Bab 1
***
"Saya ... nggak punya waktu untuk hal-hal romantis. Saya nggak suka, terutama buat pacaran pun. Saya nggak mau buang-buang waktu saya yang berharga, " ungkap seorang pria dengan brewok yang menghiasi dagu hingga samping wajah. Pernyataan pria tersebut membuat host podcast berkacamata bulat itu terkesiap. Lalu, seakan menahan rasa grogi, pembawa acara tersebut melanjutkan pertanyaan sekaligus menyinggung ucapan barusan.
"Jadi Pak Arfan sungguh nggak ada waktu buat pacaran kah? Padahal banyak cewek-cewek di luar sana yang mau jadi pacarnya Pak Arfan. Secara Pak Arfan terkenal loh. Ganteng, pekerja keras, mandiri."
Sembari menyandar punggung di sandaran kursi, pria yang menggunakan headphone itu dengan santainya menjawab. "Menanggapi pertanyaan barusan, tentu nggak. Mana mau saya buang-buang waktu buat kencan dengan seorang wanita? Saya lebih suka sendirian di kafe, mengemban tugas saya sebagai dosen, dan lainnya. Kalau ada cewek-cewek yang nawarin saya sekadar jadi gebetan, saya nolak. Ya pada intinya, saya tidak suka cewek. "
"Hah?" Wanita rambut long-bob itu tiba-tiba melongo, sangat terkejut. Kepalanya menunduk, menonton berulang-ulang kali video pendek yang terputar tadi. "Maksudnya ... apa? Dia tidak suka wanita?"
Yang melongo barusan sedang duduk di sebuah kafe, bahkan untuk mengangkat cangkir kopi rasanya tidak sanggup. Akibat dari ungkapan pria yang jadi bintang tamu di acara podcast terkenal.
Yang jadi pertanyaannya adalah, bagaimana bisa? Pria yang dia sukai itu terang-terangan tidak tertarik pada wanita? Kedua tangannya menciptakan getaran hebat. Rasanya ingin menenangkan diri, namun sangatlah mustahil.
Seorang temannya yang bernama Juan sedang mengangkat nampan untuk membawa pesanan. Kakinya tengah berjalan menuju meja yang ditempati bersama wanita tersebut kemudian Juan menaruh nampan dan duduk di hadapan si wanita cardigan merah muda itu. Juan spontan peka melihat sang sahabat mengeluh gelisah.
"Kamu kenapa, Rin?" Juan bertanya. "Gelisah terus kamu. Aku tadi ngantri, dan aku iseng lihat kamu yang masam di kursi. Ada apa?"
Juan berusaha menggali rasa penasarannya lewat penglihatannya barusan. Juan tidak salah, wanita bernama Rianti itu mendadak murung ketika melihat ponsel.
"Nggak. Paling tadi kulihat cuma berita buruk." Rianti berusaha berkilah seraya terkekeh.
"Berita buruk? Berita buruk apa?" Juan tak memahami Rianti yang enggan menjelaskan konteks secara detail.
"Sini, coba kemarikan ponselmu." Juan mendadak tidak sabaran dan meraih begitu saja ponsel warna nila milik Rianti. Begitu layar kunci terbuka–karena Rianti tidak memasang kunci pola – Juan membesarkan bola mata, tatkala menonton cut video rekan dosennya sendiri berucap terang-terangan mengenai ketidaksukaan terhadap wanita.
"Loh. Dia kan teman kita. Itu loh, yang orang Surabaya itu?" Juan mencoba menebak. "Ih, Pak Arfan. Sekelas Pak Arfan berani banget bilang gini. Bukannya Pak Arfan ini dosen pindahan yang sudah lama di Jayabhakti? Paling tiga tahunan yang lalu baru pindah ke Makassar."
Rianti mengangguk membenarkan. "Betul. Itu kan pas sebelum kamu pindah ke Makassar juga, selang beberapa bulan lalu dari Bandung."
Juan tersadar dirinya pun dosen pindahan, sama seperti Arfan. Namun pembahasan itu tidaklah penting. Juan terkejut dengan pengakuan Arfan, apalagi dia melihatnya dalam bentuk potongan video di sosial media.
"Ah, iya. Kamu kan suka sama Pak Arfan, baru kuingat." Secara spontanitas, Juan memegang satu tangan Rianti yang berada di atas meja. Mencoba untuk menaruh rasa iba, sebab Rianti bakal kecewa dengan pernyataan Arfan di sosial media.
"Jadi, gimana perasaan kamu saat tahu Pak Arfan seperti itu? Mau kamu kejar dia lagi?" Juan bertanya memastikan.
Rianti menghela napas seraya merebut ponselnya dari tangan Juan. "Tadinya pengen nggak mau ngejar sih. Tapi setelah kupikir-pikir, percuma aja kalau aku nggak denger pernyataan dari Pak Arfan sendiri."
"Jadi maksudnya, kamu mau kejar dia sekali lagi dan meminta penjelasan dari Pak Arfan, begitu?"
Sesaat Rianti terdiam, kemudian langsung mengeluarkan tawa pelan sambil menjawab pertanyaan Juan tadi. "Aku pengen Pak Arfan jelasin sendiri, sebelum aku memutuskan apa aku akan suka sama dia atau tidak. Tapi mungkin, aku tetap bakal kejar dia lagi sih. Meskipun dari kelihatannya dia tidak suka cewek, aku akan pastikan dia goyah. Aku telanjur suka, dan aku nggak peduli. Aku bakal kejar dia terus."
"Tapi kan Bu Rin, Pak Arfan kan nggak tahu kamu diam-diam menyukainya. Jika situasinya begini, kamu bakal berbuat apa dong?" tanya Juan mengkhawatirkan tekad bulat Rianti.
Dengan mantap, Rianti menjawab. "Ya itu tadi. Aku bakal bikin dia jelasin alasan kenapa dia bilang begitu. Sebagai rekan kerja--sesama dosen, mana bisa aku membencinya tanpa alasan jelas? Bila alasannya logis, ya, aku tetap lanjut dengan keinginanku. Kalau nggak logis, mungkin aku akan nyerah."
"Oh ya, Bu Rin. Tahu nggak? Kolom komentar postingan yang kulihat tadi ..." Juan menunjuk ponsel yang terletak di atas meja dan meminta Rianti membuka sosial media. "Coba lihat dulu komentarnya. Banyak sekali hate comment. Ada juga maki-maki di lapak akun gosip."
Rianti menggulir beberapa komentar yang diungkit Juan barusan. Memang benar, banyak yang melayangkan kebencian terhadap Arfan. Bahkan menyayangkan pernyataan Arfan tentang tidak menyukai wanita.
"Banyak banget sih." Rianti menanggapi dengan suara rendah. "Asal kamu tahu ya, Pak Ju. Walau tadinya aku ingin menanggalkan rasa sukaku terhadap Pak Arfan, namun kapasitas untuk dia nggak bakal berkurang. Artinya apa? Aku masih punya peluang buat mendekati dia dan berusaha keras agar Pak Arfan goyah. Bukan berarti aku harus menyerah untuk menyukainya. Selagi belum ada alasan spesifik, aku akan terus mendekatinya."
Juan mendecih dengan tawa yang sedikit menggema. "Baiklah kalau begitu. Semoga kamu bisa raih semua itu ya, Rin." Tak ragu Juan menepuk pundak Rianti. Berusaha berdiri dari kursi karena mereka terpisahkan oleh satu meja bulat besar.
"Kesibukan dia sebagai influencer membuat kita nyaris tak punya kesempatan buat ketemu dia," tambah Juan membicarakan fakta. "Cuma belakangan ini, bahkan belum lama ini, aku lihat dia sering ke kampus dan sempat berpapasan beberapa kali dengannya. Semoga aja Pak Arfan bisa terus ke kampus ya, biar aku pun kenal lebih lanjut dengan dia."
Rianti juga berharap demikian. Tentu, dia tetap dengan keinginannya mendekati Arfan. Walau enggan terang-terangan. Dia bisa mulai dengan menjadi sahabat, mungkin bisa buat Arfan nyaman. Semoga saja tidak menghalangi apa pun.
***
Di situasi yang sama
"Udah gila nih orang," gerutu Arfan kala menatap intens layar ponselnya yang menunjukkan video dirinya sedang berbicara di sebuah podcast.
"Gendeng!" seru Arfan menaruh ponselnya di nakas dengan keras, sembari rambut tebalnya diacak-acak ketika bokongnya terhempas menuju sisi ranjang. Mereka gak bakal ngerti opo sing tak omongno ning podcast iku! (apa yang kuucapin di podcast itu!)"
Bukan tidak mungkin Arfan jadi kesal, bahkan semburat merah di wajahnya tak terhindarkan. Pernyataan dirinya tidak terlalu mementingkan percintaannya dan fokus kepada karirnya sebagai dosen menjadi bulan-bulanan warganet dan memunculkan pro dan kontra. Tentu, Arfan adalah dosen populer di Universitas Jayabhakti dan merupakan satu-satunya dosen yang punya banyak penggemar. Ditambah lagi Arfan adalah pembuat konten, membuatnya makin terkenal.
Arfan menelaah lebih lanjut potongan video yang disebar luas oleh akun gosip. Hanya memastikan terkait apa yang dibicarakannya di podcast.
"Jadi Pak Arfan ini nggak ada waktu buat pacaran kah? Padahal banyak loh cewek-cewek di luar sana yang mau jadi pacarnya Pak Arfan. "
"Nggak. Mana mau saya buang-buang waktu buat kencan dengan seorang wanita? Saya lebih suka sendirian di kafe, melakukan tugas saya sebagai dosen, dan lainnya. Kalau ada cewek-cewek yang nawarin saya sekadar jadi gebetan, saya nolak. "
Video tersebut terhenti begitu saja. Ingin memastikan lagi, Arfan membuka YouTube, mencari video terbaru dirinya yang diundang ke acara podcast. Dia melewati beberapa menit, lalu menghentikan usapan jarinya pada layar. Dia menyimak.
"Tapi, saya nggak selamanya bakal seperti itu. Saya cuma ingin meraih apa yang saya impikan sejak lama. Tahu sendirilah saya ambisius. Untuk sekarang aja saya begini. Tinggal nunggu waktunya aja."
"Apes sangat. (Sial banget) Padahal jelas-jelas tak ngomong aku nggak seneng sama cewek gatel, tapi malah di- cut seko'e koyok ngene (seolah bilang) aku nggak suka lawan jenis. Piye tho?" Arfan menggerutu lagi, kemudian membuka postingan akun gosip lalu ke bagian komentar. Ada banyak sekali yang menganggap Arfan sombong, Arfan yang kemungkinan suka dengan laki-laki, dan sebagainya.
Bukan sampai di situ saja. Akun media sosial yang isinya adalah postingan endorse sebagian dan foto pribadi, rupanya diserbu oleh warganet. Reratanya adalah penggemarnya. Dia memencet postingan terbaru dan membuka kolom komentar.
(Pak. Kalau kesannya Bapak suka nganggurin cewek, kenapa malah tebar pesona di kampus?)
(Bapak pasti mainnya ama laki nih. Sy tahu betul, org ganteng kayak dia pasti anti banget ama cewek. Iyuh. Di mana-mana org paling ganteng pasti gak suka sama wanita, sukanya ama laki.)
(Pak Arfan mending sadar deh. Banyak cewek-cewek yang mau sama Bapak, tapi Bapak bilang gitu seolah-olah nggak ngehargain cewek. Gila bener.)
"Emang dasar cewek sing ndelok wong lanang cakep setitik (lihat orang ganteng dikit) langsung embat," komentar Arfan tak menurunkan kadar kekesalannya. Tak lupa ponselnya dilempar begitu saja ke tempat tidur.
Pintu kamarnya diketuk. Arfan yang niat berbaring di ranjang justru urung ketika ada yang mencoba untuk masuk dalam kamar.
"Nggak dikunci!" Arfan memberitahu pada orang yang mengetuk tadi, kemudian pintu warna putih pun terbuka, menampilkan sesosok lelaki perawakan tinggi dengan jas hitam yang rapi membungkus tubuh atletisnya.
"Masam gitu wajahnya, kenapa kamu, dek?" tanya Fikri, kakak Arfan, disertai senyuman khas yang menampilkan kedua pipi yang mencuat serta kedua mata yang menyipit.
"Abang mau opo? Gangguin aku?" Arfan tanya balik, tak mempedulikan keberadaan kakaknya dan tetap berbaring di ranjang dan membelakangi Fikri yang berusaha menghampirinya.
"Nggak, kok. Cuman nanya keadaannya adek Arfan yang jowoan-nya kumat, hehe." Fikri terkekeh pelan lalu duduk dan iseng mencubit pipi Arfan dengan gemas. "Kamu kenapa? Kon gapapa tah?"
Suara yang lembut dan agak menurun itu menjadi tanda bahwa Fikri sangat serius. Arfan tadinya ingin menghindar tapi kalau kakaknya sudah bersungguh-sungguh begitu, mana mau dia mengelak? Pasti rasa tidak enaknya membuncah dalam hati.
"Abang tahu kan video di akun gosip itu?" tanya Arfan langsung pada inti.
Fikri mengernyit bingung. "Video mana?" Setelah mencoba mengingat, Fikri membuka mulut semangat. "Ah, video yang katanya kamu nggak suka cewek itu?"
Arfan tak menanggapi, justru tetap memposisikan diri membelakangi kakaknya.
"Iya, abang lihat kok. Bahkan sempat dadi trending ning Twitter. Akeh sing ngomong kamu ini anti ama cewek tapi kon suka caper karo beberapa mahasiswi. Terus juga ..."
"Caper gimana, bang?" sela Arfan tidak menerima. "Nggak caper kok, mereka doang yang terlalu pede lihat aku yang jalan di koridor kampus."
Arfan mulai pindah posisi tapi badannya tetap lurus di tempat tidur. "Bang. Aku nggak berguna jadi influencer? Apa karena aku ndak dengar perkataan papa, aku jadi dapat kemalangan seperti ini?"
Fikri memperhatikan seksama kekhawatiran adiknya. Fikri memang tak tahu Arfan bisa segamblang itu mengatakan lebih memikirkan pekerjaan sebagai dosen dibanding pacaran. Sebagai kakak, dia belum bisa memberikan saran yang ampuh selain menghadapinya dengan kepala dingin.
"Heh, kan kamu sendiri yang mau jadi influncer, harusnya kamu tahu juga risikonya," kata Fikri tak ragu. "Cuman kalau dilihat-dilihat, hujatan mereka menurut abang tidak seberapa kok. Tapi tolong ya, jangan buat hal yang menyebabkan tenagamu jadi habis, mending cuekin wae komentar mereka."
Arfan hanya memperhatikan, dia bagaikan anak yang dibacakan dongeng oleh orang tuanya. Didukung dengan posisinya yang masih berbaring di tempat tidur sementara kakaknya duduk di sisi ranjang menceritakan sesuatu.
"Abang yakin, besok situasi bakal mereda. Jangan khawatir." Fikri berusaha menghibur Arfan dengan kata-katanya yang manis, agar Arfan tak terlalu gelisah.
"Abang iki iso njamin nek (bisa jamin kalau) besok-besok mereka nggak bakal kasih ujaran kebencian, gitu?" Arfan menurunkan kepercayaannya kepada sang kakak, dan lebih yakin bahwa hujatan untuknya makin meluas.
Fikri tak membalas, hanya satu tarikan napas yang menjadi tanggapan. Sementara sang adik kini mulai membelakanginya lagi dengan bantal guling dipeluk erat Arfan.
"Abang iki kenopo iseh nang (ini kenapa masih ada di) kamarku? Udah malam ini, harusnya temenin papa yang masih di kantor." Arfan memerintah seolah-olah ingin mengusir Fikri dari kamarnya. Tentu Arfan tahu rutinitas sang kakak, jadi dia bisa sebagai pengingat kalau saja kakaknya lupa.
"Sabar, dek. Abang mau nemenin kamu di sini habis itu pergi," balas Fikri sedikit menekan pengucapannya.
Beberapa menit yang hanya diisi oleh Fikri menghubungi beberapa koleganya, barulah Fikri berdiri dan minggat dari kamar sang adik.
Arfan yang tahu pun spontan menoleh ke belakang, kepalanya sedikit terangkat. Arfan masih dalam posisi terbaring, lalu menghela napas pelan dan menaruh lagi kepalanya di atas bantal. Kini Arfan menatap langit-langit sambil merenungkan yang telah terjadi.
Pernyataannya di podcast itu murni karena ambisinya untuk mengejar hal lebih, terutama karirnya sebagai dosen sangatlah cemerlang. Bisa saja dia menjadi tokoh sentral di Universitas Jayabhakti agar dapat menarik para camaba untuk ngampus di sana. Tapi mengingat blak-blakannya, tentu membuat kesempatan itu bakal sirna sekaligus. Orang-orang bakal mengingat Arfan sebagai anti wanita dan penyuka laki-laki, padahal aslinya tidak demikian.
"Gimana caranya aku nyangkal semuanya ya?" tanya Arfan dalam hati. "Padahal jelas videoku di- cut sama mereka."
***
Keesokan hari, Arfan melangkah pelan mengitari halaman utama Universitas Jayabhakti. Kampus tersebut bertaraf swasta tapi luasnya bak kampus negeri. Ada tiga fakultas di sana, dan dua fakultas lain berada di posisi paling belakang. Di depan adalah fakultas Ilmu Komputer yang memiliki gedung paling besar.
Kampus tersebut jaraknya berdekatan dengan Unhas, salah satu kampus negeri. Maklum, banyak anak Makassar dan luar Makassar yang lari ke kampus itu ketika mereka tidak lolos jalur undangan maupun tertulis. Terkenal juga karena banyak dosen muda yang good looking, termasuk Arfan Heriyanto. Bisa dianggap, Jayabhakti adalah kampus kekinian yang pasarnya adalah anak muda.
Arfan mengenakan kemeja kerah terbuka lengan pendek serta celana chino memperlengkap penampilannya. Arfan kini menyapa beberapa rekan dosennya. Tentu cuma beberapa, karena sebagiannya menatap sinis. Termasuk mahasiswa yang melewatinya, bahkan berbicara diam-diam di belakangnya.
Seusai diingatkan kakaknya, Arfan tidak boleh gegabah dan tetap menghadapinya dengan tenang. Begitu sampai dalam gedung Fakultas Ilmu Komputer, Arfan membuang napas secara perlahan. Tangannya mengepal berusaha menggeram, namun ditahannya karena banyak mahasiswa serta dosen lalu lalang di gedung tersebut.
Saat akan berjalan lurus menuju sebuah ruangan luas, tiba-tiba seorang wanita memanggilnya, sukses membuat langkah Arfan terhenti.
"Pak Arfan!" seru wanita itu.
Arfan menoleh, menatap wanita dengan blus warna merah muda pastel. Helaan napas pelan adalah hal yang dia perlihatkan pada wanita tersebut.
"Bu Rianti?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top