Bab 10

***

"Jadi ... menikahlah dengan saya. Maka Ibu bisa kenal jauh saya."

Hampir sepekan lalu, Arfan mengucapkan hal itu dengan penuh permohonan di depan Rianti. Tentu reaksi yang didapatkannya adalah rasa gugup dari wanita tersebut. Rianti saat itu enggan menanggapi tawarannya. Dia memilih kabur sebab ojek daring pesanan Rianti datang buat mengantar pulang sang calon istri.

Kini, setelah kabar pernikahan tersebar satu keluarga, Arfan pun jadi punya agenda padat. Bukan lagi terkait pekerjaan, melainkan untuk mempersiapkan pernikahan secepat mungkin. Tidak ada yang menyangka bahwa keluarganya begitu antusias terhadap pernikahannya. Lebih baik menjalani semuanya agar masalah cepat selesai. Daripada diam di tempat, sementara berita tentangnya makin menjalar. Arfan tak akan mau bila terjadi sesuatu yang besar dan berpengaruh pada keluarga dan perusahaan.

Sebagai pemanasan, pada pukul 1 siang atau lebih tepatnya saat jam makan siang berlangsung, Arfan diminta bertemu orang tua Rianti yang mana telah diberitahu bahwa latar belakang keluarga Rianti sangat cemerlang dan punya perusahaan makanan beku. Arfan malah tidak tahu Rianti juga anak pemilik perusahaan, sama seperti dirinya.

Tempat pertemuannya di sebuah restoran fine dining di Four Points Hotel. Pun itu atas permintaan si pihak perempuan. Arfan menduduki kursi empuk seperti sofa tersebut dan di atas meja masihlah terhidangkan welcome drink untuk tamu. Arfan datang bersama sang kakak, Fikri. Karena kesibukan Ikram juga Gina, membuat Fikri ditunjuk sebagai perwakilan Arfan. Nanti juga Fikri akan mencatat semua hal serta keperluan pernikahan sang adik.

"Kok kamu nggak bilang dek kalau orang tuanya Rianti itu temannya papa?" Fikri bertanya heran. Sebelumnya Fikri telah diberitahu oleh Arfan terkait calon istri adiknya, yang membuat Fikri sempat melongo karena Rianti adalah anak dari sahabat Ikram.

"Ya, aku juga nggak tahu Rianti anaknya sahabat papa. Lha wong Rianti nggak bilang sama aku."

"Habisnya, kamu beruntung dek. Memperistrikan putri temannya papa, sing endi Pak Adi kuwi bestie banget karo papa. (yang mana Pak Adi itu bestie banget sama papa.) Dari jaman mereka satu SMA sampai satu kampus, koyok ora iso dipisahke. (seperti tidak terpisahkan.) Ndak nyangka, Pak Adi bakal besanan dengan teman beliau sendiri."

Arfan cuma mengulum senyum begitu mendengarnya. Baik Arfan maupun Rianti pasti merasa beruntung karena orang tua mereka bersatu sebagai besan dan akan bertemu terus menerus sebagai satu keluarga. Meskipun Arfan baru tahu sekarang, namun melihat kebahagiaan keluarganya jadi merasa ikut bahagia.

Sekali lagi, Arfan belum menemukan perasaan yang sesungguhnya terhadap Rianti. Dia belum merasakan cinta sama sekali, kecuali bila berada di situasi genting. Misalnya pada acara kumpul keluarga atau hal lain yang menyangkut mereka. Arfan cuma menganggap Rianti sebagai rekan dosennya yang loyal. Status istri hanya formalitas semata.

Beberapa menit mereka menunggu kedatangan seseorang, akhirnya sepasang suami-istri yang sedang bergandengan membimbing langkah pada dua kakak adik tersebut. Fikri berdiri lebih dulu untuk memberikan salam jabat tangan pada Pak Adi juga Bu Lastri. Kemudian diikuti Arfan yang tampak mengulum senyuman lebar di hadapan calon mertuanya.

"Oh, ini si bungsu anaknya Ikram ya?" tebak Pak Adi yang tampil kece dengan blazer abu-abu gelap serta kaos dalam putih yang membuat beliau jadi tampak lebih muda. "Udah besar ya kamu. Saya sering sekali main ke tempatnya Ikram dan lihat kamu masih kecil, sering sembunyi di belakangnya Ikram. Waktu itu kamu malu-malu bertemu orang asing."

Arfan cuma menundukkan sedikit kepalanya sebagai jawaban iya. Lalu Bu Lastri ikut menimpali.

"Ikram sama Gina pasti senang banget karena tahu kami bakal besan sama mereka." Bu Lastri tampak menangkup mulutnya akibat tertawa. "Rianti juga bakal senang sekali punya suami seperti kamu, nak Arfan."

Tidak ada hawa-hawa menegangkan di antara mereka. Arfan akui itu. Bagian saat Pak Adi mengungkit tentang sering bermain di tempat papanya, dia tidak ingat sama sekali. Apa karena saat itu dia masih kecil dan tidak tahu apa-apa? Arfan tak mempedulikan itu. Yang terpenting, masalahnya hampir selesai. Orang-orang akan menghentikan aktivitas spread hate di kolom komentar sosmednya.

Wanita paruh baya dengan gaun terusan warna merah menyala itu bersuara setelah sempat hening. "Rianti udah cerita banyak sama saya. Katanya, nak Arfan itu pekerja keras. Loyal sama pekerjaannya, konten kreator, penghasilannya banyak. Gaji di dosen dan gaji di konten kreator, kalau di-compile ..." Bu Lastri menepuk tangannya sekali. "Bakal nggak habis-habis ini."

Arfan lagi-lagi hanya bisa tersenyum mendengar pujian dari mereka. Kemudian setelah berbasa-basi sebentar, Fikri memimpin obrolan dan membahas tentang rencana pernikahan. Mulai dari WO mana yang akan mereka sewa, sampai gedung mana yang cocok untuk jadi tempat resepsi. Untuk akad, Arfan meminta di masjid dekat rumah. Kemudian saat resepsi, barulah di gedung. Fikri mengiyakan permintaan Arfan tersebut.

Obrolan terus berlanjut hingga Fikri menuliskan mind map di buku catatannya yang bersampul hitam berukir tulisan emas itu. Mind map buatan Fikri sebagai alur pernikahan Arfan dan Rianti nantinya. Meskipun mereka menikah bukanlah atas dasar perjodohan, namun dua belah pihak harus mengikuti jalannya proses.

"Saya ada dua WO untuk direkomendasikan ke adik saya. Mungkin kalau Bapak sama Ibu mau minta Rianti memilih, saya persilakan." Fikri berucap santai namun tetap ada kewibawaan di dalamnya. "Keputusan Arfan dan Rianti nanti, mungkin final-nya tetap berada pada Arfan. Rianti mungkin tetap ikut apa yang jadi kemauan adik saya."

Pak Adi melenggut setuju. "Iya. Karena WO rekomendasi Anda juga bagus-bagus track record-nya, jadi saya percayakan saja pada nak Arfan."

Fikri tiba-tiba menyenggol lengan Arfan dan mendesak sesuatu. "Dek. Bicara dong, jangan meneng ae (diam aja). Calon mertuamu itu," pintanya menyadari Arfan terdiam cuma menyimak obrolannya juga pasutri di hadapan. "Ada lagi yang kamu mau di pernikahanmu?"

Arfan menggeleng. "Nggak. Paling cuma itu aja dulu. WO-nya yang harus ada momennya."

"Iya, dek. Semua WO itu pasti dikasih momen, baik foto atau video. Piye tho?" Fikri sepertinya menyayangkan sikap bodoh adiknya dan memilih tertawa sebagai gantinya.

Kemudian Fikri meminta calon mertua adiknya untuk menghubungi butik rekomendasinya, demi menunjang kecantikan Rianti saat akad dan resepsi. Fikri bahkan blak-blakan menunjuk dua gaun dan dua kebaya yang bisa dipilih Rianti nantinya. Dan Fikri mau Pak Adi dan Bu Lastri tidak terlalu membuang waktu hanya sekadar memilih gaun dan kebaya. Fikri menginginkan efisiensi, itulah prinsip yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

"Baiklah kalau begitu. Mungkin itu saja dulu diskusi kita kali ini." Fikri menutup obrolan, ketika pelayan datang membawakan makanan. "Diskusi berikutnya nanti ajak Rianti ya, Pak."

"Pasti. Saya akan ajak anak saya buat membahas pernikahan," balas Pak Adi dengan sangat bersemangat.

Hidangan berupa ikan goreng gurame ukuran jumbo serta asinan mangga menjadi bintang tamu utama makan siang kali ini. Tak lupa sebakul nasi ikut menata di atas meja ukuran persegi panjang itu, serta masing-masing sambal kacang yang menjadi ciri khas.

"Silakan makan, Pak Adi. Bu Lastri." Fikri mempersilakan, kemudian pria berjas abu-abu terang dan kemeja putih serta dasi motif polkadot itu langsung menyalin nasi sebanyak dua sendok kemudian ikan gurame dan asinan mangga di pinggir piringnya.

Semua orang termasuk Arfan tampak mengambil nasi dari bakul dan ikut menyalin lauk yang tersaji di tengah-tengah meja. Barulah mereka menyendok makanan dengan tenang tanpa adanya obrolan sama sekali.

Setengah jam berurusan dengan perut kemudian ditutup dengan jus buah, Pak Adi langsung berucap pamit pada Fikri karena ada urusan yang harus diselesaikan di perusahaan.

"Oh, silakan." Fikri mulai berdiri dan menerima jabat tangan Pak Adi begitu tangan beliau terulur lebih dulu. Barulah pasutri itu berjalan menjauhi meja setelah Pak Adi sempat minta buat kirim salam pada Ikram.

"Orang tua Rianti baik banget. Mereka nggawe aku gampang dadi mantune (memberiku kemudahan buat jadi mantu mereka), padahal jelas loh ucapanku di podcast yang mengatakan aku tidak suka cewek," celetuk Arfan merasa sungkan terhadap sikap ramah mereka terhadapnya.

"Kamu pikir, ortunya Rianti bakal eneg ndelok kon sing ngomong (lihat kamu yang bilang) tidak suka sama cewek?" tebak Fikri. "Yo nggaklah dek. Pasti Rianti juga cerita hal-hal baik tentangmu di depan orang tuanya. Dadi kon ora usah kuwatir yo. (Jadi jangan khawatir ya.)"

Fikri tak ragu menghibur adiknya dengan menepuk punggung tangan Arfan secara berulang-ulang. Arfan jadi nyaman diperlakukan seperti itu oleh Fikri.

"Oh iya, jangan lupa ajukan cuti di kampusmu. Biar kamu bisa fokus ke pernikahan," peringat Fikri, spontan membuat Arfan terkejut lalu berdecak.

"Loh, buat apa? Biarin aku kerja, bang. Seenggaknya aku ndak mau aku ora arep nganggur lan nglèhaké mahasiswaku diajari karo asisten dosenku. (dan membiarkan mahasiswaku diajari oleh asisten dosenku.)"

"Tuh, kamu kan punya asisten dosen. Suruh asisten dosenmu aja yang gantiin kamu ngajar." Fikri mengusulkan.

"Begini saja, sepekan sebelum aku nikah. Aku cuti di situ. Gimana?" Arfan melempar opsi, semoga saja kakaknya mengiyakan.

Fikri berdeham lama kemudian mengangguk cepat. "Yo wis. Intine, kalau ada agenda, kamu harus datang. Karena pernikahan kamu kudu totalitas. Papa rencana akan undang semua teman kolega dan teman bisnisnya. Mungkin Pak Adi juga bakal melakukan hal yang sama."

Apa pun pilihan serta keputusan keluarganya, Arfan tinggal mengikuti. Intinya adalah, komentar buruk tentangnya jadi mereda. Dengan memposting foto pernikahannya dan menyebut jelas nama Rianti di bio sosmed-nya, yakin dan percaya mereka bakal ikut senang karena seorang Arfan bisa menyukai wanita. Dan Arfan menunggu reaksi alami dari warganet, bahkan dari penggemarnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top