Bab 15
***
Tak ada yang menyangka dalam kehidupan pernikahan Rianti, dia bisa dipermainkan begitu saja oleh Arfan. Pikirnya selama ini, suaminya cuma mengeluh capek akibat pekerjaan yang menyita waktu. Namun setelah kejujuran terungkap, Rianti sungguh merasa sakit hati. Padahal sejatinya, sebelum pernikahan, dia sempat ingin menjauh dan menanggalkan rasa suka kala mendengar Arfan yang tidak menyukai wanita.
Apa mungkin, Arfan sengaja membuat Rianti terjebak sebab ingin menghindari hujatan yang dilayangkan padanya? Entah, bahkan Rianti pun enggan memikirkan hal itu.
Kini, Arfan dan Rianti jaga jarak. Sarapan pun, mereka harus terpisah. Arfan yang memilih sarapan di luar, demikian pula Rianti. Mereka tidak punya obrolan untuk dibahas. Mereka berangkat ke kampus, masing-masing membawa pilihan yaitu Rianti dengan ojek daring dan Arfan dengan mobil pribadi.
Rianti tentu nyaman menggunakan transportasi daring, meskipun di awal pernikahannya, dia sempat diantar oleh Arfan. Juga dijemput oleh Arfan. Semua jadi berbeda ketika Rianti sendiri.
Di kampus, Rianti berjalan pelan menaiki tangga dengan lantai marmer untuk memasuki gedung fakultas. Ketika mengitari dalamnya, dia cuma menemukan beberapa mahasiswa lalu lalang, entah ingin masuk kelas ataupun berjalan keluar setelah mengikuti kelas. Rianti tidak peduli, dia memilih mengarahkan langkahnya ke sebelah kiri–area dosen dan staf, lalu mendorong pintu ruang dosen agar dapat menaruh totebag miliknya di meja.
Melewati meja suaminya yang memiliki ciri khas bunga tulip di pojok, membuat Rianti seakan tersengal begitu memandang Arfan yang tengah bekerja di depan laptop. Lagi dan lagi, Rianti tidak peduli. Dia berusaha agar tidak membuat komunikasi dengan Arfan. Membenci Arfan, tentu mustahil. Dia cuma ingin menenangkan diri setelah pertengkaran mereka semalam. Lebih baik, jangan meladeni Arfan. Pun sama saja dia mengganggu pekerjaannya.
Saat totebag-nya berada di atas meja, tiba-tiba sesosok lelaki tinggi menggunakan jaket hijau tua, langsung menghampiri meja Rianti.
"Bu Rin. Tumben, malah nggak nyapa suami? Biasanya kamu rajin banget melempar senyum sama Pak Arfan?" tanya Juan heran sambil menopang dagunya di atas sekat meja Rianti.
"Memuakkan," jawabnya cepat. "Aku nggak mau rekan dosen kita risih lihat aku sama Mas Arfan jadi mengumbar kemesraan. Takutnya terlalu berlebihan."
"Bukannya hal itu biasa-biasa aja menurut kalian? Lagipula belum sebulan kalian menikah loh."
Rianti menghela napas berat. Sungguh menyebalkan bila harus meladeni sikap penasaran Juan. Padahal Rianti memang sering sekali bertukar cerita dengan sahabatnya itu, entah kehidupan pernikahannya ataupun hal-hal pribadi. Tetapi sekarang, Rianti seakan tidak ingin mengungkapkan permasalahan rumah tangganya. Memendamnya adalah hal terbaik untuknya.
"Kok kamu nggak mau cerita?" Juan kini mendesak dengan nada agak manja. "Ayolah. Kalau gundah tuh, pasti kamu larinya ke aku buat nyeritain semuanya. Jika Pak Arfan lagi sibuk dan nggak bisa cerita. Sebagai sahabat, masa aku nggak peduli sama kamu?"
Rianti duduk dan mengeluarkan laptop kecilnya. "Pak Ju. Kamu nggak kerja? Tugas pretest buat pertemuan enam juga belum kuperiksa loh. Nanti kalau ada kesempatan, baru bisa kuceritakan semuanya sama kamu."
Dengan nada rendah seakan risih terhadap kehadirannya, Juan pun menyerah. Pun sekejap kemudian dia tersadar sikapnya terlalu berlebihan. Juan tak perlu jadi kepoan cuma karena melihat wajah Rianti yang masam. Mungkin lebih baik ada waktu tertentu bagi Rianti untuk cerita. Juan menebak, pasti Rianti mengalami suatu masalah. Yang mungkin lebih parah.
Juan enggan mencari akar, dan dia tak boleh melayangkan tuduhan pada Arfan. Lagipula sama saja memfitnah suami sahabatnya sendiri. Lebih baik melanjutkan pekerjaan, daripada meladeni hal yang buat kepalanya pusing.
***
Dua kelas telah terlewati. Arfan ingin mencari makan siang di kantin kampus, alih-alih memesan makanan. Entah kenapa, menggulir beberapa restoran di ponsel menurutnya membuang-buang waktu. Dia seakan lupa bahwa kantin kampusnya memiliki menu makanan yang enak. Salah satunya yaitu ayam katsu disiram kuah kari. Mendengarnya saja sudah bikin perutnya bergejolak.
Saat hendak memutari gedung fakultas untuk menuju area belakang kampus, tiba-tiba dia melihat sesosok wanita dengan gaun terusan warna hijau muda tengah melangkah sangat pelan. Jalannya seperti keong, dan wanita tersebut menundukkan kepala.
Arfan bisa menebak wanita itu adalah istrinya, Rianti. Semenjak memutuskan benar-benar mengabaikan Rianti setelah pertengkaran mereka, Arfan awalnya merasa tidak enak sebab mengingkari janjinya agar tetap menganggap Rianti sahabat dan memiliki sedikit kepedulian. Tapi, amarahnya menaik kala Rianti memaksanya berbuat hal yang belum siap dilakukan.
Berulang kali Arfan meminta pengertian dari Rianti, namun Rianti malah bertanya 'kapan?' dan 'kapan?'. Sungguh muak.
Ketika Arfan berniat ingin melewati Rianti dan berjalan cepat menuju kantin, segerombolan gadis berjumlah empat orang spontan menghampiri Rianti dan membuat Arfan langsung menghentikan langkah. Dia memandang dari jauh, apa yang mereka lakukan kepada Rianti?
"Bu Rianti. Ibu kok nangis?" tanya Junita peduli, langsung memegangi lengan dosennya.
"Ibu sesenggukan loh, saya lihatki' tadi menunduk, Bu." Karin berkata jujur.
"Ibu ada masalah?" Jenny kini bertanya, matanya melekat pada Rianti.
Kertas tisu pun mulai dikeluarkan Rianti. Dia menyeka pipi yang dibasahi oleh air mata tersebut, kemudian menjawab pertanyaan dari beberapa mahasiswinya.
"Ibu nggak punya masalah kok. Paling tadi cuma kelilipan debu. Tadi ada debu di depan gedung." Rianti berusaha berkilah agar kelihatan baik-baik saja di hadapan mereka.
"Apa karena suami Ibu?" Jenny blak-blakan menebak dengan sangat berani. "Kalau memang karena Pak Arfan, Ibu jangan khawatir. Saya sama teman-teman mau marahi Pak Arfan saja. Berani betul dia menyakiti Bu Rianti."
"Bukan Pak Arfan, kok." Rianti mengeluarkan sedikit tawanya lalu mengibaskan tangan. "Tadi memang kelilipan debu. Ibu menunduk karena sakit matanya Ibu."
"Yakin, Bu? Bukan karena Pak Arfan?" Giliran Ulfa yang bertanya, sekadar memastikan. "Barusan saya masuk kelasnya Pak Arfan, marah-marahki di kelasku, Bu. Ndak tahu kenapa."
"Memang bukan karena Pak Arfan." Sekali lagi, Rianti berusaha terlihat baik-baik saja. Dia sungguh tidak ingin mengungkapkan masalahnya pada empat mahasiswi di hadapannya. Lagipula kalau diceritakan pun, jatuhnya aib. Lebih baik dia simpan sendiri.
"Mau saya antar ke kantin, Bu? Sepertinya Ibu nggak bisa jalan sendiri, apalagi saya lihat Ibu lemas." Ulfa terlihat perhatian, kemudian meraih satu tangan dosennya.
Awalnya Rianti menolak, namun karena kondisinya yang mendadak linglung, jadi dia mengiyakan permintaan Ulfa dan kini dipapah seraya kakinya bergerak pelan menuju kantin.
Arfan yang melihat itu, tiba-tiba hatinya terketuk. Entah kenapa dia jadi merasa kasihan pada Rianti. Meskipun demikian, dia berusaha untuk tidak memberikan perhatian. Lagipula Rianti sudah kelewatan dan melewati batas kesabarannya. Nanti saja, jika dia diminta bersikap romantis dengannya.
Begitu ketiga mahasiswa tadi berbalik dan membuat tatapan padanya, spontan Arfan membelalakkan mata dan langsung memutar tubuh. Arfan enggan berurusan dengan mereka, yang mana mereka adalah pembencinya. Lebih baik cari aman dan lari dari Jenny serta kedua kawannya itu.
"Heh! Pak Arfan! Jangan kabur lu!" Jenny berteriak, sukses menghentikan langkah Arfan. "Situ nggak sadar diri apa? Sudah bikin Ibu Rianti nangis, hah?" Jenny tidak mengenal takut, dia menegur Arfan dari kejauhan.
"Bapak tuh harusnya berkaca! Bapak itu sudah punya istri, sudah punya Bu Rianti. Tapi kenapa Bapak sia-siain Bu Rianti?"
Arfan tak berbalik, tetap membelakangi ketiga mahasiswa itu meski jarak di antara mereka terbilang jauh.
"Tolong deh, Pak! Jangan cuma mikir laki mulu! Setelah apa yang terjadi, Bapak juga udah usaha minta menikah sama Bu Rianti! Kalau memang Bapak masih mikirin laki, mending Bapak nggak usah menikah! Bapak malah bikin Bu Rianti sedih! Gara-gara Bapak!"
Kepalan tangan Arfan tak terhindarkan, begitu mahasiswinya menyinggung kata 'laki'. Mereka masih percaya saja bahwa Arfan tidak menyukai lawan jenis, melainkan sesamanya. Sekali lagi, amarah Arfan menaik. Bahkan lebih, ketimbang semalam.
"Bu Rianti butuh diperhatiin sama Bapak! Jangan kejar-kejar laki, Pak!" Jenny melanjutkan seruannya, tak peduli dilihat mahasiswa lain.
"Sudahmi, Jen. Janganmi teriak-teriak." Karin memeluk lengan Jenny, mendesak agar menghentikan jeritan sahabatnya.
"Nggak, tapi aku kasihan sama Bu Rianti. Gara-gara si dosen 'maho' yang nggak tahu diri itu!"
Arfan benar-benar tak dapat membendung amarahnya, spontan berbalik seraya melempar tatapan tajam kepada mahasiswi yang meledeknya barusan.
"Apa? Mau nantangin? Ayo, sini kalau berani!" Jenny tidak ada rasa takut sama sekali. Karin pun bertindak, menghalangi Jenny buat melangkah maju.
"Jenny. Sudahmi!" Karin memegang kedua lengan Jenny dengan rasa panik yang menyulut diri.
"Jen, kau toh. Janganmi urus itu Pak Arfan kodong!" Junita ikut menghalangi Jenny. "Biarmi itu urusan rumah tangganya, tidak usahmi ikut campur. Kah kau belumpoko (Kamu itu belum) menikah."
"Aish, dasar!!!" Jenny berseru lantang, kini menyerah.
Akhirnya Jenny mulai mengacungkan telunjuknya, tak lupa sorotan tajam Jenny yang mengarah langsung pada Arfan. "Hari ini Bapak selamat! Besok-besok kalau kita ketemu, awas aja! Saya hajar Bapak langsung, nggak mau ada sapa-sapa ramah antara mahasiswa dan dosen. Oh, saya juga nggak peduli Bapak dosen saya."
"Sudahmi, Jenny." Junita memukul pelan lengan sahabatnya, lagi-lagi berusaha meredakan amarah Jenny yang meledak-meledak.
Ketiga mahasiswi tersebut berbalik dan pergi dari area samping gedung. Arfan masih mengepalkan tangannya, justru merasa sakit hati akibat ledekan mahasiswinya yang berkali-kali diutarakan.
"Benar-benar, Jenny. Kalau memang dia menantang begitu, saya juga tidak repot-repot kasih nilai E, biar dia mengulang saja." Arfan mengancam, kini cuma gumaman dalam hati. "Lagipula, ngapain sih? Dia ikut campur urusan rumah tanggaku? Mahasiswi biasaji lagi."
Arfan berkacak pinggang, lalu membuang napas perlahan. Dia berusaha menenangkan amarahnya yang tadi nyaris meledak. Kalau saja Jenny bukan mahasiswinya, dia bisa berani membentak Jenny karena sudah melawannya. Dia tidak peduli Jenny perempuan. Namun sekali lagi, dia mengingat nasihat abangnya bahwa jangan membalas mereka. Takutnya bakal membuang tenaga.
Niat buat ke kantin rupanya pupus begitu saja, akibat perlawanan Jenny terhadapnya. Hingga Arfan memutuskan untuk memesan makanan lewat daring, itu lebih baik.
Begitu hendak berjalan menuju gedung kampus, tiba-tiba Arfan disapa oleh Bunga yang jalannya berlawanan darinya.
"Pak Arfan. Bapak mau ke mana? Bukannya ini jam makan siang?" tanya Bunga heran. "Tadi saya lihat Bapak mau jalan ke kantin, tapi kayaknya nggak jadi."
Arfan mendadak canggung, padahal Bunga cuma asisten dosennya. Bagaimana bisa, Bunga tahu betul arah jalannya? Apa Bunga sengaja membuntutinya?
"Emm, Bapak mau pesan daring aja," jawabnya cepat. "Terus kamu? Mau ke mana?"
"Saya mau cari makan siang."
Entah seperti suatu kebetulan, baik Arfan maupun Bunga sama-sama ingin mencari makan siang. Arfan jadi kepikiran, apa perlu dia mengajak Bunga buat makan siang bersamanya?
"Kalau ... kamu nggak keberatan, apa kamu mau makan siang sama Bapak?" Arfan menawarkan, agak ragu-ragu.
Bunga menaikkan kedua alisnya. "Bapak tadi ... bilang apa?"
"Kamu kan mau cari makan siang. Bapak juga mau makan siang. Daripada Bapak pesan daring, Bapak rencana mau traktir kamu. Sekalian kita makan siang bareng. Mau nggak?"
Bunga mendengar betul tuturan dosennya, namun entah kenapa, dia seperti tidak memercayai tawaran tiba-tiba dari Arfan. Bukankah Arfan sering makan siang dengan istrinya? Kenapa malah Bunga yang diajak?
"Saya mohon maaf, pak. Tapi, saya nggak enak sama Bu Rianti kalau saya ikut makan siang dengan Bapak," kata Bunga merasa sungkan.
"Rianti sibuk, katanya dia mau makan siang sendiri. Jadi nggak apa-apa, kan?" Arfan memastikan sekali lagi. "Daripada kamu ngeluarin duit buat makan siang, mending Bapak traktir. Sekalian kamu hemat. Gimana?"
Bunga tampak ragu-ragu. Kedua ibu jarinya dimainkan. Bunga tahu, Arfan adalah suami dari Rianti. Pun Rianti juga dosennya di matkul Rekayasa Web. Tapi, apakah sopan bila berduaan dengan suami orang? Bunga jadi takut.
"Cuma makan siang kok. Bapak cuma mau bantu kamu biar kamu hemat." Arfan menegaskan ucapannya. "Toh kita bakal jaga jarak. Lagipula kita cuma dosen dan mahasiswa."
Bunga ingin menolak, tapi dia mengeluh kelaparan. Kedua tangan kini memegangi perut mungilnya. Dan uang yang dia gunakan makan siang pun dirogoh dari tabungannya. Dia belum bisa menghubungi kedua orang tuanya di luar kota, buat mentransfer uang mingguan.
Perlukah dia menerimanya, meskipun jantungnya berdegup kencang akibat rasa cemas?
"Baik, Pak. Saya mau."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top