunga dan ditampar olehnya. Apa mungkin mereka masih menilai bahwa Arfan adalah pria yang buruk?
"Masih nasakitiki Pak Arfan, Bu?" Karin dapat giliran bertanya. "Kalau saya lihat Pak Arfan ngajar di kelas saya, Bu. Pak Arfan malah lembekki. Ndak tahu kenapa."
"Iya. Nggak ada tuh amarah-amarahnya Pak Arfan. Biasanya tuh dosen suka misuh-misuh sendiri," cibir Junita lalu berinteraksi lagi dengan Rianti. "Ibu, udah baikan kah sama Pak Arfan?"
Perlukah dijawab? Rianti rasa, mungkin lain waktu dia menjawab semuanya. Atau biarkan tindakan yang menjawabnya. Toh mereka juga pasti bakal kebetulan bertemu dan ketika itu Rianti dan Arfan sedang jalan bareng. Pasti mereka bakal dapat jawabannya.
"Ibu ... masuk ke dalam ruang dosen dulu. Maaf Ibu repotin kalian seperti ini." Rianti bertutur lembut kemudian berjalan lurus menuju ruangan dosen. Alangkah baiknya bagi Rianti untuk menghindar, daripada meladeni kekepoan mereka.
"Ibu kalau butuh apa-apa, panggil kami ya, Bu!" Jenny berteriak namun tak nyaring. "Ibu pasti akan butuh kami!"
"Ssstt, janganmoko teriak. Wilayah dosen ini. Kita ke lift deh, takutnya dosen lain lihatki." Junita mengapit lengan Jenny lalu menarik sahabatnya menuju lorong sebelah kanan di mana itu menuju akses ke lapangan terbuka. Tempat di mana berdirinya icon kampus Jayabhakti. Juga tempat di mana adanya ruang rektorat dan ruangan staf kampus. Mereka ingin ke gedung umum untuk memenuhi mata kuliah di luar jurusannya dan tentu mereka harus ikuti sebab masuk dalam matkul wajib. Jangan lupa Karin serta Ulfa mengekori.
Sementara itu di ruangan dosen, Rianti melihat Arfan tengah sibuk dengan laptopnya. Rianti kurang selera untuk bertanya, dan lanjut menduduki tempatnya. Soal barusan, Rianti enggan memikirkannya. Bahkan sekadar bertanya pada Arfan mengenai sikap kurang ajar Bunga. Rianti juga ogah menuduh Arfan atas perubahan Bunga. Lagipula tanpa bukti, sama dengan fitnah. Rianti enggan bila Arfan harus marah lagi dengannya atas masalah tersebut.
"Emm, Rianti." Arfan tiba-tiba memanggil, ketika Rianti baru saja menaruh tas tangan di atas meja kerja.
"Ya, Pak Arfan? Kenapa?" Rianti tak menyematkan 'Mas' untuk panggilannya ke Arfan, atas dasar sikap formal.
"Ayo, siang ini kita makan siang. Tapi nggak di kantin kampus, melainkan di luar." Arfan menawarkan, membuat Rianti termangu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top