Bab 13
***
Tiga pekan lalu
Arfan tengah berdiri di depan ruang pas, menunggu seseorang yang sedang menggunakan gaun pengantin. Siapa lagi kalau bukan Rianti?
Arfan ditugaskan mendampingi Rianti dalam hal apa pun. Termasuk fitting baju yang akan mereka pakai di hari pernikahan, juga test food untuk acara akad dan resepsi. Acara resepsi sendiri diselenggarakan di sebuah hotel dekat akses menuju jalan Nusantara. Mereka akan menikah di sana sekaligus ambil kamar inap selama satu hari setelah acara selesai.
Di sebuah butik pilihan keluarga Arfan, hanya ada mereka berdua. Arfan sibuk dengan ponselnya, sampai tak berapa lama, fokusnya perlahan teralihkan dan kini berganti dengan pemandangan anggunnya Rianti beserta gaun terusan panjang warna putih yang kemungkinan digunakan sebagai acara resepsi.
Arfan akui, dari segi manapun, Rianti itu cantik. Cuma entah kenapa, Arfan seperti tidak memiliki gairah dalam percintaan. Dia tetap memandang Rianti sebagai sahabatnya, tidak lebih.
Arfan bertekad, jika usai pernikahan serta masalahnya juga kelar, Arfan akan lebih memprioritaskan diri sendiri, terutama masalah pekerjaan dan karir ke depan. Seperti yang telah disinggung sangat lama, Arfan ingin mengejar ambisinya untuk menjadi seorang doktor di usia muda. Maka dari itu, butuh persiapan matang untuk meraihnya.
"Gimana menurut Bapak tentang Bu Rianti? Cantik kan dengan gaun pengantin ini?" tanya seorang pegawai dengan jas hitam serta rok senada, tak lupa stocking buat menutupi kaki jenjang. "Desain khusus loh, ini sesuai permintaan pihak keluarga Bapak. Ini nggak ada calon pengantin lain yang pakai, semua didesain khusus dengan tangan-tangan terampil dari desainer luar negeri."
Arfan yang menggunakan jas lengan panjang santai warna hijau tua pun memberikan komentar. "Bagus. Saya suka, dan tidak terlalu over. Pas digunakan buat tubuh ramping seperti Bu Rianti."
Yang dipuji justru menampilkan senyuman ringannya. Arfan bisa lihat betapa antusias seorang Rianti dalam mempersiapkan pernikahan. Tentu, Arfan telah menduga bahwa Rianti memang ada maksud mendekatinya. Dan sudah jelas, Rianti menyukainya.
Arfan berusaha mengingat kapan dan di mana tepatnya Rianti mulai menyukainya. Apa di kampus? Atau bisa jadi benar-benar saat dirinya mengantar Rianti? Dia enggan bertanya lebih dalam sebab menurutnya itu adalah ranah pribadi Rianti, dia tidak berhak mengoreknya.
"Bagaimana dengan Bapak Arfan? Mau coba juga jas untuk Bapak pakai resepsi?" Pegawai wanita berambut pendek itu menawarkan.
Namun spontan, Arfan mengibaskan tangan. "Bisa di lain waktu? Soalnya saya harus cepat-cepat ke hotel buat test food."
"Kenapa nggak dicoba dulu? Siapa tahu masih ada kurang untuk jas kamu." Rianti mendesak pelan.
"Ini sudah lewat estimasi waktu dari kita fitting baju." Arfan menjelaskan seraya mengecek jam tangannya. "Belum lagi kamu diskusikan tentang perbaikan gaunnya. Jadi, nanti saja. Masih ada hari lain, kok."
Semua terdiam, termasuk Rianti. Begitu mulai mencerna pemakluman dari Arfan, Rianti langsung mengangguk kaku.
"Iya, baiklah. Lagipula pernikahan kita masih lama. Kita nggak perlu terlalu tergesa-gesa, kan?"
"Baiklah. Ayo, kita tidak boleh buang-buang waktu."
Arfan melenggang pergi begitu saja, tanpa ucapan pamit sama sekali kepada si pegawai yang mengawal proses fitting baju.
"Emm, maafkan tentang Pak Arfan ya. Dia memang begitu, suka efisien orangnya." Rianti merasa bersalah hingga turun tangan memberikan pengertian pada si pegawai tersebut.
"Iya, nggak apa-apa, kok. Saya juga tahu Pak Arfan itu seperti apa. Kita nggak akan mungkin maksa untuk ikut fitting jas-nya."
Rianti membalas dengan anggukan, kemudian Rianti ingin melepas gaun yang digunakannya lalu memberikan pengingat tentang perbaikan gaunnya nanti. Agar nanti saat fitting berikutnya, sesuai dengan apa yang dia minta.
Sementara itu, Arfan buru-buru melangkah keluar dari ruko yang menjadi tempat butik tersebut. Seraya menghela napas, Arfan memperbaiki diri agar tetap terlihat professional di hadapan Rianti.
Berucap tentang estimasi waktu, benar Arfan merasa dia terlalu menghabiskan waktu hanya untuk menunggu Rianti memberikan permintaan soal gaun. Harusnya cuma sejam, tapi justru lebih daripada itu.
Baiklah, mungkin Arfan tidak terlalu memberikan kasih sayangnya pada Rianti. Namun dia tidak boleh mengacaukan jadwal yang telah disusun, demi lancarnya pernikahan nanti.
***
Masa sekarang
Pikiran Arfan jadi ke mana-mana setelah memikirkan hal tersebut. Mungkin saja untuk sementara, dia ingin bersikap lunak pada Rianti. Namun untuk berbuat hal romantis, belum bisa menjamin akan berjalan lancar seperti biasa. Karena, Arfan memulai hal sebenarnya.
Tepat menjelang siang, Arfan baru berangkat ke kampus. Kini Arfan berbelok ke sebelah kiri dari jalan untuk memasuki gerbang kampus Universitas Jayabhakti. Kali ini dia tidak berangkat bareng Rianti, justru Rianti pergi lebih dulu sebab ada urusan penting yang Arfan tidak ketahui. Arfan bahkan tak peduli.
Setelah mengambil beberapa dokumen penting dalam satu map, Arfan pun berjalan mengitari taman kampus. Dia sengaja memarkirkan mobilnya di depan perpustakaan umum kampus, dia sengaja ingin jalan kaki menuju fakultasnya dan untung tak terlalu jauh.
Arfan melewati segerombolan gadis yang tengah memeluk buku dan berjalan berlawanan dari arah Arfan melangkah. Membuat satu gadis dengan rambut panjang bergelombang itu mengernyit heran. Terlihat bibirnya yang maju seakan-akan tetap pada sikap sebalnya terhadap dosen itu.
"Pak Arfan kan sudah beristri. Tapi mana istrinya?" tanya Jenny nada meledek. "Aku kasihan sih sama istrinya, pasti nggak dianggap sama Pak Arfan. Pasti lagi ngincar laki nih."
"Diam!" desis Karin merasa ketakutan, lalu memeluk erat lengan Jenny. "Udah, Jen. Mending jangan ledekin Pak Arfan mulu. Dia udah damai dengan masalahnya, malah kamu panas-panasi lagi."
"Betul itu, Jen. Ndak usahmi urus Pak Arfan." Junita menginterupsi. "Mending kita cari cara gimana kita patungan buat ke MP. Mau jalan-jalan soalnya."
"Tapi aku kasihan sama Bu Rianti, Junita." Jenny menekan nada bicaranya. "Masa kita' tiap hari nggak lihat Pak Arfan sama Bu Rianti jalan bareng? Kan enak, suami-istri satu kampus, mana sama-sama dosen pula. Huft, Bu Rianti menikahi laki-laki yang salah."
Jenny tak ragu berkacak pinggang, kemudian Ulfa menyela. "Bu Rianti udah telanjur jatuh cinta sama Pak Arfan, maumi diapa?"
Karin mengangguk menyetujui. "Lagipula Bu Rianti pasti bakal bikin Pak Arfan berubah dalam sekejap. Toh, itu urusan rumah tangga mereka. Ngapain kita ikut campur?"
"Iya." Junita ikut menimpali. "Aku tuh juga capek ladeni Pak Arfan. Lagipula Pak Arfan tetaplah dosen kita, seburuk apa pun sifatnya."
"Sudahmi, Jen. Mending kita cari udara segar, setelah kuliah yang panjang dari pagi ini." Karin tak ragu merangkul leher gadis rambut cokelat itu. "Perlu kita makan ramen, atau bagaimana ini?"
"Aku yang traktir!" seru Junita antusias sembari mengangkat tangan. Barulah mereka berjalan sekali lagi menuju pekarangan kampus, untuk memesan taksi daring yang akan membawa mereka menuju tempat bersenang-senang.
Di sisi lain, Bunga sedang melangkah pelan di sekitar gedung kampus. Kala dia berpapasan dengan Arfan, Bunga spontan membungkuk agak rendah dan menyapa dosennya dengan penuh lantang.
"Selamat pagi menjelang siang, Pak Arfan!"
Yang disapa terkejut dan menghentikan jalannya menuju ruang dosen.
"Bunga? Tumben nyapanya semangat gitu," kata Arfan heran, kemudian mematri senyuman ramahnya.
"Emm, ngomong-ngomong ... saya ingin ucapkan selamat atas pernikahan Bapak dengan Ibu Rianti. Saya ikut bahagia, karena Bapak bisa menemukan tambatan hati begitu cepat." Bunga terlihat ragu-ragu memberikan kata selamat kepada dosennya. "Maaf ya, pak. Saya nggak datang ke resepsi Bapak karena saya sibuk banget ngerjain proyek web bisnis."
Arfan langsung menepuk lengan Bunga dengan perlahan. "Namanya juga mahasiswa. Bapak maklum kamu nggak bisa datang, tapi seenggaknya kamu udah ngucapin selamat."
"Bu Rianti mana? Kenapa nggak sama Bapak?" tanya Bunga tampak celingak-celinguk, begitu tahu Arfan cuma sendirian tanpa ditemani siapapun.
"Kebetulan dia pengen berangkat sendiri. Tidak apa, dia ada urusan soalnya," jawab Arfan enteng, kemudian lanjut tanya dengan topik lain. "Kamu ada kelas hari ini?"
"Tadi, kelasnya Pak Bani."
Arfan cuma mengangguk seraya menghela napas. "Ya sudah. Bapak duluan, ya. Nanti kalau Bapak butuh kamu, Bapak akan hubungi."
"Baik, pak."
Arfan kemudian berbalik dan meneruskan langkah menuju ruang dosen. Sementara itu, Bunga yang hendak berjalan ke pintu keluar, langsung terhenti lagi begitu melihat istri dosennya berada di teras gedung. Spontan saja saat Rianti masuk, Bunga membungkukkan tubuhnya sama seperti yang dia lakukan kepada Arfan.
"Pagi, Bu Rianti."
Rianti terkejut melihat gadis rambut ikal bergelombang itu menyapanya dengan semangat. Rianti spontan membalas sapaan mahasiswanya agak terbata-bata.
"Bu–Bunga. Kamu udah kuliah? Cepat pulangnya."
"Iya, Bu. Tadi ada dua matkul, termasuk Pak Bani barusan."
Rianti mengangguk paham, lalu mendekati Bunga seraya menepuk bahu mahasiswi tersebut. "Baiklah. Kamu tetap semangat kuliahnya ya. Kalau Mas Arfan butuh kamu, pasti Mas Arfan bakal nelepon kok."
Bunga lagi-lagi bermanggut, sama seperti yang dilakukannya tadi di hadapan Arfan. "Baik, Bu. Siap."
"Ibu duluan, ya."
Rianti melanjutkan langkah menuju ruang dosen, barulah setelah itu Bunga langsung keluar dari gedung fakultas untuk melakukan urusan lain.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top