Please Find and Help Me.

Aku menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Kejadian di sekolah beberapa jam yang lalu sukses membuatku semakin terpuruk. Teman-teman–oh bukan, lebih tepatnya orang-orang yang ada di sekolah itu telah menyakitiku dengan sangat kejam. Mungkin yang mereka lihat aku baik-baik saja, karena fisikku yang kelebihan berat badan ini memang terlihat seperti itu, tapi tidak dengan psikisku. Aku terganggu, aku sakit!

"Putri, ayo, kita makan," ajak Kak Rena yang muncul dari balik pintu kamarku. Aku pun mengangguk samar sebagai respon.

Entah sejak kapan aku mulai kesal saat mendengar ajakan makan, entah itu dari Ibu, Bapak, dan Kak Rena. Bahkan, tak jarang aku mengutuk keluargaku sendiri karena tersebab oleh mereka aku seperti ini. Ya, sejak kecil aku selalu dimanjakan dengan berbagai macam makanan berlemak, manisan, susu dan lain-lain, hingga efek dari makanan dan minuman itu terbawa hingga aku mencapai umur yang ke-17 ini. Bahkan terkadang aku iri dengan Kak Rena yang memiliki tubuh bagaikan cewek-cewek Korea, yang meski banyak memasukkan berbagai macam makanan dan minuman ke dalam tubuhnya, bobot tubuh Kak Rena tetap seperti itu. Ah, andai aku memiliki tubuh seperti Kak Rena, pasti orang-orang yang ada di sekolah tidak akan memanggilku dengan sebutan 'si gendut' lagi. Ya, mungkin untuk sebagian orang panggilan gendut itu biasa saja, tapi tidak denganku, panggilan itu sungguh membuatku frustrasi. Aku selalu merasa jijik dan marah jika mereka memanggilku seperti itu. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa mendiamkan mereka dengan harapan mereka akan berhenti menghujatku. Tapi entah sampai kapan.

Dengan malas aku beranjak dari kamar menuju ruang makan di mana di sana sudah ada Bapak, Ibu dan juga Kak Rena. Dengan antusias Ibu mengambilkan piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk kesukaanku.

Saat Ibu menyodorkan piring itu, aku mengernyit tak suka. "Ibu, ini terlalu banyak."

"Hei, itu sudah kurang dari porsimu yang biasa. Jadi, makanlah."

"Iya, benar. Lagipula, rendang buatan Ibu ini enaknya kebangetan! Hihihi," timpal Kak Rena.

Aku meringis pelan lalu berusaha memakan semua yang ada di atas piring pemberian Ibu, dan setelah selesai aku pamit untuk ke toilet dengan alasan ingin buang air kecil. Padahal, tanpa sepengetahuan mereka, di toilet itu aku memuntahkan semua makanan yang beberapa menit lalu kumasukkan ke dalam perutku. Tentu dengan rasa bersalah yang berkecamuk di dalam diriku karena telah memakan makanan dengan begitu banyak.

"Put, kamu nggak pa-pa? Kok Ibu dengar kamu muntah-muntah?" tanya Ibu ketika aku keluar dari toilet. Kaget? Tentu. Aku takut jika Ibu tahu perilaku anehku akhir-akhir ini.

"Pu-Putri tidak apa-apa, Bu. Hanya masuk angin. Nanti pasti berhenti kok." Ya Allah, maafkan aku yang telah berbohong kepada Ibu.

Ibu mengangguk pelan. "Kalau tidak salah ingat, di kotak obat Ibu menyimpan obat masuk angin. Kamu ambil, ya." Aku mengangguk pelan.

Setelah Ibu pergi, aku tidak mengindahkan perintahnya untuk mengambil obat masuk angin yang dimaksud, karena aku memang tidak membutuhkannya. Kuputuskan untuk masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Aku tidak ingin jika Kak Rena, Ibu atau Bapak tiba-tiba masuk dan melihat betapa terpuruknya aku.

Ya, setiap malam aku memang meratapi nasibku yang malang ini. Di sekolah aku tidak memiliki satu pun teman. Tentu karena mereka jijik berteman denganku. Bahkan pernah suatu hari, aku ke kantin sendirian, mereka justru malah mengejekku, bahwa kedatanganku di kantin bisa saja menghabiskan semua jajanan yang ada di sana. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mengunjungi kantin sekolah. Aku hanya membawa kotak bekal yang sudah dibuatkan oleh Ibu. Itu pun kadang aku tak memakan isinya, karena orang-orang jahat itu mengambilnya seraya berteriak bahwa aku harus mengurangi asupan makanku agar orang-orang tidak mengira bahwa SMA Gemilang mempunyai gorila di dalamnya.

Aku menggigit keras bibir bawahku untuk meredam tangis yang akan keluar. Semua bullyan yang terlontar untukku itu tentu masih terngiang hingga saat ini. Jika orang lain mengatakan bahwa aku seharusnya mengungkapkan semua pada teman atau keluarga, jujur aku tak bisa. Aku tidak ingin dikasihani.

"Put," panggil Kak Rena

Aku segera mengelap air mataku. "Ya? Ada apa, Kak?"

"Kakak boleh masuk? Kakak mau curhat nih."

Aku berdeham pelan agar suaraku yang serak karena tangis segera menghilang. "Iya, bentar, Kak."

Aku membuka pintu kamar lalu membiarkan Kak Rena masuk. Sejak aku SMP dan Kak Rena SMA, kami berdua memang telah berjanji untuk meluangkan waktu berdua. Waktu berdua di sini kami habiskan saling mendengar keluh kesah atau curhatan masing-masing. Tapi, setelah aku masuk SMA, aku jadi sangat tertutup pada Kak Rena, tentu Kak Rena menyadari hal itu. Dia selalu memancingku agar mau mengungkapkan apa saja yang kualami selama di sekolah, tapi dengan pandainya kejadian-kejadian memalukan itu kututupi darinya dengan alasan bahwa tidak ada yang seru yang terjadi di sekolah. Awalnya Kak Rena tidak percaya, tapi mungkin karena lelah terus merecokiku, akhirnya yang keseringan curhat setiap ada waktu itu adalah Kak Rena. Tentu aku menjadi pendengar yang baik, mendengar semua curhatan Kak Rena membuatku terus berangan-angan ingin seperti dirinya. Punya banyak teman, laki-laki yang naksir kepadanya, dan tentu ketika melihatnya bukan tatapan jijik yang disuguhkan, melainkan tatapan mengagumi. Ah, sungguh indah hidup Kak Rena.

Kak Rena menepuk pelan punggung tanganku. Aku lalu menatapnya bingung.

"Put, kamu tahu kan apa itu body shaming?"

Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan Kak Rena. "Ya, aku pernah dengar itu. Kalau tidak salah body shaming itu perilaku seseorang yang memberikan komentar atau kritik negatif tentang tampilan tubuh orang lain."

Kak Rena mengangguk perlahan. "Iya, benar. Dan sekarang body shaming itu sudah seperti bahan omongan yang wajib jika seseorang sudah berkumpul dengan teman atau pun keluarganya. Teman-temanku banyak yang mendapat perlakuan seperti itu. Bahkan aku pun juga kadang."

What? Kak Rena pernah kena body shaming? Dengan tubuh yang sempurna seperti dia juga kena yang namanya body shaming?

"A-apa maksud Kakak, Kakak juga pernah diberi komentar negatif?" tanyaku dengan nada ragu.

"Iya, mereka bilang, aku terlalu kurus."

"Lalu? Apa yang Kakak lakukan saat Kakak berada di posisi itu?"

"Aku? Hmm, sebenarnya pengin banget jitak orangnya, tapi nggak tega hehehe. Jadi, aku lebih memilih speak up secara personal. Bahwa aku pribadi nggak suka digituin. Dengan begitu secara nggak langsung aku juga bilang ke mereka, bahwa body shaming is not ok."

Aku mengangguk paham. Seharusnya aku juga bisa seberani Kak Rena. "Tapi apakah dengan begitu mereka akan berhenti?" tanyaku dengan sedikit gugup.

"Hmm, mungkin ada sebagian yang berhenti, dan ada juga yang masih. Tapi setidaknya mereka paham bahwa yang dilakukan itu JAHAT! Yaaa setidaknya setelah speak up, lidah mereka akan terrem saat ingin mencemooh."

Aku menarik napas dalam-dalam. Sepertinya ketakutanku harus aku ungkapkan pada Kak Rena. Semoga dengan membeberkan semua masalah psikis yang kualami bisa membuat Kak Rena menularkan padaku hal-hal positif yang ada padanya.

"Kak, aku ... aku salah satunya."

"Salah satu apa? Yang melakukan body shaming atau justru menjadi korbannya?"

Aku menunduk. "Korban." Mataku mulai berkaca-kaca, berkali-kali aku menarik napasku agar rasa sesak di sana bisa berkurang. Namun yang ada justru air mataku yang dengan sukses meluncur. Kami terdiam cukup lama, dan Kak Rena dengan bijaksana memberiku ruang untuk meluapkan semua yang kurasakan.

Setelah merasa cukup baikan, aku menatap Kak Rena. Ternyata hal yang kutakutkan selama ini tak terjadi. Kak Rena sama sekali tak menatapku dengan tatapan kasihan, justru dia memberiku tatapan yang entah mengapa sukses membuatku merasa lebih baik.

Kak Rena menggenggam kedua tanganku. "Apa itu alasan di balik sikap murungmu selama ini?"

Kedua mataku sedikit membulat, aku kaget, ternyata selama ini Kak Rena memperhatikan gelagatku. "Umm, iya. Di-di sekolah, aku tidak punya teman satu pun. Mereka lebih tertarik membullyku daripada menjadi temanku. Aku sedih, Kak. Bahkan karena bullyan mereka mengenai tubuhku, aku jadi merasa bersalah ketika sudah memasukkan makanan ke dalam tubuh ini. Aku ... aku ingin memiliki tubuh yang bagus, tubuh yang bisa menarik mereka untuk mendekat kepadaku. Apa yang harus kulakukan, Kak," ujarku frustrasi.

Kak Rena menghela napas pelan dan mengeratkan pegangannya pada tanganku. "Put, denger. Tidak ada yang salah menjadi orang gemuk atau pun kurus. Karena yang berperan penting dalam impresi orang terhadap kita itu adalah perilaku, sikap dan kepribadian kita."

"Tapi di diri aku bullyan mereka justru mematikan kepribadian aku, Kak."

"Ya, aku paham itu sama sekali tidak nyaman. Tapi, apakah kita terus-terusan mau mendengar apa kata mereka tentang diri kita? Kalau begitu, kapan kita mau mendengar apa kata hati kita? Put, masih banyak hal-hal positif yang perlu kamu dengar dan perbuat. Kamu ini memiliki banyak potensi, kamu jago menulis, matematika, dan bermain piano. Potensi itu tidak semua orang bisa memilikinya. Dan Allah milih kamu untuk potensi yang luar biasa itu. Kamu bisa kembangkan lagi, Put. Fokus pada dirimu tidak berarti kamu egois. Karena terkadang menulikan diri dari hal negatif memang sangat diperlukan."

Aku menutup kedua mataku, meresapi setiap kata yang keluar dari bibir Kak Rena. Terdengar sulit, tapi yang diucapkan Kak Rena itu benar. Aku harus bangkit. Tidak mungkin aku terpuruk hanya karena gunjingan mereka. Hidup hanya sekali, dan aku tidak ingin mati sia-sia tanpa mengukir satu prestasi pun.

Dengan senyuman penuh percaya diri, kupeluk Kak Rena.

Terima kasih untuk Allah, yang masih memberikan aku kesempatan untuk merasakan arti kebahagiaan. Dan terima kasih untuk diriku, yang hingga saat ini masih bertahan. I love you.

"Kak Rena, terima kasih sudah menemukan dan menyelamatkanku dari kegelapan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top