Bab 19
***
"Heh, Pak Arfan! Jangan kabur kamu!"
Satu kampus mendadak teralihkan perhatiannya begitu pria dengan rambut bergelombang itu berteriak dan menghentakkan kedua kakinya menghampiri Arfan yang tengah berjalan menuju ruang dosen.
Tanpa lama-lama, tonjokan dari pria tersebut melayang spontan ke rahang Arfan dan membuat Arfan langsung terkapar.
Kali ini, Juan benar-benar menuruti kehendaknya dari dalam diri untuk menonjok Arfan sampai berdarah. Dia tak dapat menahan amarah saat tahu Arfan mengabaikan Rianti. Bukankah seharusnya Arfan berubah dan menjadi lebih baik pada Rianti, alih-alih merontokkan kepercayaan yang Rianti berikan?
"Dasar tidak tahu diri. Mentingin ego! Sudah tahu salah, malah kamu perparah dengan membuat Rianti menangis. Dasar kurang ajar!" Juan terus-menerus melayangkan pukulannya ke rahang Arfan, tak lupa di bagian pipi.
Rianti melotot saat memasuki gedung kampus, tahu dua pria yang dia kenal sedang bertarung dan adu otot satu sama lain.
Amarah Arfan kali ini terpancing, gara-gara Juan. Tanpa ragu-ragu pula, dia langsung berdiri dan menghadang Juan hingga tubuh si lawan menubruk tembok.
"Bilang sekali lagi. Aku apa tadi? Mentingin ego? Tidak tahu diri? Justru aku berusaha agar rumah tanggaku baik-baik saja. Kamu jangan nuduh yang nggak-nggak deh, kalau kamu nggak punya bukti," ucapnya berusaha membela diri. Dan tak lupa kedua tangannya menarik kerah kemeja Juan sangat kencang.
"Rianti sendiri yang bilang sama aku, kalau kamu mengabaikan dia. Rianti juga butuh kasih sayang oleh kamu. Masa kamu nggak balas usaha Rianti? Harusnya kamu sebagai suami sadar diri, dan ingat dengan kewajiban kamu!" Juan meninggikan suaranya sembari memberikan saran pada Arfan, sengaja melakukannya agar Arfan mendengar baik-baik. Setidaknya Arfan memasang kedua telinga dengan benar.
"Aku juga tengah berusaha membalas usahanya, kok!" balas Arfan tak mau kalah. "Kenapa kamu jadi marah-marah begini? Kamu juga bukan siapa-siapanya Rianti, kamu cuma 'sahabat'-nya aja." Arfan menyangkal sekali lagi tuduhan Juan padanya.
Tentu saja, pernyataan omong kosong Arfan membuat Juan menaikkan kadar amarahnya dan spontan kedua tangannya mendorong dada Arfan dan melepaskan kepalan dengan sangat kuat.
"Pak Ju! Udah, jangan berkelahi di koridor kampus! Nanti dilihat anak-anak dan teman kita gimana?" Rianti berusaha melerai kedua pria itu. Rianti memegang satu tangan Juan yang berniat memukuli Arfan sekali lagi.
"Suami kamu sungguh kelewatan, aku harus kasih pelajaran!" Juan tak mengindahkan leraian Rianti dan lanjut menarik kerah Arfan dan mengarahkan kepalan tangannya sampai Arfan terkapar.
"Pak Ju, tolong! Jangan bersikap kayak gini!" Rianti belum menyerah untuk melerai mereka berdua, meski dia kewalahan menghadapi Arfan dan Juan yang terus menerus adu otot.
"Nggak, Bu Rin. Aku nggak boleh biarin dia lolos. Seenggaknya, aku mau bikin wajah dia tidak berbentuk. Bodo amat, aku beneran marah sama Pak Arfan."
Juan seakan dikendalikan sesuatu hingga tak ragu menepis tangan Rianti yang mencoba melerai aksinya. Memang, kala mendengar pengakuan Rianti hampir beberapa hari lalu, justru membuat Juan memanggil sisi kerasnya untuk memberi pelajaran pada Arfan. Sebagai sahabat, dia berusaha melindungi Rianti dari masalah apa pun. Termasuk Arfan yang katanya tidak melakukan kewajiban sebagai suami. Juan cuma ingin agar Arfan sadar, belum lagi kesalahan yang telah berlalu.
Di sisi lain, Jenny dan Junita menonton aksi pertengkaran antar sesama dosen itu. Mereka berdiri di dekat akses koridor kampus. Jenny melipat kedua tangannya lalu mematri senyuman, seolah-olah menggambarkan rasa syukurnya sebab tak perlu menguras tenaga untuk berbuat niatnya memukul Arfan.
"Jujur. Aku merasa puas lihat mereka berkelahi," celetuk Jenny pelan. "Nggak perlu lagi tuh mengotori tanganku dengan menonjok Pak Arfan. Mungkin aku harus berterima kasih pada Pak Juan, karena beliau udah wakilin aku untuk mukuli pria maho itu."
"Sebersyukurnya kah kamu?" tanya Junita menekan ucapannya. Bahkan kedua matanya mendelik ke arah Jenny. "Haduh, bahkan pagi ini aku nggak expect loh liat pemandangan ini. Terus, ada Bu Rianti yang melerai mereka berdua. Seperti love-triangle nggak sih?"
"Loh, Pak Juan memang ada rasa sama Bu Rianti?" Jenny terkejut, sungguh tidak mengetahui hal tersebut.
"Duh, sebelum Bu Rianti dekat dengan Pak Arfan, mereka yang lebih dulu saling dekat. Mereka sahabatan, tahu. Kamu pasti nggak pernah lihat mereka deh sebelumnya," tutur Junita menjelaskan apa yang dia ingat dari Juan dan Rianti.
"Terus, Pak Juan yang bilang harus beri pelajaran karena buat Rianti menangis, apa itu semacam—" Lantas Jenny mengangkat satu punggung tangannya kemudian menutup mulut yang mulai tercengang. "Nggak mungkin. Nggak. Mustahil. Apa mungkin mereka benar-benar ada cinta segitiga?"
"Itu jarang terjadi di kampus kita, kan?" Junita berbisik sambil tertawa cekikikan.
Balik ke Juan yang masih berusaha memukuli Arfan, kali ini Rianti memeluk tubuh Juan agar benar-benar menghentikan aksinya.
"Tolong, Pak Ju. Tolong ... jangan pukul Mas Arfan. Jangan buat dia terluka. Tolong." Rianti memohon, nadanya terdengar sangat memelas.
Juan mengatur napas, lalu sedikit menoleh ke belakang. Melihat usaha Rianti yang berusaha menghentikan pertengkarannya dengan Arfan.
"Kalau memang Pak Ju sangat marah pada Mas Arfan, Pak Ju bisa lampiaskan ke aku. Nggak apa. Toh aku yang salah. Aku yang terlalu berlebihan. Aku sendiri yang memberitahu kamu tentang kejelekan Mas Arfan, yang mana Mas Arfan marah padaku. Aku sangat salah hingga bikin Mas Arfan nggak enak."
"Kamu ngapain nyalahin diri kamu, Bu Rin?" Juan bertanya dengan suaranya yang pasrah. "Lagipula aku kasihan, lihat kamu 'menderita' di atas skenarionya Pak Arfan. Aku nggak tega lihat kamu begini."
Juan mengalihkan pandangannya pada Arfan, seraya melotot tajam ke arah netra lawannya. "Kalau saja Pak Arfan kalah cepat dapetin Bu Rianti, mungkin aku bisa lebih dulu jadi suaminya Bu Rianti. Aku bisa bahagiakan dia daripada kamu, yang kerjanya cuma nyusahin Bu Rianti."
Semua yang menonton acara pertengkaran langsung tercengang dan bergemuruh. Banyak yang sekiranya tidak menyangka tentang hubungan cinta segitiga antara Arfan, Rianti, dan Juan. Terlebih, Rianti serta Juan yang sahabatan sejak lama, sempat menjadi perhatian para mahasiswa dan menduga mereka berpacaran. Juan kala itu sempat menyangkal, dan meralat bahwa Rianti adalah rekan dosen dan sahabat loyal.
Namun ungkapan kejujuran dari mulut Juan lantas menjadi sorotan berbagai pasang mata yang melihatnya. Juan tidak takut membuka rahasia di depan para mahasiswa atau dosen. Juan tentu ingin orang-orang tahu bahwa dia memiliki perasaan pada Rianti, dan dia mau membuktikan kalau Arfan tak pantas untuk Rianti. Cuma dia yang pantas.
"Sudah tertebak. Pak Juan memang benar-benar ada rasa sama Bu Rianti." Junita berbisik sangat dekat di telinga Jenny. "Apa dengan ini, kita punya satu drama menarik di kampus kita?"
Alih-alih membalas, Jenny mendelik curiga pada ketiga orang yang menjadi pusat perhatian. Bagaimana bisa dirinya tidak tahu apa pun? Bahkan dia tidak peka terhadap cinta segitiga dosennya?
"Kalau saja aku nggak punya hati, aku bisa tuntut kamu atas penganiayaan," celetuk Arfan seraya berusaha berdiri menggunakan bantuan kedua tangannya meskipun kesusahan. "Aku ... nggak tahu harus gimana lagi menghadapi kamu, Pak Ju. Tapi kali ini, kamu sungguh kelewatan."
Arfan menegakkan tubuhnya lalu menyapu-nyapu kemeja polos biru muda miliknya. "Beruntunglah karena aku nggak ingin perpanjang masalah ini. Anggap aja aku ditegur karena aku nyia-nyiain Rianti, jadi aku lupain apa yang kamu lakukan padaku. Tapi, baru pertama kali aku dengar kamu menyukai Rianti."
Kaki Arfan melangkah pelan dan matanya lebih mendekat pada Juan. Tatapannya sangat lekat. "Sejak kapan Pak Ju ... suka sama Rianti?"
Seakan kehabisan kata-kata, Juan memilih tidak menjawab. Dia mengganti kata-kata dengan bahasa tubuh. Matalah yang bekerja, justru balik menatap lekat Arfan. Tak lupa sorotan tajam di setiap iris matanya.
"Kamu berusaha denial?" tanya Arfan menebak. "Aku tahu, kok. Kamu sahabatan dengan Rianti sudah sangat lama, jadi aku paham gimana kalian. Hanya saja, kurang etis bila mengungkap terang-terangan menyukai Rianti, di saat aku masih berstatus suaminya."
"Tapi kamu nggak membahagiakan dia. Sama aja kamu bukan suaminya Rianti." Juan berucap tegas.
"Secara hukum, aku masih suaminya. Jadi harusnya kamu kontrol dong kata-kata kamu."
Arfan kini mencondongkan kepala dan mengarahkan mulut ke telinga Juan, niat untuk membisikkan sesuatu.
"Walau sampai sekarang, aku masih belum punya rasa sama Rianti. Tapi suatu saat, aku akan mendapatkan hatinya bila aku sudah menemukan rasa cinta itu. Tolong, Pak Ju. Menyerahlah, jangan menyukai istri orang."
Bagaimana bisa seorang Arfan bisa berubah begitu cepat? Bukannya Rianti bilang Arfan mengabaikannya? Bahkan Arfan tidak mau menyentuh Rianti? Betapa beraninya Arfan meminta pada Juan agar tidak melewati batas dalam interaksi bersama Rianti? Apakah dengan sekali tonjokan yang Juan layangkan, membuat Arfan benar-benar sadar? Sungguh mustahil.
Juan memilih tidak membalas apa pun setelah Arfan menegurnya. Juan juga memilih untuk menghentikan tangannya memukuli Arfan. Lebih baik baginya menjaga sikap setelah barusan sangat kelewatan, menyinggung perasaan tulus untuk Rianti.
Sementara itu, Bunga sedang berdiri di dekat tangga, menyaksikan pertengkaran antara Arfan dan Juan. Bahkan niat ingin naik ke lantai dua untuk masuk kelas justru urung melihat kegaduhan di koridor kampus.
Bunga sendiri juga mendengar pengakuan Juan yang menyukai Rianti. Apa permasalahan di antara Arfan juga Rianti disebabkan oleh Juan? Bunga enggan bertanya lagi. Malahan dia merasa kasihan begitu mengetahui wajah Arfan penuh luka. Dia merasa berhak untuk peduli pada dosennya.
Juan masih belum mengucap apa-apa, sampai akhirnya dia membuka mulut dan mempertanyakan alasan Arfan mengabaikan Rianti.
"Apa yang mendasari kamu tiba-tiba berlaku sebagai suami baik untuk Rianti, hah?" tanya Juan sambil matanya tersorot tajam pada Arfan. "Kamu nggak punya perasaan apa pun pada Rianti. Itu berarti, kamu sengaja? Memanfaatkan Rianti agar kamu tidak dihujat?"
Sebelum menjawab, Arfan tersenyum miring. Jarak pandangan mereka masihlah sangat dekat.
"Iya. Memang pada dasarnya–sejak awal, aku memang memanfaatkan Rianti agar aku tidak dihujat. Aku akui diriku tidak punya perasaan apa-apa pada wanita manapun, termasuk Rianti. Hanya saja, aku butuh dia agar aku nggak dicap sebagai penyuka laki-laki. That's why, aku perlu Rianti supaya aku merasa tenang. Rianti adalah perisai dari hujatan-hujatan tidak masuk akal yang masuk padaku."
Arfan langsung memungut barang-barang berupa buku serta map yang sempat terhambur ke mana-mana, kemudian matanya menyorot tajam sekali lagi pada Juan. Dia belum selesai bicara dengan Juan, dan ingin menuntaskannya sebelum masuk ruang dosen.
"Walau aku keterlaluan sama Rianti, namun mengingat sikap kamu yang seperti jadi pahlawan buat Rianti, rasanya bikin aku cemburu. Mungkinkah sekarang ini, aku sudah mulai memiliki perasaan terhadap Rianti? Karena aku nggak suka lihat kamu dekat-dekat dengan istri aku sendiri. Terlebih, kamu laki-laki dan tidak seharusnya kamu mendekati wanita yang sudah menikah."
Setelah itu, Arfan berlalu sembari membawa barang-barangnya tersebut. Dia tak peduli reaksi Juan selanjutnya. Dia membiarkan Juan serta Rianti yang masih berdiri di tengah-tengah koridor.
"Rianti!" Arfan mendadak berseru, memanggil nama sang istri. "Ayo. Jangan terpaku di situ."
Rianti tak karuan ketika diperintah oleh suaminya sendiri. Lantas dia mencari totebag miliknya yang ditaruh sembarangan saat mencoba melerai Juan.
Begitu menemukannya–tepat jauh dari jangkauannya, Rianti langsung mengaitkan tali totebag tersebut ke bagian lengan, kemudian cepat-cepat melangkah seraya melewati Juan.
Secara tiba-tiba, Juan memegang punggung tangan Rianti, menghentikan jalan wanita tersebut.
"Bagaimana bisa ... kamu masih menyukai Pak Arfan, padahal dia cuma mau memanfaatin kamu?" Juan bertanya kali ini tidak memandang wanita di sampingnya. "Jika seperti ini, lebih baik kamu pisah aja. Daripada kamu menderita."
Juan perlahan melepas cengkeramannya dan membiarkan Rianti pergi. Tanpa menunggu Rianti menjawab pertanyaannya tadi. Selagi Juan ikut beranjak dari kerumunan, Juan meminta agar mahasiswa yang menonton untuk berbaur dan mengembalikan atensi mereka pada aktivitas pribadi masing-masing.
Rianti sungguh telah menduga bahwa Juan benar-benar menyukainya. Tidak mungkin seorang Juan melampiaskan amarahnya tanpa aba-aba, biasanya Juan bakal memberikan saran atau solusi di setiap masalah Rianti yang tidak ada sangkut pautnya dengan Arfan.
Jika ditanya apa akan memilih mempertahankan pernikahan daripada meladeni Juan, jawabannya adalah dia sangat ingin mempertahankan pernikahan. Tidak lucu bila hubungan kedua keluarga harus putus hanya karena masalah sepele. Pun Arfan rupanya mulai menunjukkan kepedulian padanya, meski dia melihat wajah suaminya nyaris babak belur.
Mengingat demikian, Rianti masih harus menunggu suaminya benar-benar membuka perasaannya. Terlebih setidaknya, Arfan tulus mencintainya. Rianti tak gampang menyerah, dia bisa menghadapi sikap Arfan yang acak padanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top