Bab 17
***
Di ruang rapat lantai sepuluh, Ikram duduk di ujung meja panjang dengan tatapan penuh konsentrasi. Ruangan itu dihiasi dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Proyektor di depan menampilkan grafik penjualan Itime yang menunjukkan tren peningkatan. Suasana serius namun penuh semangat memenuhi ruangan, di mana para eksekutif serta pegawai Itime berkumpul untuk membahas masa depan perusahaan.
"Penjualan tiap cabang stabil." Ikram sebagai pemimpin rapat sedang menunjuk data-data berupa grafik dengan menggunakan pointer. "Kerja bagus semua. Saya suka dengan pembenahan kalian dalam memulihkan perusahaan. Dan saya harap, ke depannya akan seperti ini terus. Saya menyukai kerja keras kalian."
Ikram menepuk tangan hingga semuanya bergemuruh mengikuti tepukan dari pimpinan perusahaan tersebut.
"Untuk inovasi ..." Ikram menaruh kedua sikut di atas meja dan menaruh pointer di sekitar barang-barangnya. "Inovasi dari kalian, terutama para eksekutif, tentu bakal sangat membantu dalam memajukan perusahaan ini. Saya minta pada kalian agar jangan terlalu mendengar beberapa pihak yang ingin menjatuhkan perusahaan kita. Semenjak kejadian yang sengaja dilakukan putra bungsu saya, membuat Itime hampir runyam. Untunglah, dengan berita Arfan menikah, membuat perusahaan perlahan-lahan bangkit."
"Saya setuju, Pak Ikram." Budi, kolega terdekat Ikram yang menggunakan jas abu-abu, menyahut dengan semangat.
"Baiklah." Ikram melanjutkan dengan suara tenang namun tegas, menatap satu per satu orang yang hadir. "Jadi mulai sekarang, kita harus pastikan rencana menaikkan penjualan berhasil. Ini adalah kesempatan kita untuk mengukuhkan posisi Itime sebagai pemimpin pasar."
Ikram mengalihkan pandangan pada Dika, kepala pemasaran, yang mana duduk di sebelah kanannya sembari laptop terbuka di atas meja. Ikram kenal betul Dika, sebab terkenal dengan ide-ide yang inovatif dan selalu siap dengan strategi baru.
"Dika, tolong tetap dengan inovasi-inovasi baru ya. Saya tunggu." Ikram merentangkan tangannya dan menepuk lengan Dika dengan lembut.
"Emm, kamu sudah catat apa yang penting dari awal rapat, Tara?" Giliran Ikram yang bertanya pada Tara, si manajer produk.
Tara, gadis berambut pendek sebahu itu, langsung menyahut pertanyaan Ikram. "Iya, pak. Sudah." Tara mengangkat buku catatan kecilnya beserta pulpen yang menghimpit agar menjadi pembuktian bahwa dia benar-benar bekerja.
Setelah memastikan semuanya beres, Ikram menginterupsi. "Oh iya, ngomong-ngomong. Bulan depan, kita akan meluncurkan menu baru di semua cabang Itime," lanjut Ikram, kini mulai menunjukkan beberapa slide yang menampilkan foto-foto menggugah selera dari menu baru tersebut. "Ini dari beberapa anggota tim yang telah bekerja keras membuat prototype-nya. Semoga ini bisa masuk ke tim pengembangan produk, biar mereka mengembangkan produknya.
Ikram mengalihkan interaksi pada si manajer produk. "Untuk Tara, berarti kamu yang mengkoordinasi pengembangan produk. Saya minta tolong ya, pastikan semua persiapan berjalan lancar. Jangan sampai ada yang terlewat. Kita harus pastikan setiap cabang siap menerima dan mengimplementasikan tiap inovasi."
Tara mengangguk dengan mantap. "Baik, Pak Ikram."
Dika, yang biasanya selalu punya ide segar, menambahkan, "Oh iya, Pak Ikram. Saya memikirkan sesuatu, kalau ... kita bisa manfaatkan media sosial untuk promosi besar-besaran. Sekarang saat yang tepat untuk mendekatkan pelanggan dengan brand kita. Mungkin kita bisa membuat kampanye interaktif yang melibatkan pelanggan dalam memilih menu favorit mereka."
Mendengar hal itu, Ikram teringat dengan si bungsu, Arfan. Putranya itu influencer dan berpengaruh besar terhadap sosial media. Apakah Ikram mau melempar tawaran pada Arfan, untuk membuat kampanye promosi?
Ikram memahami saran tersebut, lalu memilih untuk mengulum senyum. Seakan ingin menghargai antusiasme kedua tim.
"Saya setuju, tapi disimpan dulu sebagai catatan ya." Ikram memberi pesan pada Dika. "Tentu, saya menghargai semua usaha kalian–terutama Dika dan Tara, yang sangat berarti bagi kesuksesan Itime. Lebih baik, mulai sekarang–dan seterusnya, sampai benar-benar sukses, kita terus berinovasi dan berkomitmen pada kualitas."
Ikram pun memberikan tepuk tangan untuk kedua kali, dan berlangsung sangat meriah. Semua yang berada di ruang rapat pun ikut bertepuk tangan, begitu bergemuruh.
Rapat akhirnya berlanjut dengan membahas perencanaan tentang investor dari luar negeri. Pembahasan ini butuh waktu kurang dari setengah jam hingga Ikram menutup rapat dengan memberi pesan pada semuanya agar tidak melupakan beberapa poin penting yang telah dibicarakan selama rapat berlangsung.
Setelah rapat selesai, Ikram berjalan bersama koleganya, Budi, menuju pantry khusus yang biasa mereka gunakan untuk istirahat sejenak. Mereka berdua punya kebiasaan mengobrol santai sambil menikmati kopi, membahas ide-ide segar yang muncul di tengah-tengah kesibukan.
"Eh, Ikram, piye kabare inovasi anyar iki? (bagaimana kabar inovasi baru ini?)" tanya Budi dengan logat Jawa yang kental, memecahkan keheningan dengan senyum lebarnya. "Aku krungu-krungu yen arep nggawe konsep anyar (dengar-dengar kalau mau membuat konsep baru) nang suatu mall. Mall mana?"
Ikram tertawa kecil sambil menuangkan kopi ke cangkirnya. "Isih kudu golek mall sing cocok kanggo gawe konsep anyar. Terus yo, gak gampang ngleksanakke. Kita kudu fokus ngasih inovasi marang menu panganan sing disenengi masyarakat.*"
*(Masih harus cari mall yang cocok untuk buat konsep baru. Terus juga, tidak gampang implementasikannya. Kita harus fokus memberikan inovasi terhadap menu makanan yang disukai masyarakat.)
Budi menyahut seraya menyeruput kopinya. "Iyo. Capek yo kudu mikir konsep sing cocok. Iso ae kowe serahke nang tim kreatif, wong-wong kuwi pikirane encer kabeh lan mesti cepet rampung kanggo masalah mikir konsep."
*(Iya. Capek juga harus mikirin konsep yang cocok. Bisa aja kamu serahkan ke tim kreatif, mereka tuh pikirannya encer semua dan pasti bakal cepat selesai untuk masalah memikirkan konsep.)
Budi menepuk tangan satu kali, dan membuka mulut lebar-lebar seakan mengingat sesuatu yang penting. "Gimana kabar anak bungsu kamu? Si Arfan? Piye kahanane saiki? Apa Arfan lan bojone apik-apik ae? (Bagaimana keadaannya sekarang? Apa Arfan dan istrinya baik-baik saja?"
"Yoh, aku wes nyebutke (sudah singgung) pas rapat tadi. Karena pernikahan Arfan, perusahaan dadi apik-apik ae (jadi baik-baik saja). Kudune kita bersyukur karo kabar pernikahane anakku (Harusnya kita bersyukur atas kabar pernikahannya anakku)."
Budi spontan berdecak lega kemudian menghela napas pelan. "Sing bagus kalau gitu. Berarti kondisi perusahaan benar-benar sudah pulih karena si bungsu."
"Huum. Betul." Ikram mengangguk pelan namun agak bersemangat. "Semoga ae anakku bisa bahagia. Aku mau mereka ndak terlalu memikirkan beban."
"Sejatinya gitu, Pak." Budi menjawab dengan spontan sambil membuang cup kopi ke tempat sampah.
Ikram mendadak harus ke ruangannya karena ada sesuatu yang penting, jadi dia langsung berucap pamit pada Budi, yang rupanya masih ingin nambah minum teh. Buktinya Budi ambil sekantong teh dan menaruhnya pada mug warna biru muda.
Saat Ikram tergesa-gesa menuju ruangan pribadi, telepon genggamnya bergetar di saku jas. Ikram mengeluarkannya dan membaca pesan singkat dari sekretaris, memberi tahu bahwa Ronny, adiknya, baru saja tiba di Jakarta dan akan melanjutkan perjalanan ke Makassar. Kabar itu membuat Ikram menghentikan langkah, berpikir tentang bagaimana Ronny sudah lama tak berjumpa dengannya.
Mengetahui hal tersebut, Ikram segera menelepon Fikri, yang tampaknya sejak awal tak merasakan kedatangannya di kantor.
"Nak, Paklek Ronny mau datang. Kamu bisa jemput dia di bandara?"
Fikri yang kebetulan berada di rumah serta memegang beberapa berkas di tangannya, mengiyakan dengan semangat. "Ba–baik, Ayah. Fikri langsung siap-siap. Nanti Fikri kasih kabar kalau sudah sampai."
Ikram menutup telepon dengan senyuman lega, kemudian dia mengantongi ponselnya lagi dan berjalan menuju ruangannya.
***
"Paklek ndak bilang nek arep teko (kalau mau datang), kudune wes ngomong sehari utawa kapan wae. (harusnya bilang dari sehari lalu atau hari lain.) Malah ndadak datangnya." Fikri menenteng koper milik Ronny begitu sedari tadi berdiri di gerbang kedatangan. Ronny datang dari Singapura ke Jakarta, sengaja untuk istirahat sehari, lalu mengambil jadwal ke Makassar setelahnya.
"Paklek ndak kunjungin Surabaya?" tanya Fikri lagi begitu Ronny telah berada di sampingnya.
"Paklek ndak ada waktu," jawab Ronny dengan suara beratnya, sembari melepaskan kacamata hitam miliknya. "Sibuk wae sama urusan perusahaan cabang di Singapura. Jujur ya, paklek sampai kliyengan lihat-lihat statistik sama grafik-grafik. Duh."
Ronny yang berperawakan tinggi besar itu mengeluh pusing. Fikri yang tinggi badannya mencapai leher pakleknya cuma bisa geleng-geleng kepala sembari terkekeh ringan.
"Oh iya, piye kabare adekmu? (gimana kabar adek kamu?) Si Arfan itu? Baik-baik, ta?" Ronny bertanya sembari memegang ponselnya untuk membalas pesan WA.
"Iya, baik kok. Paklek bukannya ndak bisa datang ke nikahannya Arfan? Kan aku sempat share undangan digitalnya ke paklek."
Ronny membalas seraya membuang napas perlahan. "Benar, paklek ndak datang soale urusan klien sing gak entek-entek. (karena urusan klien yang nggak habis-habis.) Tapi kan paklek wes kirimin duit nikahan dia melalui transfer. Arfan mestine udah terima, kan?"
Fikri mengangguk. "Iya sih. Cuma ya tekoe paklek kuwi penting banget. (kehadiran paklek begitu penting.) Arfan pasti sangat rindu dengan paklek-nya."
Ronny tertawa pelan sebagai balasannya. "Si Rifan ngemudiin mobilmu,ta?"
Rifan adalah asisten Fikri, tentu Rifan menjadi kepercayaan Fikri dalam urusan mobil. Fikri melenggut mengiyakan.
"Tunggu aja di depan. Oh iya, paklek arep tak pesenke siji kamar hotel? (mau kupesenin satu kamar hotel?) Biar paklek istirahat dulu. Kan kasihan paklek tiba-tiba harus datang ke sini cuma buat ketemu papa."
Ronny meregangkan lehernya, tak lupa eluhan pelan yang terdengar jelas. "Iya. Pesankan satu yang nyaman dan ada paket sarapannya. Paklek gak ngerti panganan opo sing enak nang Makassar, wedi nek salah pesen nang OjekFood.(nggak tahu makanan apa yang enak di Makassar, takutnya salah pesan kalau di OjekFood.)"
"Iya, paklek. Hotelnya di MaxOne." Fikri memberikan usulan menarik. "Di sana bagus semua fasilitasnya. Tunggu, biar aku pesankan, semoga masih ada kamar mereka yang kosong."
Fikri berinisiatif mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Dia memesan di aplikasi pemesanan hotel dan tentu memilih fasilitas yang sepadan dengan paklek-nya inginkan.
Di sisi lain, Arfan yang pulang dari kampus pada jam siang sedang menandatangani bukti penerimaan paket di resepsionis. Arfan kedatangan paket sampel gratis yaitu skincare dan kaos branded. Tentu, Arfan ingin membuat beberapa konten berdasarkan brief yang sudah dibagikan oleh pihak brand. Semoga saja, Arfan lancar merekamnya meski harus sendirian. Walau demikian, Arfan tak masalah bila mengatur beberapa hal, lagipula dia terbiasa berbuat apa-apa sendirian.
Andai saja, tidak ada cekcok antara dirinya dan Rianti, dia pasti bisa suruh Rianti jadi asistennya dan tentu ada imbalannya jika Rianti kooperatif dengannya. Tapi sayang, Rianti sungguh seperti anak kecil yang memaksa orang tuanya buat dibelikan permen. Tentu sejujurnya, Arfan menyanggupi permintaan Rianti, namun tunggu waktu yang sesuai. Lebih tepatnya, menunggu perasaan Arfan yang sebenarnya dari dalam hati.
Tiba di unit, Arfan langsung menaruh paket-paket miliknya di atas meja makan. Tanpa basa-basi, dia langsung membuka paket tersebut menggunakan cutter. Bubble wrap yang membungkus paket itu spontan terkoyak dan merobeknya hingga menampakkan kotak besar cokelat berbentuk persegi panjang.
Arfan terkesima begitu membuka paketnya. Baju yang terlipat rapi beserta brand tag tersemat di dalamnya. Tak lupa skincare ikut terbuka, di mana isinya berbagai macam seperti serum, toner, pelembap, eye cream dan lain sebagainya.
"Kalau review produk udah selesai, mau aku kasih semuanya ke Rianti."
Sejenak Arfan terlupa bahwa dia menyebutkan nama sang istri. Itu refleks semata. Kedua bola mata Arfan membesar, lantas menutup mulutnya pula.
Arfan menghela napas pelan lalu menggelengkan kepala. "Nggak. Aku kan masih marahan sama dia. Buat apa kukasih semua?"
Lalu tiba-tiba, dia teringat seseorang. Seseorang yang menurutnya terlalu mengasihani sehingga hatinya merasa iba.
"Bunga? Perlukah aku kasih skincare ke Bunga?" tanya Arfan menerka-nerka.
Akan tetapi, dia mengingat statusnya. Dia sudah menikah dan menjadi suami dari Rianti. Kenapa dia malah terus menerus menaruh belas kasihan pada Bunga? Hanya karena Bunga adalah mahasiswi rantau dari Bandung dan sendirian di kota orang.
Nggak, Arfan. Kamu marahan sama Rianti bukan berarti kamu harus menodai harga diri dia juga. Aku nggak mau kena masalah dua kali. Sudah cukup dengan pernyataan aku yang tidak suka wanita, bikin mereka marah.
Arfan mengalami hal yang sama ketika menolong Rianti. Sekali memberi bantuan, dia terus kepikiran. Dengan begitu, ke manakah hati Arfan akan berpaling, di saat rasa cintanya begitu acak?
Saat pikirannya terlalu jauh, ponselnya berbunyi. Lamunannya buyar hingga menggelengkan kepala. Dia segera meraih benda petakan tersebut ke arah jam tiga. Ternyata dari abangnya. Tentu dia tidak mau buat abangnya menunggu cuma lama mengangkat telepon. Jempolnya mengusap tombol hijau kemudian menempelkan ponsel ke telinga.
"Iya, bang? Kenapa telepon?" tanya Arfan langsung pada inti.
"Paklek datang. Abang lagi di MaxOne, temenin paklek sampai ke kamar."
Paklek? Rasanya Arfan punya banyak paman, entah dari pihak mamanya atau papanya. Kali ini paklek siapa lagi? Yang jelas dia merupakan adik mama atau adik papa.
"Paklek siapa?" tanya Arfan sungguh kurang memahami.
"Paklek Ronny. Masa nggak ingat?"
Paklek Ronny? Bukannya dia presdir di perusahaan yang sama dengan sang papa? Cuma cabangnya ada di Singapura? Arfan langsung saja menepuk kepalanya, sebab baru mengingat. Paklek Ronny juga sering berkunjung ke rumah kala Arfan kecil. Arfan masih mengenal adik papanya itu. Ronny yang tinggi besar dan kekar, namun posturnya tegap.
"Mau ndak ke sini? Deket loh dari apartemen kamu," bujuk Fikri.
"Emm, ndak dulu, bang. Aku mau review produk dan harus take video sekarang, tenggat waktunya juga dua hari lagi, jadi ndak boleh buang-buang waktu."
Fikri berdeham panjang tanda memaklumi kesibukan sang adik. "Iya deh. Paklek katanya kirim salam sama kamu. Paklek rindu sama kamu, lama nggak peluk-peluk kamu. Terakhir katanya waktu kamu kecil, paklek sering peluk kamu."
Arfan tertawa ringan sebagai balasan. "Iya, salam balik ke paklek."
"Paklek sudah mau ke kamarnya. Abang tutup ya."
"Iya, bang. Abang juga, jaga kesehatan ya. Lama ndak ke rumah, setelah aku nikah."
Arfan mengulum senyum pelan seraya perlahan membayangkan hal-hal baik bila dirinya tidak kena masalah. Andai dia tidak perlu mengakui jati dirinya di acara podcast, dia tetap bisa fokus meraih impiannya dan menikmati masa lajangnya.
Meskipun dia masih mencari perasaan sebenarnya, namun perasaan Rianti harus dia jaga baik-baik. Dia tak membenarkan pengkhianatan, dan lagi, dia tidak mau membuat masalah yang nantinya bakal merembet ke keluarganya dan aspek lainnya.
"Iya, kalau kamu ada waktu, ke rumah aja. Rianti tuh, kamu ajak ya."
Dengan tenang, Arfan menjawab. "Ya, bang. Semoga Rianti mau kalau aku ajak."
"Baiklah. Abang benar-benar tutup ya teleponnya."
Baru setelah itu, sambungan telepon Fikri sungguh terputus beberapa detik kemudian. Arfan mulai menaruh ponselnya di lantai kemudian lanjut untuk memilah barang yang bakal dia ulas.
***
"Ngomong-ngomong, makasih ya karena kalian udah baik banget ke Ibu. Meski Ibu nggak ingin repotin kalian, tapi kalian malah inisiatif menghibur Ibu."
Rianti berdiri di tengah-tengah Jenny, Junita, Karin, dan Ulfa yang mana mereka duduk berseberangan masing-masing dua kursi. Tentu, Rianti mengungkap rasa syukurnya sebab ditraktir oleh mahasiswinya sendiri. Rianti juga sebenarnya tidak mengharapkan hal apa pun dari mereka, setelah tak sengaja menangis dan dilihat Jenny serta kawan-kawan. Tetapi bagaimanapun, dia harus menghargai pemberian mahasiswinya. Pun itu sebagai bentuk terima kasihnya karena mereka menghiburnya dari kesedihan yang sempat dia alami.
"Nggakji, Bu. Saya nggak repot kok. Kami peduli sama Ibu, kami mau Ibu senyum terus, daripada nangis. Sedih terus, kan nggak baik, Bu." Jenny menjawab tak menghilangkan senyum di wajahnya.
"Yang penting, kalau ada apa-apa, bilang sama kami, Bu. Kami nggak bakal kerepotan," timpal Junita juga ikut tersenyum.
Rianti tidak pernah mengungkit masalah rumah tangganya ke mereka, namun Jenny justru tahu dan menebak penyebab Rianti bersedih karena Arfan. Jujur, Rianti sangat ingin membenarkan dugaan mereka, namun sekali lagi dia lebih memilih tutup mulut dibanding harus jujur secara gamblang.
"Oh iya, Ulfa bilang, kamu sempat marahin Pak Arfan?" Rianti bertanya, begitu dia ingat hampir dua pekan lalu Ulfa melapor ke dirinya bahwa Jenny berteriak dan mengancam Arfan.
"Itu ... i–iya, Bu. Saya marahin Pak Arfan." Jenny menjawab dengan gugup, mungkin karena takut istri dosen yang dia marahi berada di depannya. Khawatir bila Rianti merasa tersinggung akibat tindakannya. "Cuman kan, sejak Pak Arfan ngaku nggak suka cewek, Pak Arfan jadi sering berbuat aneh. Misalnya, mengabaikan Ibu. Terus, dia juga sering marah-marah sendiri di kelasku, Bu."
"Bagaimanapun juga, Pak Arfan ya tetap suami Ibu. Walau dia pembuat masalah, tapi nggak etis loh marahin dosen kamu seperti itu. Terlebih, kamu mau ngancam dia dengan memukulnya kan?" Sikap Rianti mulai tegas, dia berkacak pinggang namun tidak menimbulkan situasi tegang di antara mereka. Rianti tak menunjukkan sikap amarah pada Jenny.
"Tapi Pak Arfan yang duluan kok, Bu." Jenny seakan ingin menyangkal, namun segera dihentikan Karin yang duduk di sampingnya.
"Edede, semaunya," protes Karin. "Bu, dia yang marahin Pak Arfan lebih dulu, Bu. Dia teriak sampai satu kampus denger, Bu."
"Si cepu," ledek Junita pada Karin.
Reaksi Rianti hanya menggelengkan kepala seraya terkekeh ringan.
"Tapi, Bu. Saya tetap nggak membenarkan sikap Pak Arfan ke Ibu, yang sudah bikin Ibu nangis." Selanjutnya Jenny berkata dengan lantang, seakan mendukung tindakannya. "Intinya kalau Pak Arfan berbuat yang nggak-nggak sampai Ibu sedih, jangan sungkan bilang ke kami, Bu. Pak Arfan emang harus diberi pelajaran, biar dia kapok."
"Sudahmi, Jen!" Karin menepuk keras lengan Jenny, yang merasa sikap sahabatnya sudah kelewatan.
"Emm, apa Ibu mau bungkus makanan?" Tiba-tiba Jenny mulai merendahkan suaranya dan menawarkan dengan nada lembut di hadapan Rianti. "Mau makanan mahal juga nggak apa-apa, kok. Papa saya nggak habis-habis uangnya."
"Nggak, nggak usah, Jen. Kamu jadi banyak repot," kata Rianti sungkan, seraya duduk lagi di kursinya setelah berdiri untuk memberi peringatan pada Jenny.
"Ih, nggak, Bu. Nggak repotji. Daripada Ibu yang repot harus beli mie di minimarket atau scroll hape untuk pesan makanan, mending saya beliin, Bu. Toh kalau bungkus, porsinya lebih banyak, kayak di warung nasi padang."
Jenny mengapresiasi kafe yang dia pilih untuk traktiran dosennya. Selain interiornya yang homey karena dipenuhi berbagai perintilan kayu pilihan, menu makanannya juga tidak kalah enaknya. Mereka menjajakan berbagai macam hidangan mulai dari berat sampai ringan. Bahkan Jenny memilih nasi goreng sambal matah dengan potongan ayam dada krispi untuk Rianti. Porsinya pun besar bak porsi untuk kuli. Sungguh memanjakan, terlebih lokasinya di pusat kota.
"Aku mau bungkus, buat bawa pulang." Ulfa mengangkat tangan dan menjadi perhatian semua orang.
Jenny berdeham seraya menggelengkan kepala. "Bukannya Bu Rianti yang minta, tapi kamu malah yang minta."
"Biarin, lagipula aku pake uang sendiri, kok. Bukan uang kamu, yang katanya nggak habis-habis itu," sindir Ulfa sembari memicingkan mata.
"Bellin gih, daripada Ulfa ngambek," pinta Junita berniat iseng, lalu mengeluarkan tawa terbahak sampai semuanya ikut tertawa.
"Ya udah, tapi split bill ya. Awas kalau nggak ganti besok." Jenny terlihat uring-uringan mengeluarkan dompet dari tas tangan kecilnya, lalu berdiri dari kursi untuk memesan makanan take away yang harusnya untuk dosennya tapi malah buat Ulfa, sang sahabat.
"Kalau begitu, Ibu duluan ya. Ibu harus cepat-cepat pulang, daripada kelamaan di sini." Rianti memutuskan pamit seraya mengangkat tas tangannya. Lalu wanita blus biru muda itu mengibaskan tangan, berniat untuk melambai ke mereka. Kemudian dibalas oleh ketiga orang di meja dengan suara yang agak bergerumuh.
Rianti keluar dari kafe dan langsung mengeluarkan ponsel. Begitu berhasil membuka aplikasi transportasi daring, tiba-tiba mobil matic menepi tepat di hadapannya. Membuat Rianti terkejut, kala kaca mobil terbuka perlahan.
"Bu Rin. Ayo, naik mobilku. Daripada Ibu naik taksi, sendirian pula." Juan menyapa dari dalam, menampakkan senyumnya yang merekah.
Lantas bola mata Rianti cukup membesar, ketika tahu siapa pemilik mobil itu.
"Pak–Pak Ju?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top